22. Balikan

891 50 3
                                    

Hari ini ia jalani dengan hati yang tidak tenang dan otak yang terus bertanya.

Bertanya, di mana Ari sekarang?

Dan hati yang sangat khawatir dengan keberadaan Ari.

'Dia di mana coba?' batin Viona berteriak gelisah.

Raut wajah Viona berubah, ketika ia handphone-nya bergetar dan menampilkan nama Ari.

'Ha--'

"Lo di mana sih? Gue nyariin lo tau. Nggak tau apa disini sepi kalo lo nggak ada. Ih rese banget sih" cecar Viona sebelum Gifari menggombal untuknya.

'Segitunya' suara Gifari yang terdengar agak serak khas suara orang bangun tidur.

Tapi, apakah Ari tidur? Di mana?

“Iya segitu. Lo mah nggak asik. Pergi nggak izin dulu ke gue. Gue kan khawatir sama lo. Kalau ada apa-apa gimana? Gue juga yang sedih ih”

Viona tidak ada habis-habisnya berceloteh memarahi laki-laki yang sedang terkekeh di seberang sana.

"Ketawa, ketawa aja terus sampe puas. Lo nggak pernah bisa ngertiin perasaan gue ya? Gue itu khawatir Ari, KHAWATIR" celoteh Viona dengan penekanan diakhir kalimat.

'Bawel ah. Aku lagi dirumah--"

"Kirimin alamat rumah lo. Gue mau kesana" potong Viona.

'Rumah sakit Harapan, Viona' jelas Ari terburu-buru sebelum Viona menutup teleponnya.

Viona terdiam, ia mencerna perkataan Ari tadi. 'Rumah sakit? Dia sakit?'

Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Apa yang ingin dikatakannya kepada Ari sekarang?

"Lo di rumah sakit? Sakit apa?" tanya Viona pelan. Lebih pelan dari sebelumnya.

'Iya. Gue sakit. Lo mah nyerocos mulu. Nggak mau denger penjelasan gue mulu' celoteh Ari.

"Lo sakit apa?" tanya Viona lagi.

'Cuma panas aja, kok. Udah nggak usah khawatir. Gue baik-baik aja’ ujar Ari berusaha kuat.

Kok?

Ari berbohong.

'Ohiya, Vi. Gue mau che-- istirahat dulu. Lo jangan kangen dan khawatir' kata Ari meyakinkan.

Lalu telepon diputus. Viona yang dari tadi diam, kini mengeluarkan air matanya yang telah berkumpul di pelupuk matanya. Ia tidak bisa menahan airmatanya lagi.

Ari sakit.

Ia khawatir.

-o0o-

"Gimana keadaan anak saya, Dok?" tanya laki-laki paruh baya itu. Ia berusaha tegar walaupun hatinya kini tidak tenang.

"Nanti kita bicarakan di ruangan saya" kata Dokter itu. "Mari"

Ketika sudah sampai di ruangan yang bernuansa putih dengan bau obat-obatan yang menusuk indra penciuman, dokter dan laki-laki paruh baya itu duduk.

Wajah mereka berubah menjadi serius. Seperti ingin membicarakan sesuatu yang penting.

"Gimana, Dok?" tanya Laki-laki paruh baya itu.

"Begini, Pak Rudi. Kondisi anak bapak semakin menurun. Kankernya naik stadium. Jadi stadium 3" jelas Dokter itu dengan nada yang lirih.

Laki-laki yang dipanggil Pak Rudi itu terdiam. Ia menarik nafas panjang alu menghembuskannya perlahan.

"Lalu bagaimana, Dok?" tanya Pak Rudi berusaha kuat.

"Kita harus menjalankan kemoterapi" jawab Dokter.

"Lakukan yang terbaik, Dok"

Pak Rudi kini sedang duduk termenung di kursi tunggu rumah sakit. Ia ingin menjenguk anaknya. Tetapi ia tidak kuat. Ia tidak kuat melihat anaknya yang begitu lemah.

Saat sedang duduk, ada seseorang yang datang dan bertanya tentang keadaan anaknya. Mungkin pacarnya, pikirnya.

Dia Viona.

Ya. Viona berani meninggalkan pelajaran, demi melihat keadaan Ari. Ia bertanya kepada Pak Rudi dengan sopan.

"Selamat siang, Om. Arinya ada?"

"Kamu siapa?" tanya Pak Rudi lirih.

Viona tersenyum, "saya sahabatnya, Om"

'Sahabat toh' batin Pak Rudi seraya tersenyum kepada Viona.

