Ingin atau Niat?

46 2 2
                                    

Hi guys...Sorry banget gue telat updatenya, kalo weekend jadi susah ketemu waktu luang.
So, gue harap kalian suka chapter ketiga ini. Gue usahakan untuk update secepetnya dan gue ga mau terlalu banyak chapter.

Please follow, vote, or even comment. Love youuu, xoxo

****

Ngomongin soal adiksi, sebenernya bisa dicegah kalo otak kita bisa kerja dengan benar. Masalahnya, kadang-kadang otak kita ga bisa bekerja sesuai dengan apa yang hati kita inginkan. Contohnya nih, dalam hati pengen berhenti makan, tapi otak bilang kalo perut kita masih laper, ya udah percuma. Contohnya lagi, gue kejedot pintu kamar mandi, maunya hati ga mau kerasa sakit, tapi ternyata tetep sakit, karena apa? Yang pasti karena otaklah yang ngatur, mau sakit atau ga.

Dan yang gue tau, adiksi memaksa lo untuk dapetin yang lo mau supaya lo ngerasa puas. Meskipun lo tau apa yang lo mau itu sangat salah.
Berkali-kali gue merenung, apa yang gue lakuin ini termasuk adiksi atau ga. Adiksi yang notabene terjadi karena ada trauma otak atau depresi berat. Nah, gue sama sekali ga pernah ngalamin itu.
Pikiran gue berkecamuk kali ini, udah 1 jam gue ngabisin waktu di mall ini cuma muter-muter tanpa tujuan. Gue masih ngerasain keinginan yang gue rasakan sebelumnya.
Tapi gue tahan sekuat yang gue bisa.
Sampai akhirnya masuk ke sebuah toko buku. Di sana gue lihat banyak buku-buku baru yang rilis, lalu sampailah gue ke bagian alat-alat tulis. Tanpa gue sadari, tangan gue bergerak untuk mengambil salah satu pensil isi ulang yang ga ada labelnya. Jantung gue berdetak kencang. Gue liat sekeliling, ga ada pegawai di sekitar gue, cuma ada beberapa cewek sedang memilih-milih alat menggambar dan seorang cowok di seberang gue.
Gue lihat ke langit-langit toko, ga ada cctv. Oke, gue akan ambil dan pergi dari sini.
Gue pura-pura milih beberapa model pensil, saat gue yakin ga ada yang lihat gue, gue selipkan pensil ke lengan jaket yang gue pake.
Gue tarik napas dalam-dalam. Perlahan gue langkahkan kaki gue ke arah pintu keluar. Tapi tiba-tiba ada tangan yang menahan lengan atas gue. Gue memutar badan gue, dan ternyata dia adalah cowok yang tadi ada di seberang gue. Mau apa dia?
"Balikin." Dia berbisik, matanya melihat sekeliling.
"Balikin apaan?" Gue pura-pura bego.
"Pensil yang lo ambil, yang ada di jaket lo." Perintah dia.
Gue kaget setengah mati, dari mana dia tau. Gue ga tau harus ngomong apa.
"Balikin atau gue laporin ke security." Masih dengan nada memerintah.
Gue tarik paksa tangan gue, dan mundur selangkah. Dia pun kaget dan matanya membelalak.
"Apa-apaan sih lo? Ga usah ikut campur urusan gue."
"Demi kebaikan lo, gue minta balikin pensil itu." Dia melihat mata gue langsung. Gue jadi salah tingkah. Wait, kayaknya gue pernah ketemu cowok ini. Tapi di mana ya?
"Kalo gue ga mau? Mau apa lo?" Gue tantang dia.
"Oke, gue tinggal ke depan, gue laporin lo udah ngutil disini." Ucap dia datar.
Gue ketawa kecil. "Mana mungkin lo berani, denger ya, gue mau ngapain itu bukan urusan lo, ngerti?!"
Tanpa menjawab gue, dia mulai jalan ke arah satpam yang jaga di depan dengan tenang. Gue panik, gue susul dia dan gue tarik tangannya.
"Oke, oke, gue balikin!" Akhirnya gue nyerah. Berjalan lesu ke arah rak pensil tadi, gue taruh di tempat semula. Dan si cowok itu masih berdiri di tempatnya.
"Udah. Puas lo?"
Dan dia pun pergi tanpa ngomong apa-apa lagi ke gue.
"Dasar cowok sableng." Gue ngedumel sendiri.
Tiba-tiba dia nengok. "Gue bisa denger dari sini." Spontan gue tutup mulut gue pake tangan. Sial.

Setelah kejadian tadi, gue makin tertekan dengan segala masalah orang tua gue. Salah gue apa ya, sampai-sampai harus mengalami ini semua.
Gue melihat jam tangan dan ternyata sudah jam delapan malam dan gue belum makan. Gue berjalan-jalan di area food court, mencoba mencari menu yang bisa menggugah selera makan gue. Coba ga kepergok sama cowok tadi ya, pasti lain cerita. 
Gue jadi teringat sama cowok tadi. Gue yakin pernah melihat dia, tapi gue ga yakin di mana. Jarang-jarang gue melihat cowok sekeren dia jalan-jalan di mall kecil ini. Dia terlihat keren meskipun hanya mengenakan kaos oblong putih dan celana jeans yang memudar warnanya. Rambutnya hitam sedikit ikal, hidungnya mancung, dan perawakannya tinggi besar.
Sisanya gue samar-samar, karena gue cuma lihat mukanya sekilas aja.

