dua tujuh

25.5K 4.6K 164
                                    

Hari pernikahan Arel semakin mendekat, dan gue belum menemukan partner untuk pergi. Coret Fidel dari daftar, karena kejadian kemarin hubungan kami langsung menjadi dingin. Entah apa yang Azril sampaikan padanya, hingga saat ini Fidel tidak pernah menghubungi lagi. Celio juga muntaber alias mundur tanpa berita. Sedangkan jika bersama Alan, gue diharuskan datang sejak pagi dan mengenakan pakaian seragam keluarga. Ah, tentunya gue tidak menginginkan hal itu.

Jadi, solusi yang paling aman dan menyenangkan saat ini adalah berangkat bareng Bang Shakeel. Toh ia pun diundang ke acara Mas Arel.

"Bang, udah punya partner buat ke nikahannya Mas Arel?" tanya gue yang dijawab Shakeel dengan gelengan.

"Belom, kenapa? Mau jadi partner gue?" tanya Bang Shakeel to the point. Seolah sudah bisa membaca isi pikiran gue sepenuhnya. Gue pun mengiyakan dengan cengiran dan juga anggukkan.

"Mana ada cewek yang ngajak duluan," ucap Bang Shakeel meledek.

"Kepepet nih Bang, lagian sekalian sih, kan Abang diundang juga."

"Ya udah, hari itu gue shift malam, nanti siangnya gue jemput lo ke sini. Shift pagi kan lo?"

Gue mengangguk dengan antusias. Shakeel bahkan hapal jadwal milik gue. Ia memang partner yang baik.

"Gue balik dulu ya, jaga yang bener lo jangan sampe pingsan lagi," nasihat Shakeel sambil menepuk pundak gue. Setelahnya ia berlalu pergi untuk pulang. Gue memang paling jarang dapat satu shift sama Bang Shakeel, entah mengapa. Padahal dia dokter paling menyenangkan di sini.

"Lo kenapa nggak sama dia aja sih?" Mbak Anggi yang melihat interaksi kami berdua mengutarakan komentarnya.

"Nggak ada feel berlebih gue sama Bang Shakeel Mbak, Dia udah kayak kakak buat gue."

***

Seperti biasa kalau Daru yang jaga ada saja kasus gawatnya. Seorang ibu datang dengan keluhan kontraksi tanpa henti, usut punya usut ibu tersebut habis minum air doa yang ternyata dicampur dengan rumput fatimah.

Labisia pumila atau yang kerap dikenal oleh masyarakat sebagai rumput Fatimah sering kali dianggap obat untuk melancarkan persalinan. Adanya kandungan hormon oksitosin di dalam rumput Fatimah membuat tanaman ini dapat merangsang timbulnya kontraksi. Namun tenaga medis tidak menganjurkannya karena kadar oksitosin dalam rumput Fatimah tidak dapat dipastikan. Kontraksi yang terjadi bisa saja berlebihan, seperti yang dialami pasien kami saat ini.

Ketuban yang sudah pecah, teriakkan sang ibu yang kesakitan akibat kontraksi tiada henti, ditambah kondisi gawat janin membuat kami segera bergerak dengan cepat untuk menyelamatkan sang ibu dan bayi.

Setelah semua prosedur dan juga penanganan awal terlewati, ibu itu pun akhirnya dibawa ke ruang operasi untuk segera dioperasi oleh Daru dan timnya. Ia baru kembali lagi sekitar jam satu malam.

Di saat dia kembali, ada pasien datang lagi. Tumben-tumbennya saat dia yang jaga pasien mengalir tidak berhenti seperti ini, biasanya jika kasus gawat darurat sudah tertangani kami bisa beristirahat dengan baik.

Dari semua keluhan gue selama bekerja di rumah sakit. Pasien yang tidak bisa diajak kerjasama lah yang paling ribet. Dan pasien yang datang kali ini sama sekali tidak bisa diajak kerjasama. Dia berteriak kesakitan walaupun pembukaan belum lengkap.

Saat gue menasihati untuk tidak berteriak dan mengatur napas agar rasa sakitnya berkurang dan tidak kehabisan tenaga untuk proses persalinan nanti, pasien itu malah berkata, suster gatau rasanya sakit melahirkan diem aja! Emang situ udah nikah?

Bahkan sampai ke pasien pun menyinggung perkara nikah. Rasanya menjengkelkan.

