In a Hurry I Another Point of View

9.2K 529 3
                                    



Aku merasa bumi semakin lama dalam melakukan rotasinya. Sejak acara makan siang itu sudah ditetapkan pernikahanku dengan Sasha akan dilaksanakan tiga minggu kemudian. Mungkin orang lain akan berpikir bahwa tiga minggu itu sangat cepat dan terkesan tergesa – gesa dalam mengambil keputusan.

Tapi tidak untukku. Ini merupakan tiga minggu terpanjang dalam hidupku. Setiap harinya aku menghitung. Menghitung mundur kurang berapa hari lagi pernikahanku akan berlangsung.

Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku. Awalnya aku sempat tidak menyukai ide menikahkan Sha agar ada yang menjaganya saat kuliah. Namun, begitu aku tahu aku yang akan menjadi suaminya itu, aku menjadi sangat bersemangat. Bersemangat untuk semakin dekat dengannya. Bersemangat untuk sekedar menemuinya. Dan segala semangat yang berhubungan dengannya.

Saat ini aku sudah dalam masa libur semester genap yang berarti aku punya waktu liburan tiga bulan. Seperti janjiku pada bunda, liburan kali ini aku akan full berada di rumah bersama keluarga.

Kumanfaatkan kesempatan ini untuk mencoba lebih dekat dengan Sha dan keluarganya. Meskipun sebenarnya aku sudah sangat mengenal dan dekat dengan Om Farhan dan Tante Maya.

Hampir setiap hari aku pergi ke rumahnya. Masih sama seperti sebelumnya, Sha selalu berusaha untuk menghindariku. Bedanya kali ini aku memiliki pendukung untuk melancarkan aksi pendekatanku kembali padanya. Jika dia tak mau menemuiku, maka Tante Maya akan memaksanya untuk bertemu dan menemaniku. Meskipun dalam beberapa kesempatan dia masih berhasil untuk menghindar dariku.

Tak apalah setidaknya setelah ini aku akan bersama dengannya dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu. Tiga puluh hari sebulan, dua belas bulan setahun, dan selamanya. Aku benar – benar tak sabar menunggu hari esok.

Yang membuat waktu terasa lebih lama lagi adalah bunda tidak mengizinkanku untuk menemuinya seminggu belakangan. Mengapa? Karena kami berdua dipingit. Mungkin Sha merasa senang dengan acara pingitan ini. tapi ini sungguh penyiksaan buatku.

Setelah aku berhasil untuk menemuinya dan hampir setiap hari aku datang ke rumahnya aku selalu rindu padanya. Rasa rinduku semakin menjadi terhadapnya. aku rindu dengan ekspresi datarnya. Wajah marahnya. Dan rindu dengan diamnya. Karena hanya tiga ekspresi itu yang diberikannya padaku. Benar, dia hanya akan diam atau menunjukkan sedikit raut marahnya saat aku bertemu dengannya.

Jangan mengharapkan dia memberikan senyuman padaku, karena itu hal yang sangat mustahil. Bahkan di depan kedua orangtuanya sekalipun dia tidak mau berpura – pura memberikan senyuman padaku.

Ekspresi marahnya sangat mengerikan menurutku. Jika dia marah dia akan diam. Tidak mengeluarkan satu kata pun. Bukankah ini lebih mengerikan dibandingkan dengan jenis kemarahan seseorang yang mengomel sepanjang hari?

Setidaknya kau tahu apa yang dikeluhkan atau dirasakan jika dia mengeluarkan segala kemarahan dan kekesalannya. Tapi ini tidak, jangan mengharapkan suara keluar dari bibirnya. Bahkan sebelum kau mengetahui apa kesalahanmu dia sudah lebih dahulu mendiamkanmu. Dalam kasusku aksi diamnya sudah terjadi selama lebih dari tiga tahun. Sangat mengerikan bukan?

Aku tidak tahu cara apa lagi yang harus kulakukan untuk meluluhkan hatinya. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan mendapatkan Sashaku yang dulu kembali.

Jika kau tanya apakah aku mencintainya. Aku tidak tahu. Tapi aku sangat menyayanginya. Sebagai apa? Sebagai apapun sebagaimanapun dia. Apa adanya dia. Baik Sha yang dulu yang hangat maupun Sha yang sekarang yang sedingin es di kutub utara. Aku tetap menyayanginya.

................

Vote komen nya yaaa.... biar saya lebih semangat buat nulisnya. Biar bang Oriz makin tampan.

Our Early Marriage! - OPEN PO - Sebagian Part Telah DihapusWhere stories live. Discover now