Akhirnya gue putuskan untuk makan bakmi ayam, simple, cepet, dan bikin kenyang. Gue menghabiskannya cuma dalam 10 menit. Oke, gue memang laper, tapi moodnya yang ga ada. Nah kan bener apa yang gue bilang tadi. Otak ga bisa kerja sama sama hati. Hati cuma ingin ini itu, selebihnya otak yang mutusin niatnya. Ahh, ga taulah, gue makin bego kalo kenyang.

Ga terasa udah jam 9 malam, mall mulai sepi pengunjung karena sudah banyak yang pulang. Gue ga bisa semalaman di sini, mau ga mau gue harus cari tempat lain.

Kali ini otak gue agak bener, kopi. Ya, gue suka kopi, jadi gue mampir ke coffeeshop yang searah dengan rumah gue.

Ga gue sangka, malam-malam begini antreannya masih panjang. Gue harus antre 15menit untuk pesen kopi. Setelah mendapetkan kopi, gue melihat sekeliling, mencari tempat duduk yang ga terlalu rame. Ternyata semua tempat duduk penuh, kecuali satu meja yang ada di luar ruangan, cuma ada satu orang yang nempatin. Gue senyum, barangkali dia ga keberatan kalo gue join.
Gue hampiri orang itu dan makin dekat gue makin ngerasa familiar dengan orang itu.
Astaga, cowok itu lagi ternyata. Gue gigit bibir gue berkali-kali, mencoba mutusin untuk stay atau pulang ke rumah aja. Masalahnya gue lagi males berhadapan sama orang tua gue lagi malem ini.
Whatever.
Gue hampiri cowok itu, dan berdehem. Dan dia langsung kaget setelah lihat gue.
"Lo serius?? Lo ngikutin gue dari mall? Lo dendam sama gue?" Di matanya ada sedikit ketakutan. Seserem itukah gue?
"Hellooo, buat apa gue ngikutin lo, gue juga punya hidup kali. Gue cuma butuh tempat duduk."
"Trus kenapa lo mau duduk disini?"
Gue melambaikan tangan gue ke belakang gue, "Tuh liat, rame, penuh, pokoknya boleh ga boleh gue tetep disini." Gue duduk di seberangnya.
Dia cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah gue, lalu kembali sibuk dengan hpnya.
Oiya, gue udah beberapa jam ga ngecek hp gue. Gue ambil hp dari tas gue. Gue lihat ada 34 panggilan tak terjawab dan 16 pesan teks. WOW!
Gue lihat daftar panggilan, semuanya dari bokap dan nyokap gue. Sms pun sama. Terserah, gue cuma mau nenangin diri gue dulu.
Seolah ngebaca pikiran gue, si cowok berdehem-dehem. Gue angkat kepala buat ngelihat dia sekilas. Dia lagi ngeliatin gue, matanya, tajam menatap gue.
"Apa?" Gue tanya dia.
"Kenapa lo tadi ngutil?" Pertanyaannya yang langsung pada intinya itu bikin gue melongo.
"Apa?" Gue pura-pura ga denger.
"Kenapa lo tadi ngutil? Karena gue heran, cewek kayak lo pasti lebih dari mampu buat beli 100 pensil yang sama."
Good boy.
"Tapi kenapa lo malah ngutil?" Dia tanya gue lagi.
Gue cuma mengangkat pundak. "Mungkin karena gue suka. Sensasinya beda."
"Lo sering ngelakuin?"
Beda dari orang-orang yang gue kenal, gue merasa gue bisa bebas terbuka ngomongin apapun sama cowok ini.
"Ga juga, kalo lagi banyak pikiran aja."
"Ketagihan ya?"
"Maybe." Jawab gue sekenanya.
"Udah pernah coba ke psikiater?"
"Kalo mau latihan jadi penyidik jangan sama gue, nanya-nanya mulu lo!" Gue mulai jengkel.
Dia juga mengangkat bahu dan minum kopinya lagi.
"Lo ga inget gue?" Tiba-tiba dia nanya.
Gue cuma menggelengkan kepala gue.
"Gue Arjuna, sepupunya Meta."
Gue mengernyit. Meta? Sahabat gue?
"Meta Larasati?" Gue tanya perlahan.
"Iya."
Seinget gue Meta memang pernah cerita kalo sepupunya bersekolah di sekolah yang sama di kelas IA3. Itu artinya satu sekolah juga sama gue. Dan gue yakin dia tau reputasi gue di sekolah yang tak tercela. Dan tadi dia memergoki gue mengutil. Dan sekarang dia duduk berhadapan sama gue. Minum kopinya dan menatap tajam mata gue.
Mampus.

Miss KLEPTOWhere stories live. Discover now