Daru yang pada dasarnya tegas alias galak pun paling anti dengan pasien sejenis ini. Dengan nada menusuknya ia menyuruh sang ibu untuk berhenti teriak-teriak karena itu tidak akan membawa pengaruh apapun, yang ada ibunya kecapekan duluan sebelum proses persalinan.

Gue hanya terpaku melihat sang pasien yang berubah menciut.

Giliran yang ganteng yang bilang ibunya diam, giliran gue disahutin mulu.

Ucapan Mas Daru ternyata tidak berefek lama. Pasien itu kembali teriak-teriak. Parahnya sekarang tangan gue diremat dengan begitu kuat.

"Suster ini sakit!" ujar pasien dengan nada membentak.

Pada umumnya pasien melahirkan memang merasakan sakit. Namun toleransi sakit satu pasien dengan pasien yang lainnya berbeda. Banyak juga yang merasa kesakitan, tetapi mereka memilih untuk tetap tenang, tidak seperti ini.

Pasien itu bergerak tidak keruan, membuat gue menghalau dan menahan tubuhnya agar tetap tenang di ranjangnya. Tapi ibu itu malah mencakar tangan gue hingga berdarah.

Perih! Gue mau nangis.

Daru yang mendengar keributan pun kembali datang menegur. "Bu, saya harap ibu bisa tenang. Ibu mengganggu pasien yang lainnya juga kalau seperti ini."

Karena sudah ada Mas Daru gue pun beranjak meninggalkan pasien itu. Setidaknya ibu itu sudah ada yang mengawasi. Dengan gerakan yang tidak keruan seperti gue gue hanya takut ibu itu jatuh.

"Tangan kamu kenapa?" tanya Mas Daru yang melihat gue keluar ruangan sambil menutupi tangan.

Gue menjawab dengan gelengan, memilih untuk melewati Mas Daru yang masih berdiri di depan pintu. Tapi Mas Daru menahan lengan yang gue tutupi dengan tangannya hingga gue tidak bisa bergerak lebih jauh. Ringisan pedih pun tak bisa gue sembunyikan. Kuku milik pasien itu begitu tajam.

"Mba Anggi ke sini sebentar!" Panggil Mas Daru dengan suara yang cukup keras.

Mbak Anggi segera menghampiri. "Iya, kenapa dok?"

"Tolong jagain pasien ini," pintanya.

Tiba-tiba Mas Daru menarik tangan gue dan membawa gue ke wastafel tempat kami cuci tangan sebelum dan setelah selesai tindakan. Ia menyalakan keran dan membawa tangan gue yang terluka ke air mengalir.

Gue berjengit karena rasa perih dan menarik tangan untuk menjauh. Namun tenaga Mas Daru jauh lebih kuat untuk menahan tangan gue. Rematan pada seragam yang gue kenakan menjadi pengalih dari rasa sakit.

Setelah selesai Mas Daru mengambil tisu, bermaksud mengeringkan tangan gue yang basah.

"Biar saya aja Mas," ucap gue. Ia pun memberikan tisu handuk itu ke gue, yang gue pakai untuk mengeringkan tangan gue yang basah.

Sementara gue sibuk mengeringkan, Ia mengobrak-abrik troli yang berisi perlengkapan obat. Kemudian ia kembali lagi dan membersihkan luka cakaran itu pakai kapas alkohol, dan diberi betadine.

Air mata gue merembes keluar gitu aja karena rasa perih yang menyiksa. Luka cakaran itu ternyata cukup dalam. Selama berada di ruang bersalin, ini pertama kalinya gue dicakar. Kalau tangan diremat dan dicubit sih sudah sering. Kadang para pasien melampiaskan rasa sakit mereka dengan cara yang salah.

"Udah," ucap Mas Daru yang gue angguki.

Setelahnya dia memberekas bahan yang sudah dipakai untuk mengobati gue tadi. Dan dia memberikan tisu ke gue buat mengusap air mata.

"Lain kali kalau ada pasien kayak gitu diawasin aja, nggak usah deket-deket."

Gue cuma mengangguk dan menggumamkan kata makasih. Mas Daru kemudian berlalu tanpa sepatah kata.

Kenapa calon suami orang kerjaannya bikin baper sih?

Looking For Mateحيث تعيش القصص. اكتشف الآن