empat belas

25.7K 4.3K 161
                                    

Melihat dua orang yang dikenalnya, Bang Tio memilih bergabung bersama kami. Acara penjajakan yang gue harapkan hancur sudah kalau begini ceritanya. Rasanya mau nyerah aja untuk cari jodoh. Kemarin Danar, sekarang Bang Tio.

"Lo kok bisa berdua sih?" tanya Bang Tio keheranan.

"Kan janjian, ya bisa lah." Fidel menjawab dengan enteng. Tapi tidak menghilangkan kerutan di alis Bang Tio. Gue yakin yang diherankan oleh Bang Tio adalah kenapa kami bisa janjian berdua, bukan kenapa kami bisa berada di sini berdua.

"Woy Bang Tio!" teriak Ezi sambil menghampiri, nampaknya ia tidak sadar dengan kehadiran gue.

"Woy sini!" teriak Bang Tio.

Ezi pun langsung datang, begtu dekat ia menyadari kehadiran gue. Mimiknya segera berubah, ia kini mengeluarkan senyuman jahil. Gue mulai merutuk dalam hati.

"Tumben lo dandan? Lagi kencan?" Ezi berkata seenak jidat, tanpa berbasa-basi sedikitpun.

"Enggak," jawab gue.

Ezi kemudian melirik ke arah Fidell memperhatikannya secara saksama lalu tersenyum. "Kok beda lagi? Terus temennya Mia kemaren gimana?"

MULUTNYA PADA LEMES AMAT SIH! AH KESEL GUE.

Kalau begini gimana gue bisa deket sama orang? Kesannya gue kayak mainin cowok jatuhnya, padahal belum ada yang resmi.

Alis Fidel langsung berkerut. "Siapa itu Kei?" tanyanya.

"Itu kemarin dia dikenalin sama temennya temen gue." Bang Tio menimpali.

Ini yang ditanya siapa yang jawab siapa. Makin pusing gue. Mereka seolah tahu segalanya soal gue.

Wajah Fidel mendadak berubah menjadi tidak enak, senyumannya perlahan menghilang, hanya tergantikan dengan sunggingan bibir formal. Sepintas mungkin orang akan menyangka Fidel tetap tersenyum, namun sorot matanya yang berbeda dari sebelumnya berbicara lain.

"Bisa tinggalin gue berdua sama dia?" pinta gue dengan tegas kepada Bang Tio dan Ezi. Gue tahu jika Bang Tio memang mengenal Kak Fidel secara pribadi, namun pertemuan gue dengan Fidel hari ini di ranah yang berbeda.

Baik Ezi dan Bang Tio terlihat sedikit terkejut karena nada yang gue pakai cukup mengindikasikan bahwa gue sedang serius. Mereka tau gue lagi tidak ingin bercanda dan akhirnya memilih untuk membubarkan diri dari meja kami.

Gue rasa gue harus tegas, karena kalau enggak mereka pasti akan mengganggu tujuan utama gue untuk bertemu dengan Fidel, yaitu mengenalnya secara personal.

"Kakak tau kan aku lagi nyari jodoh?" tanya gue pada Fidel yang ia angguki.

Bodo amat. Seluruh dunia udah tau kalo gue nyari jodoh, jadi gue akan langsung blak-blakan sekarang.

"Kemarin aku dikenalin ke orang sama temen, dan kami ketemuan di kafe ini juga." Gue menjelaskan dengan jujur.

Fidel mengangguk dan kemudian bertanya. "Terus udah jadian?"

"Belom, masih penjajakan," jawab gue jujur. Gue belum menemukan kenyamanan apapun bersama Adit.

"Berarti aku masih punya kesempatan?"

Gue pun mengangguki. "Semua orang masih punya kesempatan sekarang."

Dengan ultimatum yang sudah orangtua gue kasih, mungkin kata pacaran bukanlah menjadi jalan keluar terbaik. Mengetahui kepribadian lawan jenis dan dan memilih yang paling cocok mungkin jadi solusi lebih baik.

"Jadi, mau mulai dari mana?" tanya Fidel.

Setelahnya gue dan Kak Fidel saling bertukar informasi mengenai diri masing-masing. Mulai dari latar belakang keluarga dan pendidikan, hobi, sampai hal yang disuka dan tidak disuka. Yang membuat gue menemukan kesimpulan bahwa ia pribadi yang ramah dan enak diajak ngobrol, tapi sisi posesifnya begitu terlihat.

Looking For MateWhere stories live. Discover now