The Best Actress #1

94 5 2
                                    

Pagi ini betul-betul sempurna. Cahaya mentari yang hangat menyirami kota tempat sekolahku berdiri, dedauan mulai menguning dan yang sudah kering mulai berguguran dan bertebaran di sepanjang jalan, langitnya yang berwarna biru dalam tampak indah dipandang disertai awan putih yang menghiasinya dengan berbagai bentuk dan ukuran, juga hawa dingin sebelum musim dingin yang khas sangat pas untuk hari ini, hari pertunjukan Elsa yang terakhir.

Sudah jelas aku dan Elsa sangat menantikan hari ini. Aku sudah tidak sabar menonton drama "Ariel"-nya sejak lama. Sementara itu, sudah pasti Elsa sangat menantikannya karena dia sangat ingin bertemu Andika di sekolah seperti yang dulu mereka pernah jalani semasa SMP, berada di festival di sekolah yang sama. Aku sangat mengerti perasaannya yang seperti itu. Dia pasti sangat bersemangat dan akan menjadikan dramanya hari ini menjadi pertunjukan terbaik. Meskipun tiba-tiba saja kemarin dia kehilangan kilau cerah penuh optimisme di matanya setelah menerima telepon dari seseorang. Semoga saja tidak terjadi hal yang buruk nanti.

Seperti yang sudah kulakukan saat persiapan festival yang lalu, aku menanti Andika dan Maya di depan gerbang sekolah. Hanya saja, hari ini Elsa juga ikut menanti. Dia siap dengan dandanan cantik yang tak menor dan berseragam sekolah dengan rapi dan dirinya yang seperti itu tak pernah kulihat sebelumnya. Tapi, entah kenapa dia terus diam dengan tatapan suram yang entah memandang ke mana sambil bersandar di tubuhku.

Begitu Andika dan Maya tampak dari kejauhan, kilau di mata primadona sekolah gadungan itu kembali sedikit demi sedikit. Dia juga berlatih memaksakan diri sebisa mungkin membuat senyum cerah di wajahnya. Begitu Maya sudah ada di dekat kami, dia menjadi Elsa yang biasanya secara utuh seperti sedia kala. Itu membuatku benar-benar bingung. Ada apa gerangan dengan gadis itu? Dia langsung berhambur ke pelukan Maya dengan wajah iseng dan menyeretnya masuk ke sekolah. Tapi, yang membuatku heran justru Andika. Dia datang kemari sambil bergandengan tangan dengan Maya.

"Hei, Andika, kau datang kemari sambil menggandeng Karina. Jangan-jangan, ada hubungan khusus di antara kalian?" tebakku dengan jail sambil menyenggol tangannya.

"Lho, Arianna tidak memberitaumu?" tanya Andika dengan kaget.

Heh?

"Kemarin aku menelepon Arianna kalau Maya menerima pernyataan cintaku. Memang sudah kuduga begitu. Tapi, tetap saja aku merasa sangat senang. Aku merasa Arianna pasti senang kalau mendengar kabar tentang ini. Jadi, kemarin aku meneleponnya lewat telepon. Sepertinya, dia sangat senang dengan ini. Aku jadi tambah senang mengetahuinya".

Shena menceritakan hal itu padaku dengan senyum senang dan lebar tanpa dosa. Aku yang mendengarnya hanya bisa diam dalam syok. Sekarang semua yang dilakukan Elsa sejak kemarin bisa kumengerti. Dia pasti benar-benar merasa kalah dan tidak punya kesempatan lagi. Tentu saja, harusnya dia menangis dan menuntut pada Shena. Tapi, dia memilih tetap bersikap tegar meski tak ada yang melihatnya. Aku jadi benar-benar kesal dengan cowok yang ada di depanku ini. Bagaimana bisa dia memasang ekspresi begitu dan seenaknya bilang dengan tenang dan bangga kalau dia paham perasaannya Elsa?

"Andika, mungkin aku sudah sering menanyakannya padamu. Apa kau benar-benar paham tentang perasaannya Elsa?" tanyaku dengan dingin dan suara yang tertekan.

"Tentu saja aku tahu. Kami kan sudah menghabiskan waktu bersama-sama selama sepuluh tahun," balas Shena dengan percaya diri.

"Kalau kau sekenal itu dengan Elsa, harusnya kau tahu kalau sebenarnya banyak hal yang dia sembunyikan darimu! Padahal kau ini orang yang perhatian dengan siapapun! Kenapa justru yang dekat denganmu terlewatkan?! Bukalah matamu!" omelku dengan kesal.

"Aku tahu tentang itu," sahut Shena sambil tersenyum, seolah seruanku tadi tak bermakna apapun. "Aku tahu sebenarnya Arianna merasa kesal ketika tahu kalau aku dan Maya akhirnya berpacaran. Karena dengan begitu, waktuku bersamanya terkuras banyak".

"Tunggu dulu," selaku dengan tidak percaya. "Kau benar-benar tidak tahu siapa yang disukai Elsa?"

"Tentu saja kamu," balas Shena, sama sekali tidak paham dengan ucapanku.

Aku kehabisan kata-kata. Seketika, semua hal baik tentang Shena yang pernah dilontarkan Elsa padaku langsung hilang. Rasanya, seolah semua yang pernah diucapkan Elsa hanya kebohongan belaka. Aku tidak tahu harus bicara apa pada anak ini. Rasanya, aku ingin melontarkan seluruh kenyataan padanya, menumpahkannya langsung dalam satu tuangan. Tapi, jika aku memaksa melakukan itu, Elsa mungkin akan membenciku.

Pada akhirnya, dengan langkah gontai, aku menggiring Shena menyusul Elsa dan Maya menuju gedung olahraga, tempat drama dipentaskan. Kami bertiga duduk di kursi terjauh yang berada di tengah. Elsa sendiri saat ini sedang bersiap di balik panggung. Tak lama kemudian, tirai dibuka dan pertunjukan dimulai.

A Fake RelationshipOnde histórias criam vida. Descubra agora