My Life Without Elsa #3

127 6 0
                                    

"Wah, Arya, ada apa gerangan menemuiku?" tanya Shena ketika melihatku muncul dihadapannya.

"Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu. Jika ada pertanyaan, tolong tahan sampai kita tiba di tempat yang layak," kataku dengan serius lalu menyeret Shena ke restoran terdekat.

"Jadi, kau kemari untuk membicarakan suatu hal penting yang menyangkut Arianna, ya?" tebak Shena sambil menyeruput teh rosella miliknya dengan gaya elegan yang membuatnya semakin tampak seperti seorang pangeran.

"Kok kau bisa tahu? Padahal, aku belum bilang apa-apa!" tanyaku dengan kaget.

"Memangnya apa lagi yang bisa kau bicarakan denganku? Kalian berdua adalah pasangan yang dekat dan aku adalah sahabat baik Arianna selama bertahun-tahun. Sudah pasti kalau kau ingin tahu tentang Arianna, kau pasti akan lari kepadaku, 'kan?" balas Shena dengan senyum lembut di bibirnya.

"Kau tak sepenuhnya salah, sih. Aku memang ingin membicarakan tentang Elsa, tapi kali ini aku ingin minta bantuanmu. Sebelumnya, apa minggu depan kau kosong?" tanyaku.

"Iya. Minggu depan aku akan libur seminggu penuh karena kakak kelas ada tes dan menggunakan seluruh ruangan di sekolah. Jadi, murid kelas 1 dan 2 diliburkan selama lima hari. Hari Sabtu, sekolahku digunakan untuk lomba, jadi murid juga diliburkan. Aku belum bilang pada Arianna tentang hal ini, sih," balas Shena dengan wajah yang menunjukkan pertanyaan besar kenapa aku menanyakan itu.

"Pertanyaan selanjutnya, apa kau tahu bagaimana Elsa di sekolahku?" tanyaku kembali, lebih serius dari tadi.

"Tentu saja aku tahu. Dia pasti mencoba menjadi orang sepertiku dan rela melakukan semua hal demi kebahagiaan semua orang," balas Shena dengan tenang.

"Kalau begitu, aku akan langsung mengatakan apa masalahnya. Di sekolahku, tiga minggu dari sekarang, akan diadakan festival sekolah. Persiapannya akan dilakukan mulai minggu depan. Aku yakin semua kelas dan semua klub akan menjadi sibuk. Mungkin kau sudah tahu, di sekolahku, Elsa mengikuti klub drama dan menjadi seorang ketua kelas di kelasnya. Sebagai seorang primadona sekolah sekaligus ketua kelas yang baik, dia pasti akan melakukan semua hal lebih keras dan giat dari yang lain tak peduli seberat apa dia harus melakukannya. Yang membuatku khawatir adalah dia pasti akan tampak sangat kelelahan, memaksa terus bekerja, dan tidak menerima uluran tangan dariku," ceritaku dengan sedih.

"Jadi, apa yang perlu kulakukan?" tanya Shena dengan tabah.

"Aku mohon, kau kan sahabat baik Elsa sekaligus orang yang paling dipercaya olehnya, karena itu aku ingin kau ada di sana membantu Elsa. Aku yakin dia pasti akan bilang tidak apa-apa melakukannya sendiri dan menolak uluran tangan siapapun. Tapi, kalau kau ada di sana, mungkin kau bisa mengaturnya dan membantunya," aku memohon pada Shena sambil membungkuk berkali-kali padanya.

"Baiklah. Aku akan ke sana minggu depan," balas Shena sambil menghela nafas dan tersenyum.

"Terimakasih! Kau sungguh baik!" pujiku dengan sangat senang. "Maaf, tapi, bisa tolong rahasiakan ini dari Elsa?"

"Lho, memangnya kenapa?" tanya Shena heran.

"Kalau sampai dia tahu, dia pasti akan memarahiku dan cepat-cepat meneleponmu untuk jangan kemari dan membantunya. Aku tak mau itu terjadi," balasku.

"Kau benar-benar mencemaskan Arianna, ya. Arianna memang tepat memilih pacar sepertimu," komentar Shena dengan puas.

Tiba-tiba saja aku merasa kesal mendengar ucapannya barusan. Dia bicara begitu seolah tidak tahu perjuangan Elsa yang selama ini dilakukannya untuk siapa. Dia ini kurang ajar sekali. Berani bilang senang kalau Shiina sudah punya pacar sepertiku, padahal Elsa melakukannya kemungkinan besar untuk membuat Shena cemburu. Sementara itu, cowok yang mau dibuatnya cemburu sama sekali tidak merasakan apa pun.

Brak!

Rasa kesalku sudah sampai batasnya dan aku pun menggebrak meja dengan keras. "Kenapa kau bisa tidak sepeka ini, sih!" seruku marah sambil melempar tatapan tajam pada Shena. "Apa kau tahu untuk apa Elsa berbuat sejauh itu, berkorban di sekolahnya, kau tahu itu demi apa!" kali ini aku membentaknya.

"Untuk menebus dosanya padaku," balas Shena dengan tampang datar padaku.

Aku langung diam, kehilangan kata-kata. Ah, aku ingat.

"Tak apa! Anggap saja itu penebusan dosaku."

A Fake RelationshipWhere stories live. Discover now