Part 15

23K 1.7K 127
                                    

Violeta menoleh pada Pak William, sambil berdoa di dalam hati, agar ia tidak salah memilih jawaban.

"Kelihatannya kamu sudah memutuskan pilihanmu," ucap Pak William yang tampak tertarik dan sangat ingin tahu jawaban Violeta.

"Jika saya harus memilih, saya akan memilih Laxsel, Pak," ucap Violeta berusaha bersikap biasa, walaupun ia sangat malu dan takut jika Laxsel menganggap dirinya berharap lebih.

"Alasanmu?"

Sesuai dugaan Violeta, Pak William tidak akan puas dan pasti akan bertanya alasan di balik pilihannya itu.

"Alasannya ... karena Pak Dillian adalah atasan saya dan juga Pak Dillian sudah memiliki kekasih," jawab Violeta. Entah mengapa ia merasa ada sebuah rongga di dalam hatinya saat mengatakan kalimat itu.

"Ah, saya lupa jika kamu pastinya menghormati pekerjaanmu. Bagaimana kamu mengetahui tentang Eve?" tanya Pak William.

"Saya beberapa kali bertemu dengan Ibu Eve dan tadi kami sempat berkenalan."

Pak William mengangguk kecil beberapa kali lalu menatap Laxsel.

"Bagaimana menurutmu, Laxsel? Violeta bahkan lebih memilihmu dibandingkan Dillian. Bukankah kamu menang kali ini?" Ucapan Pak William dan tawa kecil dari kedua pria di hadapan Violeta, membuat ia benar-benar malu. Ia lupa, kalau bisa saja Laxsel merasa tidak nyaman karena jawaban yang ia berikan.

"Ya, sayangnya saya tidak benar-benar menang dibandingkan Dillian," ucap Laxsel.

Mendengar jawaban Laxsel berbeda dari yang ia pikirkan, Violeta menatap pria itu.

"Bagaimana kalau Dillian bukan atasanmu dan tidak memiliki kekasih? Apa kamu akan memilihnya?"

Pertanyaan Laxsel dan tatapan lekat pria itu membuat Violeta merasa canggung. Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan kedua pria itu dengan memberi dirinya pertanyaan khayalan. Namun ia juga meruntuki alasan yang ia berikan tadi. Tidak seharusnya ia menjawab seperti itu, hingga membuat dirinya berada di posisi terjepit saat ini.

"Saya mengerti maksud Violeta. Maaf sudah memberikanmu pertanyaan seperti itu. Saya hanya ingin menujukkan pada Laxsel, bahwa ia bukanlah orang yang tidak bisa dipercaya. Tentunya alasan itu juga yang membuat saya memilih dia sebagai pengacara pribadi saya," ucap Pak William menengahi suasana yang tidak nyaman bagi Violeta.

"Maaf, Pak, jika jawaban saya tidak memuaskan. Tapi seperti yang Pak William katakan, saya hanya mengikuti feeling saya saja. Jadi saya memilih—"

"Ya, saya mengerti. Saya juga yakin Laxsel mengerti maksudmu, Violeta," potong Pak William.

"Maaf jika pertanyaan saya tadi membuat kamu tidak nyaman. Saya hanya terbawa suasana," ucap Laxsel.

Violeta menjawab dengan anggukan dan senyuman. Ia melihat jam di sana dan menyadari jika waktu makan malamnya sudah lewat lima belas menit. Tentunya hal ini bukanlah sesuatu yang baik mengingat betapa sensitifnya Dillian jika ia melakukan kesalahan.

"Pak William, maaf, apakah saya sudah boleh kembali? Waktu makan siang sudah lewat dan saya harus menyelesaikan tugas dari Pak Dillian."

Pak William melihat jam di tangannya lalu menoleh pada Laxsel. Tatapan yang seakan memiliki arti tertentu.

"Kamu bisa kembali ke tempatmu. Terima kasih sudah menemani saya makan siang hari ini. Jika Dillian menegurmu, katakan saja saya yang memaksamu untuk makan siang bersama. Jika dia bertanya lebih jauh, suruh saja dia untuk bertanya langsung pada saya."

"Baik, Pak," ucap Violeta. Violeta tak sengaja menatap Laxsel kembali dan pria itu tersenyum padanya. Violeta membalas senyuman tersebut sambil menganggukan perlahan kepalanya.

***

"Bagaimana menurutmu?" tanya Pak William saat pintu ruangan itu sudah tertutup kembali.

"Sejujurnya?"

"Ya, tentu saja sejujurnya."

"Dia ... berbeda."

Dua kata yang terucap dari bibir Laxsel, membuat Pak William tidak mengerti.

"Tentunya dalam hal yang baik, Om. Dari cerita Papi, saya yakin jika Violeta adalah perempuan yang kuat. Tapi ... ia terlihat seperti seseorang yang suka menutupi perasaannya sendiri."

Pak William menatap ekspresi Laxsel yang terpaku pada pintu ruangannya. Ia setuju dengan Laxsel, itulah mengapa ia merasa sangat bersalah pada Violeta. Andai ia bisa mengulang waktu dan mencegah setiap pertemuan tidak seharusnya terjadi. Minimal mengembalikan sedikit senyuman milik perempuan itu. Sayangnya, jika manusia bisa mengulang waktu, maka penyesalan tidak akan ada di muka bumi ini. Manusia akan bertindak sesukanya dan memilih tanpa memperhitungkan konsekuensi yang ada. Tidak akan ada lagi guna hati nurani untuk menuntun mereka belajar dari pengalaman dan penyesalan.

"Untuk itulah, jaga dia, Laxsel. Saya tidak mungkin melakukannya atau  mengharapkan Dillian. Diana dan Albert  juga tidak mungkin melakukannya. Jaga baik-baik rahasia ini sampai harinya tiba. Jika kamu mampu menyimpan dan mengubur semuanya, lakukanlah. Tapi jika menurutmu rahasia ini tidak bisa ditutupi lagi, lindungi dia selalu. Kamu tidak perlu mengabdikan hidupmu, tapi minimal lindungi ia seperti kamu melindungi adikmu sendiri."

"Saya mengerti, Om tidak perlu khawatir. Mami dan Papi juga akan membantu."

"Terima kasih, Nak," ucap Pak William sambil menepuk pundak Laxsel.

"Apakah Dillian belum mengetahui hal ini?" tanya Laxsel.

"Lebih baik dia tidak pernah tahu akan hal ini."

Jika memang dengan tindakan egois ini, mereka bisa bahagia, maka aku tidak masalah untuk menanggung semuanya. Sudah cukup Dillian tersakiti. Hanya ini yang bisa kulakukan dan bisa kuberikan untuk mereka. Sebagai seorang ayah, aku hanya ingin mereka bahagia. Begitu juga kamu, Violeta....

"Jadi, apa saja yang harus saya tanda tangani?" tanya Pak William sambil mengeluarkan pena dasi saku jasnya.

***

Violeta merasa lega saat tidak mendapati Dillian di ruangan pria itu. Ia menaruh berkas yang diminta Dillian tadi pagi di meja dan keluar dari ruangan tersebut. Makan enak, kenyang, tentunya tidak lengkap jika tidak ditutup oleh rasa kantuk. Apalagi sejak hamil, Violeta semakin mudah merasa lelah dan mengantuk.

Violeta menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Sejenak ia berharap memiliki waktu untuk tidak memikirkan apapun. Sejenak melupakan masalahnya, melupakan kekhawatirannya, melupakan rasa lelahnya, melupakan penderitaanya. Ia ingin pergi ke masa saat dirinya bisa hidup tanpa mengkhawatirkan apapun, tanpa merasakan kesedihan, tanpa merasakan rasa sakit, tanpa merasakan kesepian.

Sayangnya tidak ada satu pun memory akan masa-masa itu. Violeta sadar, setiap masa, setiap usia, memiliki kekhawatirannya masing-masing. Seorang bayi menangis saat ia lapar, saat ia merasa tidak nyaman, saat ia mengungkapkan sesuatu yang tidak dimengerti oleh orang lain. Anak kecil menangis saat ia merasa tidak diperhatikan, tidak mendapatkan apa yang diinginkan, saat ditekan keaktifannya. Begitupun dengan masa sekolah dan juga dewasa.

Hidup bukanlah 'hidup' jika kita tidak mengalami naik turun dan merasakan berbagai perasaan. Kita tidak akan mengenal kebahagiaan, jika kita lebih dahulu mengetahui apa yang disebut kesedihan. Kita tidak akan mengenal kasih, jika tidak lebih dahulu mengetahui arti kebencian. Kita tidak akan mengenal rasa aman, jika kita tidak tahu keadaan yang penuh huru-hara.  Kita tidak akan mengenal sukacita, jika kita tidak tahu maksud dari dukacita. Sesuatu yang berlawanan terjadi di dalam hidup kita agar manusia bisa lebih menghargai hidupnya.

###

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang