26 - Menanggung Konsekuensi

783 51 30
                                    

Brukk...

Bukk... bukk... bukk...

Gabriel mengayunkan tangannya pada apa saja yang mampu dia jangkau dari posisinya sekarang, nafasnya memburu menahan marah. Buku-buku tebal yang sebelumnya tersusun rapi di atas meja berjatuhan ke lantai, berserakan, alat tulis dan barang-barang lain yang semula berada diatas nakas berantakkan, dan masih banyak lagi.

"Kalau Lo emang cuma pura-pura, harusnya lo bisa denger gimana paniknya gue ngelihat Lo nggak sadarin diri kayak tadi. Lo pasti denger gimana ribetnya Cakka nyuruh gue ini-itu, Alvin sampe ngipasin lo pake baju asal lo tahu. Kita cemas, kita khawatir sama lo, takut lo kenapa-napa." Gabriel memulai monolognya, wajahnya merah padam, badannya menempel di dinding dekat ranjang.

"Tapi apa yang gue dapetin? Lo ngebohongin kita, Lo tega jadiin kecemasan kita bahan bercandaan seolah semua itu nggak penting, Hahaha..." Gabriel tertawa keras hingga ujung matanya berair, "Gue pengen marah sama Lo, gue pengen pergi, gue pengen ngatain lo kayak apa yang Alvin lakuin. Tapi hati gue nggak mau, Yo! Gue jadi nggak tau mau ngapain."

"Gue harus apa, yo?"

"Gue harus gimana?"

"Jawab! jangan diem aja lo..."

Gabriel membiarkan tubuhnya meluruh hingga terduduk, menyembunyikan wajah basahnya disana, bohong jika dia berkata dirinya baik-baik saja dengan suituasi ini. Bohong jika dia tidak merasakan apapun setelah Rio memberikan kejutan yang sangat fantastis. Dia ingin merangkai kata-kata indah untuk berterima kasih, tapi tidak bisa. Semakin lama Ia bicara, rasanya semakin sakit. "G—Gue— gue tunggu lo di bawah." Tutupnya sebelum pergi.

Sepeninggal Gabriel, Rio betah diam. intimidasi tidak lansung yang diterimanya serasa gamblang untuk dibuktikan. Gabriel benar, Dia memang tidak tahu apa-apa, dia tidak tahu sepanik apa Cakka, sebinggung apa Alvin dan secemas apa sang kakak saat dirinya tidak sadarkan diri. Bagaimana dia bisa tahu jika kepura-puraan yang diucapnya tadi nyatanya hanya sebuah alibi, dia reflek berkata demikian sesaat setelah sadar demi tidak membuat mereka khawatir. Salahkan saja dia yang tidak bisa berfikir jernih, salahkan saja dia yang tidak punya banyak waktu untuk memikirkan kemungkinan rencananya akan gagal seperti ini.

Rio membiarkan punggungnya menempel di balik pintu, badannya merosot hingga terduduk. Dia mengusap wajah frustasi, pedih, sunyi dan berbagai kata serupa seolah tengah berlomba mematikan persendiannya dari berbagai sisi. Niat baiknya berujung luka, kini, tidak hanya Alvin yang mendiamkannya, tapi Cakka dan Gabriel juga.

Dia menyembunyikan wajah dibalik telapak tangan, menikmati hasil kerja kerasnya yang justru membuat jarak diantara mereka lebih kuat dari sebelumnya. kalau saja tadi dia bangun lebih cepat, tentu rencananya tidak akan jadi sehancur ini. Tapi mau bagaimana lagi, perjuangannya untuk kembali tidak semudah yang dipikirkan, rasanya seperti diikat diambang batas antara hidup dan mati, Dia tidak kuasa merasakan hal lain diluar setiap inci rasa sakit yang datang berkunjung. tidak ada pilihan lain, dia harus bergegas meminta maaf sebelum tamu tak diundang itu kembali menarik kesadarannya.

***

Terik siang ini tidak membuat Alvin hendak beristirahat dari permainannya beberapa jam yang lalu, panas yang serasa membakar kepala seolah tidak mampu membuatnya kelelahan. Dia memainkan si oren dengan penuh kekuatan, memantulkan bolanya kasar, membantingnya seolah gerakan itu bisa meredakan amarah yang membuncah.

Dukk...

"Dasar Sohib sialan! gila, nggak punya otak" Alvin masih betah dengan sumpah sarapah yang di ucapkannya. Tidak peduli berapa banyak dia mengumpat rasanya tidak akan cukup.

Gara-gara aksi gila Rio pagi ini, Alvin jadi malas ke sekolah. Mood belajarnya hilang, niatnya apalagi. Dia fikir, dengan bermain basket dia bisa menyalurkan kemarahannya sehingga hatinya bisa lebih tenang dan dia akan lebih mudah melupakan tingkah bodoh sahabatnya itu. tapi ternyata tidak, basket justru membuat amarahnya semakin membuncah, permainan ini semakin mengingatkannya pada Rio, pertemanan mereka, permainan hebat mereka selama ini dan itu semua semakin membuatnya kecewa.

[2] BAHASA RASAOn viuen les histories. Descobreix ara