Consequenses

64 1 0
                                    

Malu, sedih, kecewa, marah, entah apa lagi yang gue rasakan sekarang. Juna ga salah, tapi kenapa gue yang marah ke dia. Dia peduli sama gue, kenapa gue malah ga tau terima kasih.

Gue ga tau harus kemana lagi. Tanpa gue sadari gue sedang mengarah ke kantor orang tua gue. Hati kecil gue berharap gue bisa nemuin mereka lembur di dalam kantor mereka masing-masing, seperti biasanya. Gue parkir di tempat biasa nyokap gue memarkir mobilnya. Gue baru aja mau masuk lift di tempat parkir saat ada satpam yang nyamperin gue.
"Maaf mbak, kantornya tutup. Weekend jadi ga ada yang masuk kerja."
Gue senyum. "Iya pak, saya tau."
"Lalu mbak mau ketemu siapa?"
"Saya mau ke kantor ayah saya di lantai 10. Boleh?"
"Mohon maaf mbak, saya diberikan kewenangan untuk melarang orang selain karyawan di gedung ini masuk, apalagi sekarang sudah malam."
Gue mengangguk lemah, "Oh, oke, makasih pak."
Gue berbalik dan berjalan gontai ke arah mobil gue, ngapain juga gue kesini. Antara bodoh dan tolol itu cuma beda dikit. Sebelum gue masuk mobil, telepon genggam  gue berdering. Tanpa basa basi langsung gue angkat setelah tahu nama peneleponnya.

"Lo dimana Rhei?" Suaranya terdengar panik.
"Kenapa emang? "
"Gue sama Arjuna nyariin lo. Gue ke rumah lo tapi lo ga ada, lo dimana sekarang?"
"Gue lagi ada perlu. Lo pulang aja. Gue baik-baik aja kok."
"Eh eh ni Juna mau ngomong." Aduh, sial.
"Meta...meta..."
"Rhei, bisa kita ketemu?"
"Senin aja di sekolah." Gue tutup telfonnya. Gue udah cukup malu untuk ngomong sama Juna, apalagi ketemu langsung.
Gue mutusin untuk pulang ke rumah, gue ga akan kemana-mana sampai hari Senin.

***
Pagi ini gue pergi ke sekolah tanpa pamit ke bibi. Gue cuma mau melewati hari ini tanpa gangguan apapun. Gue berusaha keras untuk ga mikirin bokap nyokap gue.

Gue parkir di tempat biasa. Segera setelah gue keluar dari mobil, gue ketemu dengan beberapa temen sekelas gue. Mereka cuma menatap gue aneh. Gue memastikan ga ada yang aneh dengan muka gue. Beberapa kali ketemu sama temen gue yang lain pun sama, mereka menatap gue dengan pandangan yang aneh. Kenapa sih? Gue melipir ke toilet, barangkali bedak gue yang cemong.

Keluar dari toilet, gue sempat berpapasan dengan temen sekelas gue. Reaksi mereka sama, seolah mereka jaga jarak sama gue.
Dari kejauhan, gue liat sosok Meta ngobrol sama Juna. Gue percepat langkah gue karena gue ga mau lama-lama jadi pusat perhatian orang-orang di sepanjang koridor kelas.
Gue menepuk punggung Meta, dan dia terhenyak kaget.
"Rhei?"
"Iya gue, siapa lagi sohib lo yang paling kece! Hehe..." Gue mencoba untuk sesantai mungkin.
"Rhei." Juna menyapa gue.
Gue cuma lihat dia sekilas, dan mengangguk.
"Gue mau ngomong sama lo." Meta tiba-tiba narik tangan gue, memaksa gue ngikutin dia ke belakang kelas. Ga biasanya Meta kayak gini.
"Ada apa sih?"
"Nih. Lo liat sendiri." Meta nyerahin hpnya ke gue.
Gue ambil hpnya dan gue lihat video yang sepertinya diambil dari cctv, karena gambarnya kurang jelas. Tapi sepertinya gue familiar dengan situasinya. Dan gue lihat ada seorang perempuan dengan seragam sekolah yang sama persis dengan seragam sekolah gue. Perempuan itu...gue tau perempuan itu. Tiba-tiba gue ngerasa sesak napas. Gue ga berniat untuk lihat video itu sampai selesai, jadi gue balikin hp itu ke Meta.
"Itu bukan lo kan, Rhei?"
Gue ga berani menjawab bahkan untuk melihat Meta. Gue terpaku, tangan gue terkepal. Sempurna. Di saat seperti ini gue harus menghadapi hal yang sama sekali ga gue duga.
"Hey, sorry gue cuma mau kasih tau, Rhei, lo dipanggil wali kelas lo di kantor." Juna tiba-tiba muncul dari belakang.
Gue langsung putar badan dan berjalan cepat ke kantor guru.
Di sana pun semua mata guru memandang aneh ke arah gue.
Gue ga peduli.
"Ibu manggil saya?" Gue langsung bertanya, sesampainya gue di depan wali kelas gue.
"Oh iya, Rhei, duduk." Sambil menunjuk kursi di depan mejanya.
"Ada apa, Bu?"
"Ibu langsung saja ya, Rhei, karena bentar lagi bel masuk, jadi ibu akan cepat saja. Ibu yakin kamu pasti sudah nonton video yang beredar di group temen-temen kamu. Ibu sudah nonton. Nah, sekarang Ibu ingin tanya sama kamu. Apakah benar yang ada di video itu kamu?"
Gue cuma terdiam, menatap wali kelas kesayangan gue ini dengan rasa cemas, malu, dan sedih. Gue kecewa karena gue ga bisa menahan diri, hingga akhirnya gue mengecewakan orang yang gue hormati.
"Rhei? Apakah itu kamu?"
Gue menundukkan kepala gue dan mengambil napas dalam-dalam. Gue ga mau menebak-nebak siapa yang tega menyebar video itu di group sekolah. Gue udah anggap itu sebagai resiko yang harus gue hadapi.
"Rheina? Bisa tolong jawab Ibu? Ibu tau siapa kamu, Rheina. Jadi Ibu punya keyakinan, pasti kamu punya alasan untuk hal itu. Sekarang Ibu minta kamu jawab dulu pertanyaan Ibu tadi." Masih dengan suaranya yang lembut, beliau bertanya lagi ke gue.
Gue memejamkan mata gue, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengakui semuanya.
"Itu...memang saya, Bu."
Gue cuma mendengar Bu Eliya menghela napas. Gue masih belum berani menatap matanya. Gue cuma ingin segera pergi dari sini.
"Oke, sekarang gini, Ibu nanti titip undangan untuk orang tua kamu, Ibu undang untuk datang besok pagi ke sekolah ya. Apa kamu keberatan?"
"Sama sekali tidak, Bu. Tapi maaf, saya tidak tahu orang tua saya di mana sekarang."
"Maksud kamu?"
Gue tau apa yang harus gue lakuin. Gue mengangkat kepala gue, dan senyum.
"Saya akan terima segala sanksi dari sekolah, meskipun tanpa sepengetahuan orang tua saya, Bu Eliya. Saya yakin mereka tidak akan keberatan."
"Masalahnya tidak segampang itu, Rheina. Pihak sekolah tetap menginginkan ada pembicaraan dua arah dengan orang tua kamu. Apalagi ini menyangkut nama baik sekolah kita."
Gue ambil kertas dan pensil yang tergeletak di meja Bu Eliya dan menulis nomor telepon nyokap gue.
"Silakan Ibu hubungi orang tua saya langsung, karena saya tidak tahu keberadaan mereka di mana, dan mereka belum menghubungi saya sejak Jumat lalu."
"Jadi kamu sendirian di rumah?"
"Tidak, Bu. Ada bibi."
Gue melihat Bu Eliya mengernyit sambil membaca tulisan di kertas yang ada di tangannya.
"Ya sudah, silakan ke kelas dulu. Itu sudah bel. Nanti Ibu akan panggil kamu lagi kalau ada perkembangan."
"Baik, Bu."
Gue udah ga peduli lagi, mau dapet sanksi apapun gue ga peduli.

Gue berdiri cukup lama di depan kantor guru, melihat temen-temen gue lalu lalang di depan mata gue, memandang jijik ke arah gue. Sekotor itukah gue? Seolah-olah prestasi gue selama ini lenyap seketika karena kesalahan gue ini.
Saat gue berniat untuk pergi dari situ, seseorang menghadang gue.
Gue mendongak untuk melihat orang itu, dan gue lihat Rosa, satu-satunya saingan gue. Ya, kita selalu saingan dalam segala hal. Persaingan dimana gue selalu menang.
Matanya lembut melihat gue, tapi gue tahu betul dengan wataknya. Sambil tersenyum licik dia berkata,
"Sejak kapan lo jadi maling, Rhei?"

Miss KLEPTOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang