Part 18

20.3K 1.7K 72
                                    

Dillian berdiri menatap pintu rumah yang menjadi tempat kenangan masa kecilnya. Rumah tempat ia tumbuh, rumah yang pernah menjadi tempat paling nyaman bagi tidurnya, rumah tempat ia merasakan kasih sayang kedua orang tuanya dan rumah yang sempat menjadi tepat ia berlindung dalam kehangatan. Namun kini, rumah itu berbeda. Tidak ada lagi perasaan rindu, tidak ada lagi rasa bahwa rumah ini adalah tempat ia pulang. Baginya, rumah tersebut tidak ubahnya seperti bangunan yang lain, sebuah rumah yang asing. Wajar memang, sudah lebih dari sepuluh tahun Dillian keluar dari rumah itu. Rumah yang sejak itu tidak lagi memberinya kehangatan, rumah yang membuat ia justru merasakan ketidaknyamanan, rumah yang kini ditinggali juga oleh wanita yang paling ia benci beserta anaknya.

Dillian memejamkan matanya sejenak lalu membuka pintu rumah itu. Sesungguhnya ia merasa enggan untuk kembali menapakkan kakinya di rumah tersebut, apa lagi ia harus bertemu dengan mereka. Namun janji tetaplah janji, hari ini adalah hari ulang tahun Daddy. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus menepati janji tersebut. Ucapan Laxsel kemarin juga terus mengganjal di dalam pikirannya. Ia ingin tahu, untuk apa Daddy menemui Laxsel.

Langkah kakinya terasa berat saat memasuki rumah tersebut. Pandangan matanya menyusuri ruangan pertama yang tersaji di hadapannya. Ruang tamu itu telah banyak berubah, sofa yang dipenuhi ukiran berwarna emas dan desain yang terlalu menyakitkan bagi matanya kini menggantikan sofa berwarna peach yang selalu menjadi tempat ia berbagi kisah dengan kedua orangtuanya. Dipandanginya salah satu dinding di sana. Ia ingat persis, dulu foto pernikahan kedua orang tuanyalah yang dipajang di sana. Kini foto itu sudah tidak ada dan digantikan dengan foto wanita yang ia benci.

"Lihat ini! Saya tidak menyangka kalau kamu akan datang. Angin apa yang membawamu kembali menginjak rumah yang sudah kamu tinggalkan ini?"

Tanpa menoleh pun, Dillian sudah tahu benar sosok si pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan wanita yang ia benci, wanita yang selalu berlaku manis di depan Daddy-nya. Dillian sudah tahu benar sifat busuk dari wanita tersebut, wanita bermuka dua yang telah merebut Daddy-nya.

"Apakah seorang Dillian kini sudah menurunkan harga diri yang ia bangga-banggakan itu?"

Dillian tidak berminat sedikitpun untuk menggubris perkataan wanita itu. Ia memilih beranjak dari sana dan menuju ke lantai atas, ruangan yang menjadi tempat favorite-nya sejak dulu. Langkahnya terhenti di sebelah wanita itu tanpa sedikitpun melirik.

"Apakah uang yang diberikan Daddy tidak cukup untuk membeli parfum mahal? Atau ... memang selera Anda yang terlalu buruk?"

Dillian melanjutkan langkahnya tanpa menghiraukan ucapan wanita itu lagi. Ia tidak ingin membuat keributan di hari ulang tahun ayahnya itu. Ia tahu perkataanya tadi pastilah membuat geram wanita itu, namun ia tidak peduli. Baginya, wanita itu tetap tidak pantas dan tidak akan pernah menggantikan posisi Mommy-nya.

"Dillian, kamu benar-benar datang?"

Dillian yang baru saja hendak menaiki anak tangga, menoleh pada sosok sang ayah. Sangat terlihat jika kadatangan Dillian sungguh membuatnya bahagia. Pria paruh baya itu tersenyum sumringah dalam balutan baju santainya.

"Ya," jawab Dillian. Ia menghampiri Daddy lalu menyerahkan sebuah kantong kertas yang sedari tadi ada di tangannya.

"Apa ini?" Daddy tampak kebingungan, namun sebuah harapan timbul dalam hatinya disertai percikan bahagia.

"Hadiah ... dari Eve. Eve tidak bisa datang karena ada urusan keluarga, jadi ia menitipkan hadiah ini," jawab Dillian tanpa sedikitpun niat mewujudkan harapan ayahnya.

Senyuman di wajah pria paruh baya itu memudar. Bukannya ia mengharapkan sebuah hadiah di hari ulang tahunnya, namun sebuah hadiah tentunya melambangkan sebuah perhatian dari sang pemberi. Tentu saja ia berharap Dillian, darah dagingnya, menaruh perhatian padanya. Ia sadar jika perbuatannya telah membuat Dillian kecewa, namun sebagai seorang ayah, ia tentu ingin hubungannya dengan Dillian mejadi lebih baik.

Waktu, ia sadar jika hanya waktu yang bisa menyembuhkan segalanya, namun, manusia tidak bisa mengatur waktu. Itulah mengapa ia hanya bisa berharap, jika saat bangun di pagi hari, hubungannya dengan Dillian dapat membaik. Namun William sadar, semua itu tidak mungkin bisa terjadi hanya dalam satu malam. Perlahan, sedikit demi sedikit, ia berharap Dillian mulai mau memaafkannya. Kedatangan Dillian hari ini sudah lebih dari cukup memberikan kebahagiaan bagi dirinya.

***

Sangat mudah untuk menebak suasana di ruang makan itu. Meskipun senyuman tak pernah pudar dari bibir Pak William, namun tak bisa dipungkiri jika rasa canggung dan permusuhan terasa kental di ruangan itu.

Dia malah mengatakan kalau akan memikirkan kembali untuk memakai kemeja berwarna hijau itu," cerita Pak William yang langsung mendapat sambutan tawa dari semua yang ada di meja makan itu, terkecuali Dillian. Ia hanya fokus memotong kentang panggang yang ada di piringnya. Tak sedikitpun minat dalam dirinya untuk ikut dalam pembicaraan. Ia justru merasa jengah berlama-lama di ruangan itu.

"Dillian, bagaimana hubunganmu dengan Eve?" tanya Daddy yang berusaha melibatkan Dillian di dalam percakapan.

"Baik." Hanya kata itu saja yang meluncur dari mulut Dillian. Tak sedikit pun niat dalam dirinya untuk menjelaskan ataupun memperpanjang jawaban yang ia berikan.

"Daddy, aku dengar perusahaan milik Triwaya akan kembali membuka kerja sama untuk proyek mereka di pertengahan tahun 2017 ini," ucap albert memecah keheningan.

"Ya, Daddy sudah dengar tentang hal itu."

"Untungnya aku punya kenalan di sana, jadi kita bisa dengan mudah mendapat informasi. Kali ini aku yakin kalau Easton Company pasti bisa memenangkan proyek itu. Tidak seperti tahun lalu, kita harus kalah oleh perusahaan yang bahkan belum 5 tahun berdiri," ucap Albert sambil melirik Dillian yang tetap sibuk dengan makanan di atas meja.

"Bagaimana Dillian? Mungkin kamu bisa melibatkan Albert dalam proyek ini. Albert pastinya bisa banyak membantu," ucap Daddy.

Dillian tak langsung menjawab. Ia lebih memilih meletakkan sendok yang ada di tangan kanannya lalu meminum air untuk melegakan tenggorokannya. Ruang makan itu tetap hening menunggu jawaban.

"Dillian pasti sangat sibuk dengan pekerjaannya. Bagaimana kalau proyek itu diserahkan pada Albert saja? Aku yakin Albert pasti bisa memenangkan proyek itu. Ya kan, Albert?"

"Ya, Mom. Albert akan mempersiapkan semuanya dengan baik. Teman Albert juga siap membantu perusahaan kita. Albert berani jamin, tahun ini Easton Company yang akan mendapatkan proyek itu," ucap Albert penuh semangat. Senyuman terukir di bibir Mommy tiri Dillian dan Daddy.

"Pergantian pemimpin di Triwaya group membuat perusahaan tersebut mengalami kemunduran. Salah satunya permainan uang dalam proyek tahun lalu. Easton Company bukan tidak memenangkan proyek tahun lalu, melainkan mengundurkan diri. Sejak saat itu hubungan dengan mereka sudah diputuskan. Beberapa perusahaan juga melakukan hal yang sama setelah mengetahui beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Triwaya group."

Dillian menatap Albert yang tampak terkejut oleh ucapan Dillian. Ia tahu ini saat yang tepat untuk mempermalukan pria tersebut. Pria yang berbeda DNA dengannya dan memiliki sikap yang tidak jauh berbeda dengan sang ibu. Namun ia memilih tidak membuang-buang waktunya hanya untuk orang seperti mereka.

"Aku akan langsung pulang setelah mengambil beberapa barang," ucap Dillian yang langsung meninggalkan ruang makan tanpa menunggu jawaban dari ketiga orang lainnya.

###

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang