Twinkle Twinkle

27 1 0
                                    

Pagi ini mood gue buat sekolah seolah udah tersedot habis dengan kejadian semalem. Seperti biasa, gue sarapan sendiri karena nyokap entah udah kemana. Apa gue bolos aja ya? Menggoda sih, tapi ga ah, sebentar lagi gue ujian dan gue harus bisa kuliah di luar negeri supaya gue ga perlu repot-repot pulang tiap liburan dateng.

*ting tong ting tong

Bel pintu berbunyi, siapa pula pagi-pagi datang ke rumah gue. Dengan malas gue berjalan ke depan, pas gue intip ternyata si Meta yang di luar. Buru-buru gue buka pintu.
"Tumben lo pagi-pagi udah di sini?"
"Gue mau nebeng lo" si Meta nyengir.
"Lah, lo ke sini pake apaan?" Gue bingung.
"Pake ojek." Jawab Meta datar.
Gue mikir keras, kenapa dia harus repot-repot naik ojek ke rumah gue padahal rumahnya lebih deket ke sekolah. Pasti ada sesuatu.
"Met...gue ga bego-bego amat loh Met." Gue sindir dia.
Meta malah terkekeh, "Kenapa lo ga cerita kalo semalem ketemu sama Arjuna?"
Waduh. "Tau dari mana lo?"
"Arjuna cerita ke gue." Sambil nyamber apel dari tangan gue.
Jantung gue berdebar-debar, bahaya banget kalo sampe Arjuna cerita semuanya ke Meta. Tamat riwayat gue.
"Cerita apa aja dia?" Gue desak Meta
"Ya gitu, ketemu di coffeeshop, dan lo ngajak dia kenalan, karena lo ga tau kalo ternyata dia satu sekolah sama kita."
"Apa? Siapa yang ngajak kenalan? Ga kebalik? Hih, sorry ye!" Thank God, Arjuna ga cerita apa-apa.
"Hihi...ayuk ahh berangkat, keburu macet nih, biar lo bisa cepet-cepet ketemu sama Raden Arjuna." Meta menggoda gue.

Begitulah Meta, dibilang polos ya ga, dibilang naif juga ga, dibilang kepo...kadang-kadang sih. Dia ga menyadari sebuah keganjilan dari cerita Arjuna. Seumur-umur Meta temenan sama gue, gue ga pernah ngajak kenalan cowok duluan. Tapi bagus sih, at least gue tau kalo Arjuna bisa dipercaya. Selama perjalanan ke sekolah gue cuma manggut-manggut sama semua cerita Meta. Bagaimanapun, pikiran gue masih melayang ke bokap nyokap gue. Sampai detik ini pun gue masih ga ngerti motif bokap gue nikah lagi.
Sebodo amat ah, gue cape mikirnya.

Sesampainya di sekolah, Meta langsung nyeret gue nyamperin Arjuna, kebangetan banget ini anak. Arjuna pun kelihatan shock dengan adanya gue duduk di sebelah kursinya.
"Sejak kapan lo main-main ke kelas gue?" Arjuna ketus.
"Sejak semalem lo berdua kenalan." Meta nyamber.
Gue dan Arjuna sama-sama ngelihat ke arah Meta, ga percaya dengan jawabannya.
"Dia nyeret gue kesini." Gue tunjuk Meta. Arjuna cuma geleng-geleng kepala.
"Eh bentar ya, gue kayaknya dipanggil Bu Hani deh." Meta mulai belagak kayak mak comblang. Salah lo Met kalo mau nyomblangin gue sama Arjuna, ga bakal nyantol.
"Gue cabut deh." Gue ngomong males-malesan.
"Bukannya lo mau kenalan sama gue?" Arjuna mesem-mesem.
Gue ngakak sekenceng-kencengnya. "Lo ngarep ya kan?"
Arjuna cuma angkat bahu, sibuk sama buku-bukunya. "Lagipula, cowo kayak lo bukan tipe gue."
Gerakan dia langsung berhenti. "Maksud lo apa dengan cowok kayak gue?" Dia tersinggung.
"Maksud gue, lo itu ibarat lagu twinkle twinkle little star, flat aka datar aka ngebosenin, nadanya itu-itu aja, ."
Dia mendengus. "Terserah."

Setelah itu gue balik lagi ke kelas gue, dan duduk. Gue lihat Meta sibuk ngobrol sama Anton, gebetannya bulan ini. Gue geleng-geleng kepala, dasar itu anak.

Tiba-tiba pandangan gue menangkap objek yang familiar. Gue lihat pensil yang semalem, ada di meja depan gue, meja Shelly. Itu pensil yang gue pengen. Gue tengok kanan kiri, semua temen sekelas gue lagi sibuk masing-masing. Gue bangkit dan jalan perlahan ke depan, gue pura-pura menyapa temen sebangku Shelly, setelah dia lengah, gue ambil pensil itu dan gue lempar ke bawah meja gue.
Gue grogi setengah mati. Demi pensil? Serius Rhei?? 
Nafas gue memburu, ini salah. Gue ga boleh ngelakuin ini di sini. Gue ambil pensil itu dan gue angkat ke atas. "Pensil siapa ini?" Gue pura-pura ga terjadi apa-apa sebelumnya.
"Aaah, itu punya gue. Taruh aja di meja gue Rhei!" pinta Shelly.
Gue taruh pensil itu kembali ke tempat semula. Gue buang nafas lega kali ini. Kenapa akhir-akhir kerasa makin parah ya, gue coba tahan sekuat tenaga tapi bikin kepala gue pusing. Akhirnya gue putusin untuk tuker tempat duduk sama Nando yang duduk di bangku depan, jadi gue ga perlu lihat pensil itu lagi.
Tiba-tiba gue teringat sama Arjuna, gue mengernyit. Seolah-olah dia punya aura yang bisa bikin gue ga mikirin keinginan gue.

Akhirnya jam istirahat pun tiba, gue sama Meta langsung duduk di tempat biasa di kantin dan makan bakso favorit kita. Pas lagi asyik ngobrol, tiba-tiba Arjuna duduk bareng sama kita. Gue melongo lihat dia duduk tanpa permisi.
"Sejak kapan lo duduk bareng gue?" tanya gue.
"Sejak lo kenal gue." jawab dia datar. Gue melirik ke Meta yang cuma cengar cengir lihat tingkah gue.
"Rheina!" gue denger ada seseorang manggil gue dari belakang. Gue nengok dan lihat seorang cewek lari-lari kecil ke arah gue.

Gue berpaling ke Meta dan mengangkat alis.

Seolah bisa membaca pikiran gue, Meta berdecak. "Bagas."

Cowok bernama Bagas itu berhenti sambil berkacak pinggang. "Lo dipanggil bu Eliya. Ada bokap lo deh kayaknya." katanya sambil terengah-engah.
Ngapain bokap gue ke sini? Ga biasa-biasanya. Tanpa bicara apa-apa, gue berdiri dan nyodorin duit untuk bayar makanan gue ke Meta. Meta dan Arjuna pun diem ga menanggapi apa-apa. Dalam perjalanan gue menuju kantor bu Eliya, gue ga berhenti bertanya-tanya. Dan bener, ternyata ada bokap gue lagi ngobrol sama bu Eliya, bu Eliya ini adalah wali kelas gue.
Gue ketok pintu kantor bu Eliya, "Permisi, Ibu manggil saya?" Gue ga melihat ke arah bokap gue.
"Oh Rheina, sini nak duduk dulu." Gue duduk menghadap bu Eliya. "Silakan bapak, jika ingin bicara kepada Rheina." Bu Eliya ngomong ke bokap gue. Gue tarik nafas dalam-dalam.
"Rheina, hari ini Ayah datang ke sini untuk mencabut berkas-berkas kamu, karena Mama kamu memutuskan untuk pindah ke Semarang. Mama kamu ingin mengurus kantor cabang yang ada di sana, jadi kamu ikut nemenin Mama di sana."
Ga percaya dengan apa yg disampaikan bokap gue, amarah gue meledak.
"Ooohhh Rheina tau, pasti Ayah sengaja ngirim Mama sama Rhei ke Semarang supaya Ayah bisa nempatin rumah Rheina sama simpanan Ayah, ya kan??"
Plakkk!
Gue terdiam, sedangkan bu Eliya memekik. "Bapak!! Mohon maaf tapi bapak tidak boleh memukul anak, apalagi di sekolah kami! Silakan selesaikan masalah keluarga bapak di rumah, kami tidak mau menanggung resiko dengan tindakan bapak selanjutnya!"
Tanpa ba bi bu, gue keluar kantor menuju kelas gue. Meta tahu kalo ada yang ga beres langsung meluk gue.
"Lo baik-baik aja kan Rhei??" masih memeluk gue.
Gue terlalu shock untuk menjawab pertanyaan Meta. Gue cuma mau pergi dari sini.
"Gue mau cabut. Gue harus ketemu nyokap gue." jawab gue perlahan. Gue lepasin pelukan Meta dan langsung ambil tas, lalu gue pergi. Gue harus berhadapan sama guru piket dan guru mapel gue setelah ini dulu supaya dapet izin pulang.
Beruntungnya mereka tahu kejadian di kantor tadi, jadi mereka langsung ngizinin gue. Tapi sebelum pulang, gue mau memastikan sesuatu ke bu Eliya soal kepindahan gue.
Dan ternyata, bokap gue belum jadi mencabut berkas-berkas gue. Bagus deh, kata gue dalam hati.

Alih-alih nemuin nyokap gue, Gue malah di sini lagi, di mall yang sama dimana gue kepergok sama Arjuna. Gue langsung naik lift ke lantai teratas untuk menghindari toko buku itu.
Gue duduk termenung di salah satu kafe di lantai itu. Gue masih bisa merasakan kerasnya tamparan bokap gue tadi, tapi ga sebanding dengan rasa malu gue karena gue punya bokap yang ga loyal terhadap keluarganya. Padahal gue masih inget banget sewaktu gue masih kecil, bokap selalu ngingetin gue untuk mengutamakan keluarga dibandingkan apapun. Tapi kenyataannya sekarang jauh berbeda.

Tiba-tiba ada orang yang berdiri di samping gue, berdehem-dehem.
"Lo udah makan siang belum?"
Gue nengok dan ternyata Arjuna yang ada di depan mata gue. Entah karena apa, tiba-tiba gue langsung berdiri dan meluk dia. Tanpa gue sadari, gue nangis sejadi-jadinya di dada Arjuna.

Miss KLEPTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang