39 - Brother Talk

Começar do início
                                    

Lama.

Rio membiarkan hening mendominasi hingga atensinya menangkap pelan langkah Gabriel mendekat dan duduk di kursi samping tempat tidur dengan wajah kikuk yang entah kenapa kali ini membuat Rio ingin tertawa, tapi dia tahan.

"Sori..." Gabriel membuka suara.

Sebuah kalimat pembuka yang begitu berat untuk disampaikan setelah perdebatan panjang yang terjadi beberapa waktu ke belakang. perihal maaf-memaafkan tentu menjadi hal yang sangat krusial bagi mereka berdua.

"Kak Iyel... rasanya udah lama banget gue nggak manggil lo begitu, apa masih boleh?"

Gabriel mengangguk.

Rio mencoba membangunkan tubuhnya. Gabriel bergerak membantu, menyandarkan badan Rio lebih tinggi di ranjang dan seketika Ia membeku merasakan sensasi panas yang keluar dari tubuh adiknya. Entah berapa derajat tapi yang jelas dengan suhu setinggi itu pasti sangat tidak nyaman.

"Badan lo panas banget, nggak mau baringan aja, ntar lo pusing kalau kelamaan duduk..." tawar Gabriel yang di balas gelengan pelan oleh sang lawan bicara.

"Kali ini aja, tolong lihat gue sebagai Rio adik kecil lo yang gemesin dan nggak penyakitan kayak sekarang. Gue mau ngobrol sama lo selayaknya Kakak dan adik kayak waktu kita kecil"

Gabriel mengiyakan permintaan Rio sambil tersenyum meski hatinya bergetar. Lidahnya terasa kelu oleh rasa bersalah. Begitu banyak hal berlalu saat mereka kecil dan saat dewasa mereka bertemu, Rio menganggapnya seperti orang asing.

Banyak sekali masa yang Gabriel lewatkan saat itu, terutama dia tidak menemani Rio bertumbuh, dia membiarkan Rio menelan kenyataan pahit seorang diri dan parahnya hingga saat ini perasaan bersalah itu tidak bisa hilang.

"Kita mau ngobrol dari mana dulu?"

Rio menggeleng, "Terserah Kak Iyel aja, gue lagi nggak bisa mikir."

"Oke. Kita mulai dari kenapa lo anggep gue orang asing setelah sekian lama lo ngilang dan nggak bisa gue temuin, bahkan disaat Ayah Marcel meninggal"

Rio memejam sejenak, "Klise sih kalau dibahas sekarang, Waktu itu Ayah ngajak gue ke paris, tepat di hari Mama dan Papa Tama menikah, disitu gue ngeliat lo perhatian banget sama Ray sampai suapin dia kue sementara gue manggilin lo sampai nangis-nangis di jendela tapi nggak lo denger, lo nggak ngeliat gue. Ya gue marahlah! gue benci waktu itu lo pergi, lo ninggalin gue, ngelupain gue, nggak pernah ngasih kabar apalagi tepatin janji lo buat balik"

"Gue minta maaf, waktu itu gue..."

"Jangan diterusin, gue capek ngebahasnya."

"Oke, gue ganti pertanyaan. Kali ini tentang perusahaan Ayah dan berkas yang lo minta gue tanda tangani. Jujur aja, gue ngerasa lo terlalu buru-buru. kenapa lo nggak tanya gue dulu? Ya setidaknya lo kasih tahu gue rencana lo apa, nggak tiba-tiba kayak sekarang. Gue ngerasa nggak mampu nanggung tanggung jawab segede itu kalau seandainya gue jalanin, apalagi untuk sekarang." Gabriel berujar serius.

Gabriel sudah memikirkan hal ini berulang kali tapi tetap saja dia tidak bisa menemukan jalan keluar selain ya, membatalkan semua itu dulu kalau bisa.

"Sorry, lo jadi ikutan repot ga-

"Bukan, bukan itu jawaban yang mau! Lo ngerti maksud gue apa. So, tell me why? What should I do?" Gabriel menghela nafas kasar, banyaknya spekulasi yang masuk membuat pikirannya tak karuan.

Ditambah dengan Rio yang kini kembali diam.
Gabriel yang awalnya mengharap kekuatan meski sudah takut duluan semakin ciut.

"Kak..."

Gabriel menatap Rio yang memanggilnya setelah cukup lama mereka saling diam. hanya melihat, tanpa berniat membalas.

"Kalau lo tanya kenapa, jawabannya ya karena kita anak ayah. Kalau bukan lo terus siapa? Gue kan udah trial lama dari Ayah meninggal dan sekarang udah saatnya gue berhenti."

Gabriel meremat tangannya kuat, ingin menyanggah, menyangkal spekulasi tidak penting yang baru saja Rio utarakan tapi lidahnya kelu untuk bicara.

"Gue tahu lo butuh waktu, maka dari itu gue nggak presure lo buat buru-buru ke kantor. Gue juga udah bilang Pak Dedi dan beliau siap dampingin lo, bakal diajarin sampe bisa. Lo tenang aja, Pak Dedi luar biasa ngarahin gue dan dia akan ngelakuin hal yang sama buat lo, bahkan lebih."

"Lagian berkasnya udah ke notaris semua, nggak bisa asal batal. Jadi, lo mau kan? Mau ya? Please..."

Gabriel menghela nafas pasrah, kemudian mengangguk samar. "Bukannya gue mau maruk nih, Tapi bisa nggak kalau lo aja yang ngajarin gue?" Ujarnya kemudian.

Rio mengangguk. "Bisa sih harusnya, semoga bisa..."

"Harus dong, Lo hebat, lo kuat, lo pasti bisa selesaikan semuanya. Gue yakin lo bisa!"

Rio tersenyum simpul.
Menyemogakan takdir baik tuhan yang dinantikannya hingga nanti Tuhan memintanya berhenti.

[2] BAHASA RASAOnde histórias criam vida. Descubra agora