"Kalau boleh tau, Ari sakit apa ya?" tanya Viona agak ragu-ragu karena takut menyinggung perasaan Pak Rudi.

"Hanya kecapean, demam dan sakit kepala" ujar Pak Rudi dengan tenang.
"Boleh saya liat?" Viona meminta izin untuk menjenguk Ari di dalam. Hatinya sungguh tidak tenang jika belum melihat manusia satu itu.

Pak Rudi menganggukkan kepala. Selanjutnya, Viona berjalan dengan sopan memasuki ruangan Ari itu.

CEKLEK!

Suara pintu terbuka terdengar, menampakkan seorang gadis cantik yang sedang berjalan ke arah pasien yang sedang terbaring lemah di bankar rumah sakit.

Viona menatap nanar wajah Gifari yang sedikit pucat saat itu.
"Kamu sakit apa?"

Entah kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Viona. Saat ini sungguh ia khawatir dengan keadaan sahabat-nya itu.

"Sekolah sepi kalau lo nggak ada. Gue yang sedih" ucap Viona lagi.

Tidak ada jawaban dari pasien yang bernama Gifari itu.

"Ri, gue kehilangan lo" ujar Viona sedih.

"Yakin?" tanya Gifari tiba-tiba. Entaj sejak kapan ia bangun dan mendengarkan semua keluh kesah dari Viona.

"Eh? Lo udah bangun ya?" tanya Viona mengalihkan pembicaraan.

"Iya. Nggak nanya sakit apa?" Setelah itu Ari tertawa.

"Nggak mau. Nanti guenya yang khawatir"

Setelah itu, mereka terlarut dalam obrolan yang menyenangkan. Sesekali Viona tertawa ketika Gifari menggombalinya dengan gombalan receh.

"Aku sayang kamu"

"Juga"

Viona menjawab tanpa sadar.

-o0o-

Hari-hari terus berlalu, Gifari dan Viona kini tambah dekat. Mereka seperti prangko dan surat. Tidak terpisahkan. Tapi tidak ada hubungan yang mengikat keduanya.

"Mau makan apa?" tanya Ari seraya berdiri.

"Samaan aja deh" jawab Viona dengan pandangan yang tidak lepas dari handphone di tangannya.

Setelah itu, Ari beranjak meninggalkan Viona sendiri.

Tanpa Viona sadari, Fahril duduk di depannya. Memperhatikan garis wajah perempuan di depannya.

Viona tidak menyadari semuanya.

Ia tidak menyadari Fahril yang berada di depannya dan hanya dipisahkan dengan satu meja kecil.

Ia juga tidak menyadari Gifari yang sedang memperhatikannya dengan tatapan marah.

"Hai mantan" sapa Fahril yang membuat Viona terlonjak kaget karena baru menyadari keberadaan Fahril.

"Lo? Ngapain disini?" tanya Viona heran. Sebenarnya ini terdengar seperti basa basi.

"Mau ngajak lo balikan" tembak Fahril langsung.

Viona terdiam, ingin segera meninggalkan tempat itu. Tetapi kakinya sudah seperti jelly yang siap untuk roboh.

"Lo-- lo ngomong apa sih?" tanya Viona pura-pura tidak mengerti.

'Jangan senyum, Please' batin Viona bersuara.

Tidak seperti yang diharapkan, Fahril tersenyum manis kepadanya yang membuat pertahanan Viona runtuh begitu saja.

"Lo mau nggak balikan sama gue?" tanya Fahril sambil meraih tangan Viona yang sudah dingin.

Viona tampak berpikir, ia luluh dengan perlakuan Fahril kepadanya.
Ia jatuh cinta lagi kepada Fahril.

"Ya"

Dan saat itu juga, nampan yang dipegang Gifari jatuh begitu saja tepat di samping Viona.

Tatapannya memancarkan amarah yang sangat besar.

Lalu, ia pergi begitu saja~

-o0o-

Betapa bodohnya Viona yang menerima Fahril lagi.

Bodoh ah.

Kesel gue.

Tapi yang buat cerita siapa?

Gue ya?

Gue yang bego dong😂

Ihiy😂

Happy reading people.
Don't forget vote and comment.

Gue butuh suara kalian untuk kesempurnaan cerita gue. Love ah.

Btw, gue baru apdet.
Malas buka Wattpad soalnya~

Bye~

I HATE YOU BUT I LOVE YOU (END)Where stories live. Discover now