Coming of the Prince #2

103 7 2
                                    



"Hei, hei, Andika punya pacar, tidak?" tanya seorang gadis di kelas Elsa dengan berani pada Shena.

"Tidak. Aku tidak punya, kok," balas Shena dengan tenang dan hebatnya Elsa juga bertahan dengan ekspresi kalem.

"Hee, padahal kau tampan begini. Apa kau tidak punya gadis yang kau sukai?" tanya gadis itu kembali. Punya niatan banget mendapatkan hatinya Shena. Sudah pasti dia kalah telak. Sahabat baiknya saja tidak berhasil memenangkan hati Shena, apalagi kamu.

"Ada, kok," balas Shena dan aku tidak percaya, dia mengatakan itu sambil menatap Elsa dengan tatapan penuh rasa.

Elsa hanya membalasnya dengan senyum kecil yang lembut dan tampak sangat mengerti. Di mata orang yang tak tau apa-apa, mereka pasti mengira kalau cewek yang disukai Shena itu Elsa. Tapi, aku dan Elsa tahu, yang dimaksudnya itu Maya dan tatapan itu seolah bilang ke Elsa, "Ada, ya, Elsa? Dia manis banget, ya?". Makanya aku merasa sakit ketika melihatnya, sama seperti yang dirasakan oleh Elsa dan ingin sekali memukulnya. Tapi, Elsa ketika itu hanya menggenggam tanganku dengan erat untuk menyuruhku tetap tenang. Padahal, itu sendiri dimaksudkan untuknya, supaya tidak merasa terlalu sakit.

"Eh, ada?! Siapa, siapa?!" seluruh cewek di kelas 1-1 berteriak dengan ribut dan mendesak Shena dengan penuh rasa penasaran.

"Itu rahasia. Tapi, yang jelas, dia gadis yang sangat manis," balas Elsa dengan senyum ceria yang sempurna menutupi kesedihannya.

"Shh! Elsa!" seru Shena dengan malu sambil menyenggol lengan Elsa dengan lengannya.

"Hee, Elsa tahu dia siapa? Apa dia lebih manis daripada Elsa?" tanya para gadis kembali.

"Aku saja tidak pantas jadi tandingannya," balas Elsa masih tersenyum.

"Jadi dia super duper manis? Wuaah! Apa kau cemburu? Sebagai teman masa kecilnya Andika, harusnya kau cemburu, dong!"

"Tidak, kok. Aku justru senang. Akhirnya, Shena punya gadis yang disukainya. Selama ini aku khawatir kalau dia terlalu peduli denganku sehingga membuang jauh-jauh perasaan sukanya terhadap gadis lain. Aku jadi tambah bersyukur ketika tau kalau gadis yang disukainya itu jauh lebih baik dariku," cerita Elsa dengan senyum penuh kebahagiaan.

"Bohong! Kamu cerita ke aku enggak begitu!" protesku dalam hati.

"Dia ini sampai nangis, lho, waktu aku cerita kalau aku sudah punya orang yang kusukai," timpal Shena sambil mengelus kepala Elsa, benar-benar seperti adik-kakak.

"Shena! Jangan cerita-cerita hal yang memalukan begitu, ah!" seru Elsa dengan malu, mukanya sedikit memerah, tapi dia tetap dengan hebatnya bisa bertahan dalam keanggunannya.

"Oh, ya, Andika, kenapa kau tidak menembak cewek itu saja? Kau kan cakep dan sempurna, dia pasti akan menerimamu," usul seorang gadis dengan semangat.

"Aku kasihan dengan temanku ini. Kalau aku meninggalkannya, dia pasti akan sendirian," Shena kembali mengelus-elus kepala Elsa dengan lembut.

"Tidak apa-apa, kok. Meski sendirian, aku masih bisa bertahan. Kau perlu memikirkan kebahagiaanmu juga," kata Elsa dengan senyum super lembut sambil melepaskan tangan Shena dari kepalanya.

"Itu benar! Kami setuju, kok! Ayo tembak gadis itu! Kami mendukungmu, Andika!" seru para cewek dengan semangat.

"Hoi! Hoi! Hoi! Pikirkan perasaannya Elsa, dong! Kalian ini enggak tau seperih apa perasaannya sekarang, jangan asal ribut, dong!" seruku dalam hati dengan kesal.

"Kalian ini berlebihan, deh," kata Shena sambil tersenyum. "Oh, ya, Arianna dan Reita, nanti sepulang sekolah kita pergi ke restoran terdekat, ya?".

"Eh, kenapa?" tanyaku dengan memasang ekspesi tak tertarik.

"Soalnya, ini hari terakhirku berkunjung di sekolah ini. Lagipula, sudah lama sekali aku tidak bermain di kota kelahiranku ini," balas Shena dengan semangat.

"Lalu, kenapa aku harus ikut?" tanyaku masih dengan ekspresi tak tertarik.

"Karena kita bertiga adalah teman baik. Kau mau ikut, 'kan?" balas Shena masih dengan ceria.

"Baiklah, kalau kau memaksa," balasku dengan setengah hati walau sebenarnya aku sangat senang diajak bergabung dengan mereka.

Akhirnya, seusai pulang sekolah hari itu, kami mampir ke sebuah restoran yang sering didatangi oleh Shena dan Elsa semasa mereka masih berada di sekolah yang sama dulu. Kami memesan minuman yang sama, es teh hijau dan bersulang untuk perpisahan Shena. Setelah itu, kami mengobrol dengan senang sampai lupa waktu.

"Andika, ketika Festival nanti kau mau datang?" tanyaku, memberikan diri.

"Kapan Festivalnya diadakan?" tanya Shena balik.

"Jumat, Sabtu, dan Minggu. Hanya tiga hari," jawab Elsa.

"Hmm, kalau Jumat dan Sabtu aku tidak bisa. Tapi, kalau Minggu mungkin bisa. Akan kuusahakan datang di hari itu. Jam 8, bagaimana?" balas Shena dengan gaya elegan bak pangeran.

"Apa kau akan datang dengan Maya?" tanya Elsa dengan nada mendesak sambil melempar senyum lebar.

"Kurasa tidak," balas Shena dengan sedikit malu.

"Ayolah. Sudah lama aku tidak menikmati Festival bersamanya. Datanglah dengan Maya. Ya?" desak Elsa.

"Baiklah, kalau kau memaksa begitu," kata Shena dengan berat hati walau aku dan Elsa tahu kalau Shena sebenarnya merasa senang karenanya. "Oh, ya, Arianna. Gara-gara perkataanmu tadi, aku jadi mendapat pencerahan. Aku sudah memutuskan hal yang penting".

"Apa itu?" tanyaku dan Elsa bersamaan dengan semangat membara dan senyum lebar penuh keingintahuan di wajah.

"Aku akan menyatakan perasaanku pada Maya," kata Shena dengan tatapan lurus yang benar-benar serius.

Senyumku dan Elsa langsung pudar seketika dan pada waktu itu waktu serasa berhenti. Aku berjuang keras menahan diri untuk tidak mendaratkan sebuah pukulan ke wajah bocah kurang ajar itu. Sementara itu, Elsa mematung selama berdetik-detik dengan wajah datar dan pasrah.

"Syukurlah," kata pertama yang meluncur keluar dari mulutnya itu membuatku lebih syok dari ucapan Shena barusan.

"Bisa-bisanya anak ini bertingkah biasa saja dan berekspresi seperti itu dengan ringannya!" pikirku dengan rasa super syok.

"Akhirnya kau berani melakukannya, ya, Shena. Aku sudah menanti-nanti sejak lama saat-saat seperti ini. Semoga kau diterima, ya. Walau aku yakin dengan sepenuh hati kalau kau akan diterima oleh gadis itu. Kalian itu benar-benar pasangan yang cocok," komentar Elsa dengan senyum bahagia.

Aku yang melihat dirinya yang seperti itu, hanya bisa diam menggigit bibir. Entah kenapa perasaan sedih yang dialami Elsa bisa kurasakan dan aku merasa sangat sakit. Dia betul-betul gadis yang kuat. Tapi, cowok yang disukainya ini, si Shena, bisa-bisanya dia tidak peka dengan perasaannya Elsa sama sekali!

Setelah itu pun, Elsa pergi bermain dengan Shena entah sampai kapan. Sementara itu, aku pulang ke rumah dengan keadaan syok. Bahkan, sampai rumah aku langsung melampiaskan emosiku pada barang-barang di kamarku. Setelah aku merasa tenang, aku merasa kalau aku itu bodoh banget. Harusnya aku tidak semarah ini. Elsa saja yang mengalaminya bersikap biasa saja dan tetap kuat memasang senyum seindah itu. Kalau itu aku, sudah pasti akan kuomeli cowoknya sampai aku puas lalu kutinggal dan aku tak mau bicara denganya lagi sampai kapan pun.

Lagi-lagi, bagiku, Elsa itu benar-benar luar biasa. Betapa beruntungnya disukai oleh gadis sepertinya. Tapi, sayangnya dia mengorbankan cintanya ke orang yang salah. Memang dari segi kesempurnaan dia luar biasa tepat, tapi dia juga luar biasa tidak tepat karena posisi orang yang dicintainya ini hanyalah seorang teman masa kecilnya.

A Fake RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang