Par 17 New Life

20.4K 680 22
                                    

Dua hari setelah pernikahanku, aku pindah ke rumah Bunda Jasmine. Aku menghabiskan masa libur SMA ku di sana. Sambil menunggu dan mengurus segala keperluan kuliah.

Saat malam, di sini terasa lebih baik. Karena apa? Ya karena ranjangnya lebih luas. Sangat luas malah. Untuk tidur empat orang juga cukup.

Sebenarnya aku sudah lelah mendiamkannya seperti ini. Apalagi aku ini manusia yang tidak tegaan. Binatang saja aku sayang - sayang apalagi manusia. Dan sebenarnya juga aku jenis manusia yang cerewet. Banyak bicara. Hanya saja memang kalau orang sudah keterlaluan, maka aku akan mendiamkannya. Malas juga meladeni orang seperti itu.

Aku juga merasa berbuat tidak adil padanya. Aku tahu kesalahannya sangat susah untuk aku maafkan. Tapi sepertinya dia memang benar - benar tidak tahu. Kenapa hatiku selalu lemah seperti ini. Apalagi saat melihat usahanya selalu mengajakku berbicara lebih dekat.

Lama - lama mencair juga. Dia yang mengurusi segala keperluanku di sini. Mengajakku membaur dengan keluarganya yang lain. Bahkan kepada tetangga. Menyelesaikan segala macam keperluan kuliahku nanti.

Apa aku masih harus tetap seperti ini. Aku juga bukan orang yang tidak tau terima kasih. Dia sudah sangat baik kepadaku. Meskipun aku tak memintanya.

Pintu kamar terbuka, menampilkan sosok yang terus aku pikirkan.

"Belum tidur?" sapanya. "Atau kamu menunggu Kakak?" Sejak menikah, dia mulai membiasakan memanggil dirinya sendiri dengan Kakak. Entah kenapa aku masih sangat sulit untuk menyebut namanya. Walaupun perlahan aku sudah mulai mengakui keberadaanya.

Aku hanya menggeleng menanggapi pertanyaannya.

"Kenapa? Ada yang menganggu pikiranmu?" Lagi aku menggeleng. Perempuan itu memang susah dimengerti. Ditanya kenapa pasti jawabannya tidak apa - apa. Padahal banyak hal yang mengganggunya. Jika dibiarkan, mereka akan marah dan menganggap lawannya tidak peka. Yaah, aku sadar akan hal itu. Aku pun juga demikian.

"Kamu pasti ada masalah. Tidak usah sungkan. Ayo cerita. Akan aku dengarkan."
Disuruh ceritapun aku juga bingung harus memulainya dari mana.

"Terimakasih." kata ini yang akhirnya keluar dari bibirku.

"Untuk?"

"Semuanya. Terimakasih sudah memperlakukanku dengan baik. Terimakasih sudah membantuku mengurusi segala urusan kampus."

"Kamu ini bicara apa sih? Itu sekarang sudah menjadi kewajibanku. Aku suamimu sekarang. Aku yang harus mencukupi segala keperluanmu. Menjagamu dengan baik memastikan kamu tidak kekurangan satu apapun dan membuatmu bahagia." Aku hanya diam. Dia begitu baik dan lembut padaku. Kenapa aku seperti ini?

"Terimakasih juga sudah mau menjadi istriku. Meskipun kamu mungkin belum sepenuhnya menerima keberadaanku." Ada nada sedih dalam ucapannya barusan. Aku juga merasa sedih sebenarnya. Tapi hati manusia siapa yang bisa mengatur? Aku juga tidak mau seperti ini. Gelas yang dia jaga bertahun tahun sudah retak. Kertas yang selalu dia simpan didalam map sudah lusuh karena tak sengaja diremasnya. Bagaimana cara membuatnya kembali baik seperti semula? Coba katakan padaku.

"Aku juga minta maaf jika selama hidupku aku berbuat salah kepadamu. Melukai hatimu. Aku minta maaf." Aku masih menunduk dengan dia yang duduk disebelahku. Dia meraih tanganku membawanya dalam genggamannya. "Maafkan aku Sha. Maafkan aku. Aku minta maaf. Sungguh aku tidak tahu apa yang telah aku lakukan kepadamu hingga membuatmu berubah seperti ini. Please, tolong katakan padaku agar aku bisa memperbaikinya. Aku mau kita seperti dulu Sha. Dekat. Sebagai sahabat, atau sebagai kakak adik jika kamu belum bisa menerimaku sebagai suamimu. Atau paling tidak sebagai teman yang bisa saling menyapa dengan ramah. Saling menyebutkan nama." Aku sedikit tertohok mendengarnya. Ya, mungkin dia menyadari bahwa aku tidak pernah lagi menyebut namanya. Semuanya bagaikan sidiran halus untukku.

Our Early Marriage! - OPEN PO - Sebagian Part Telah DihapusWhere stories live. Discover now