21. [Terluka]

Mulai dari awal
                                    

Tidak butuh waktu lama untuk sampai dirumah Kanya. Sore ini tampak terlihat mendung, akhirnya Rizki memutuskan untuk berdiam sementara di rumah Kanya. Kedua orang tua kanya menyambut mereka dengan hangat, namun kembali terfokus dengan memar di kening Rizki.

"Itu terbentur yah,"

Ayah segera mempersilahkan Rizki untuk masuk, sementara bunda menuju dapur untuk membuat sedikit minuman hangat dan kanya mengambil alkohol serta kapas untuk membersihkan luka pada kening Rizki.

Hujan mulai turun perlahan hingga terdengar semakin deras, minuman hangat yang kini dihidangkan bunda membuat atmosfer di sana semakin hangat, ditambah kanya yang sibuk memainkan jarinya dengan luka Rizki.

"Diminum ki teh nya."

Rizki mengangguk, namun sedikit mengernyitkan keningnya, mungkin terasa perih saat Kanya membersihkan dengan alkohol.

"Rizki tadi ngambil raport sama siapa?" tanya bunda yang sibuk mencari majalah.

"Sama tante bun, tapi udah pulang duluan."

"Dapat juara kamu?"

"Masih bertahan terus bun, juara 1."

Kanya mengernyitkan keningnya, "ngapain manggil bunda gua bun? Ikut-ikut aja lu!"

Bunda mencubit Kanya sedikit pada bagian lengannya,

Ayah dan Rizki hanya mampu menahan tawa atas prilaku Kanya, memanggil bundanya dengan sebutan bunda saja pantang bagi orang lain, duh kanya bundamu tetap akan menjadi bundamu bukan orang lain.

"By the way, liburan ada rencana kemana om?" Rizki kembali membuka obrolan.

"Entahlah, sepertinya tidak ada liburan tahun ini."

Kanya mengerucutkan bibirnya, wajahnya persis menyiratkan 'yah ayah'.

"Kalau aku ajak Kanya ke jogja gimana om? Ga Kanya aja si, tapi Rani dan juga teman-teman yang lain."

Kanya tampak gembira, jogja? Itu tempat dia di lahirkan. Bagaimana dia tidak mau ikut, disana sangat banyak kenangannya, apalagi dengan Riki.

"Nah, iya yah. Dari pada aku ga liburan. Boleh ya yah, please."

Ayah melirik ke arah bunda, mungkin meminta pendapat atas permintaan putri semata wayangnya itu. Bunda yang mengangguk segera meyakinkan ayah untuk memutuskan jawabannya.

"Boleh, tapi ingat! Jaga diri kamu baik-baik, jangan jauh dari Rizki. Kamu juga Rizki, mengemudi mobil tidak perlu dengan keadaan mengantuk, istirahat lah waktunya istirahat, kalau diperjalanan ada apa-apa segera hubungi om atau bunda."

Rizki mengangguk mengerti sedangkan Kanya mengoceh pelan,

"Kenapa ga boleh jauh dari dia, kan masih ada Rani dan yang lain."

"Karna yang mengajak kamu Rizki, jadi ayah mau Rizki menjaga kamu."

"Iya Kanya, bunda juga setuju sama ayah." Kanya semakin kesal. "Kira-kira kapan rencananya ki?"

"Kayaknya hari senin bun, sehari setelah hari ini berarti. Kan lumayan jauh juga, kita berangkat sore aja," jelas Rizki

Bunda mengangguk paham, tidak lama kemudian terdengar rintik hujan sudah mulai berhenti dan Rizki segera berpamitan pada ayah serta bunda, tak lupa dia mengingatkan kanya untuk mengabari  teman-teman yang lain untuk ikut liburan bersama mereka.

"Selamat sore bun, om. Rizki pamit yak," pekiknya dari dalam mobil dengan kaca yang terbuka.

🐤

Kanya sangat sibuk mengemas pakaiannya sampai dia tidak mendengar bel rumah berbunyi hingga beberapa kali, ya malam ini Rani akan menginap di rumah Kanya. Bunda akhirnya turun tangan untuk urusan ini, membukakan pintu untuk tamu anaknya, ya begitulah Kanya.

Rani segera mengetuk kamar Kanya dan membukanya, kebetulan kamarnya tidak terkunci.

"Astaga Kanya!"

Rani terkejut melihat seluruh inchi tempat tidur Kanya dipenuhi oleh pakaian, ditariknya koper yang dibawanya dan segera mengunci kamar Kanya. Kanya hanya bergidik ngeri, tak mengerti apa yang membuat Rani terkejut.

"Kanya, lu itu mau liburan apa pindahan? Ini juga pakaian dalem ngapain lu gantung di pinggiran tempat tidur gitu."

Kanya hanya tertawa kecil, "hehe, oh itu. Anu lho, gua bingung mau bawa yang mana jadi gua taro semuanya disini nanti tinggal milih." tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.

"Pantes aja gua bunyiin bel berulang kali lu ga denger, sini-sini gua bantuin. Mana koper lu?"

Kanya menunjuk ke arah sudut kamarnya, koper biru yang berukuran sedang kini diraih oleh Rani. Rani membantu Kanya memilih pakaian yang akan dibawanya dengan keringat perjuangan. Bagaimana tidak? liat saja,

"Yang itu coklat."

"Gamau Rani aku maunya dua-duanya."

"Mau liburan ihh bukan pindahan, satu aja."

"Tapi dia itu gabisa di pisahin, aku tuh belinya 2 pasang," rayu Kanya.

"Kanyaaaa ... "

"Iyadeh ini."

Akhirnya kanya menyerah.

Selesai sudah, kini mereka merebahkan diri disana, di tempat tidur Kanya yang terbalut selimut lembut. Rani tertidur pulas, dan Kanya kembali tertawa kecil melihat Rani. Betapa sangat menyusahkannya dia bagi sahabatnya itu.

"Kalau di pikir-pikir, Rizki kenapa semakin lama semakin akrab sama aku? Ayah dan bunda juga, kan ga segampang itu mereka percaya sama orang baru, apalagi laki-laki. Apa mereka udah kenal lama? Tapi Rizki siapa? Saudara jauh? Ada yang ga beres ini kayanya."

Kanya perlahan duduk, sorot matanya terjatuh di liontin kalung yang menggantung di cermin riasnya. Kakinya melangkah kesana, menggapai liontin itu dan membukanya. Matanya tak mampu menampung kerinduan lagi, hatinya rapuh serapuh topangan kakinya. Dia terduduk di kursi riasnya, melihat dirinya dicermin, melihat air mata yang mengalir deras disana, dan melihat foto anak kecil laki-laki itu pada liontinnya.

"Tidak bisakah kamu menengokku sebentar saja? Aku rindu. Bahkan sangat"

🐤

Maafin pendek, sengaja akutuh.
Jangan lupa votement.

[Chapter 22] 👉

PARTNERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang