tiga lima

28.5K 4.6K 188
                                    

"Ditekuk amat itu muka," sindir Sera. Tidak ada penjelasan apa pun dari Daru membuat gue uring-uringan. Rasanya semua ini terlalu aneh.

"Lagi males senyum gue," jawab gue seadanya. Menyadari mood gue yang buruk Sera hanya mengulum senyum maklum dan kembali larut dalam tontonannya.

"Lo kapan pindah dari sini Kei?" tanya Kiran yang membuat gue bingung

"Ngapain pindah?"

"Lo kan mau nikah sama Mas gue, Nyet. Masa lo masih mau di sini aja. Gue nggak mau ngedenger suara yang enggak-enggak entarnya." Mia berceloteh, membuat Kiran dan Sera mulai tertawa dan membahas hal-hal yang menyimpang.

Gue hanya diam, tak berniat membalas ucapan Mia. Belum tentu juga gue jadi menikah dengan kakaknya jika kondisinya terus seperti ini. Gue pun menatap cincin di jari dengan nanar. Kenapa gue harus merasa terikat karena cincin ini? sedangkan orang yang memasangkannya saja sama sekali tidak menggunakan cincin yang mengikat kami. Gue jadi melow.

"Loh Kei? Mau kemana? Dramanya lagi seru ini!" Seru Sera.

"Mau tidur aja gue, hidup gue nggak seindah di drama."

***

Gue lagi malas untuk bertemu Daru. Namun kami satu shift terus akhir-akhir ini karena jadwal Arel yang kosong ditambal olehnya juga Shakeel. Hubungan kami bahkan lebih parah dari gue sama Adit. Sama Adit saja gue masih menjalin komunikasi, sedangkan dengan Daru nihil. Dia melamar gue seolah mengerjakan tugasnya, lalu selesai. Wenda itu mantannya kali ya sampe dia kayaknya berat begitu?

Hari ini gue juga tak melihat keberadaan cincin di jemarinya, membuat diri semakin frustasi. Apakah gue sememalukan itu untuk diakui olehnya sebagai calon istri?

Gue benci sama diri gue yang terkesan sensitif banget sekarang. Serba nggak keruan hanya karena perlakuannya yang tidak jelas. Semua berpengaruh ke mood yang hancur berantakan.

"Teh, Teteh kenapa?" tanya Alan sambil menangkup wajah gue. Dia menatap mata gue yang sudah berkaca-kaca. "Alan ada salah ya sama Teteh?" tanyanya kemudian.

Anak ini bahkan lebih perhatian dari calon suami gue sendiri.

Gue menggeleng, mencoba menyangkal, namun air mata jatuh tanpa dapat dicegah. Seolah melawan klaim keadaan baik-baik saja yang gue coba tunjukkan.

Alan menghapus air mata gue dengan jemarinya. "Teh, Alan nggak tau apa yang teteh lagi alamin sekarang. Tapi Alan harap Teteh bisa cerita sama Alan buat ngurangin beban Teteh."

Tumben dia tak sebocah biasanya. Gue akui dia memang mulai berubah akhir akhir ini, tapi tetep saja sisi kekanakkan yang menempel padanya tak berubah.

Hari ini gue shift siang, berarti jam jaga berakhir pukul sembilan. Belum ngobrol-ngobrolnya setelah selesai operan, jadi jam setengah sepuluh baru selesai ganti baju. Setelah kejadian kemarin Daru pun tak ada usaha untuk mengajak gue pulang bersama lagi, dan gue pun tak berniat untuk memintanya mengantar gue pulang.

"Udah malem, lo balik sana." Shakeel mencoba mengingatkan.

Perhatiannya sebagai sohib sekaligus abang memang tak berubah. Dan itu membuat gue nyaman.

"Iya ini mau pulang kok," ucap gue seraya tanda tangan absen pulang di nurse station. Selain finger print di sini juga ada absen manual. Jadi double absennya, katanya sih untuk urusan administrasi jadi dibuat seperti itu.

"Mas Shakeel, Alan boleh anter Teteh bentar nggak?" ucap Alan. Alis Shakeel terlihat mengkerut, kemudian Alan mendekat dan berbisik. Lantas Shakeel menatap gue dengan dalam, seolah memastikan.

"Ya udah Lan, jangan lama-lama tapi, takut dicariin sama yang lain," balasnya.

"Sini Teh Alan anter," ucap Alan sambil membawan paper bag yang isinya seragam yang habis gue gunakan tadi. Gue pun tak menolak karena ini udah malam, dan Daru hanya terdiam memperhatikan gue dan Alan tanpa ngomong apa-apa.

Alan menggandeng gue ke arah tangga darurat yang terhubung ke parkiran. Membuat Shakeel berteriak, "Hati-hati Lan itu udah ada yang punya! Ntar kalau yang punya tau lo gandeng-gandeng calon bininya ribet urusan."

Yang punya pun sepertinya nggak ada niat mempertahankan.

Kami akhirnya sampai di bassement tempat parkir khusus Karyawan. Gue cuma mengekori Alan yang berjalan santai di depan. Gue membuka bungkus permen yang Mbak Ambar beri untuk menghilangkan rasa kantuk. Guna melampiaskan rasa kesal, permen yang harusnya dihisap malah gue gigit hingga menimbulkan sedikit kegaduhan.

"Teteh lagi makan apa?" tanya Alan heran karena bunyi keletuk yang dihasilkan dari gigitan gue ke permen tidak bersalah itu.

"Permen, mau?" ucap gue seraya merogoh kantong baju gue.

Tapi tiba-tiba Alan merapatkan gue ke tembok, dan mengukung dengan kedua tangannya.

Ini bocah kenapa lagi sih?!

"Ini, gausah dorong-dorong Teteh gini," ucap gue sembari melepaskan kukungannya dan memberikan permen ke tangannya.

"Kalau Alan maunya yang di dalem mulut Teteh gimana?"

Gue menganga.

"Lan, kamu tuh apa-apaan sih!" ucap gue sambil mendorong tubuh Alan, tapi nampaknya itu tak berpengaruh apapun. Ia tak bergerak sama sekali. Kerongkongan gue mendadak kering.

"Teh, bisa lihat Alan sebagai laki-laki nggak? Alan mohon," ujarnya dengan nada yang begitu serius. Gue masih tertegun dan tak menjawab. "Apa perlu Alan buktiin sekarang?"

Suara langkah kaki yang menggema di lantai tempat parkir membuat gue segera menyingkirkan Alan dengan sedikit dorongan yang lebih kuat. Saat menoleh, gue mendapati Mas Daru sedang berdiri di belakang kami.

"Iket rambut kamu ketinggalan," ucapnya saat mata kami bertemu. Ia berjalan maju, membuat Alan memberingsut mundur secara spontan. Tangannya kemudian mengambil lengan gue dan menaruh ikat rambut karet berwarna coklat muda di telapak tangan. Kemudian ia pergi begitu saja, meninggalkan gue dan Alan yang masih terpaku. Tadi gue memang sempat melepas ikat rambut saat tanda tangan, dan sepertinya gue lupa untuk ngambilnya lagi.

"Mas Daru ngelihat nggak ya? Haduh, disuruh ngapal lagi deh nanti!" keluh Alan yang kini kembali berubah menjadi kekanakan.

Ucapan Alan sama sekali tak gue pedulikan. Sikap Daru yang begitu dingin bahkan setelah melihat Alan yang seperti itu membuat gue merasa sama sekali tak diinginkan.

"Lan, anter Teteh pulang sekarang."

Looking For MateWhere stories live. Discover now