tiga puluh

25.7K 4.6K 278
                                    

Shakeel. Entah mengapa tiga hari terakhir ini nama itu lah yang selalu melintas di benak. Dari semua laki-laki yang dekat, dia salah satu orang yang mendekati tipe gue.

Meskipun gue nggak punya rasa apapun sama dia, gue rasa kalau untuk berumah tangga dan bekerjasama dalam mengurus anak bisa, bukankah kami sering bekerjasama dalam menangani pasien? Hanya mengurus urusan sumur, kasur dan dapur sepertinya bisa. Lagipula bukankah cinta bisa datang karena terbiasa?

"Bang, ikut gue sebentar yuk?"

Shakeel mengangguk, mengekori gue untuk menuju tangga darurat.

"Kenapa Kei?"

Gue sempet terdiam, sedikit ragu untuk mengutarakan. Gue selalu terbuka akan masalah apapun sebelumnya sama dia kecuali perkara pencarian jodoh tak berujung ini.

"Bang, mau nikah sama gue nggak?" tanya gue tanpa aba-aba.

"Lo ngajak gue nikah apa ngajak gue nonton sih?" tanya Bang Shakeel dengan tawa tertahan. Dia menyangka gue bercanda.

Gue menggigit bibir dengan gugup, sedikit menyayangkan kenapa gue yang biasa begitu terbuka denganya berubah menjadi canggung.

"Nyokap gue ngasih waktu seminggu lagi buat gue Bang, kalau nggak gue bakal dijodohin," ungkap gue jujur.

Hening. Shakeel menatap gue dalam diam, membuat gue merasa kikuk.

"Emang lo bisa jadi istri gue?" tanyanya kemudian.

"Gue bisa masak, gosok, nyuci, dan tau beberapa urusan kamar lah Bang."

Oke. Gue promosiin diri gue sendiri sekarang tanpa abang sepupu gue yang ngeselin itu.

"Kita juga udah sering kerjasama dan komunikasi kan Bang? untuk gedein anak gue rasa juga nggak susah," ucap gue seenak jidat. Otak gue terasa beku untuk bekerja hingga tak bisa merangkai kata-kata yang lebih indah.

"Bukan itu!" Bang Shakeel memotong kalimat gue dengan nada frustasi yang bikin gue bingung.

Bukannya banyak orang temenan dekat lalu menikah dan rumah tangganya baik-baik saja? karena selain sebagai suami-istri mereka juga menjaga perasaan satu sama lain layaknya sahabat.

Shakeel tiba-tiba mendekatkan wajahnya, yang membuat gue otomatis memejamkan mata dan menaruh kedua tangan gue di depan dada untuk menahan tubuhnya.

"Gitu aja lo nggak bisa, gimana mau nikah," ucap Bang Shakeel dengan nada yang terdengar... sedih?

Gue membuka mata, ekspresi Shakeel jelas terlihat berbeda dari sebelumnya, sekarang wajahnya terlihat sendu. "Gue tipe orang yang butuh cinta buat nikah," ucapnya yang membua kerongkongan gue mendadak kering.

"Kalau gue nggak punya perasaan apa-apa sama lo, gue nggak akan tolak ajakan nikah lo,"

"Lo bener, kita udah sering kerjasama dan komunikasi, untuk masalah gedein anak juga gue yakin lo lebih dari sekadar mampu, karena gue udah liat sendiri gimana lo ngasuh bayi-bayi di sini dengan kedua tangan lo. Kemampuan lo untuk jadi seorang istri emang udah mumpuni.

Tapi gue nggak bisa terus-terusan makan hati Kei, gue nggak bisa ngelihat mata istri gue lebih tertarik saat melihat orang lain dibandingkan gue. Bahkan sama Alan pun lo bisa natap dia dengan tatapan tertarik. Tapi enggak dengan gue. Lo nggak pernah memandang dengan cara itu ke gue."

"Gue suka sama lo, tapi lo nggak pernah peka," tutup Bang Shakeel di akhir kalimat.

Gue diam terpaku. Gue yang mengajak dia menikah gue juga yang tak bisa berkata-kata.

"Bukankah cinta bakal tumbuh seiring berjalannya waktu?" tanya gue kemudian.

"Dan dari banyak waktu yang udah kita jalani berdua, apa ada cinta di hati lo untuk gue?"

Gue membisu. Sejak awal gue memang tidak bisa melihat Bang Shakeel sebagai sosok yang gue cintai, dan sepertinya itu tak akan pernah berubah. Gue pernah berusaha untuk mencintainya, namun nihil, gue tak merasakan getaran ataupun debaran yang menyenangkan saat di dekatnya, hanya sekadar rasa nyaman dan merasa dilindungi, seperti halnya saat bersama Bang Azril.

"Bang..." ucap gue menggantung. Membuat Shakeel menoleh dan menatap mata gue dalam, menantikan kelanjutan kalimat gue. "Maafin gue..."

Maafin gue karena nggak bisa bales perasaan lo...

Cuma itu kata yang bisa keluar dari mulut gue. Gue blank dan nggak tau harus ngomong apalagi. Gue mengajak dia untuk menikah tapi dia menolak karena perasaannya terhadap gue. Gue bingung.

Shakeel kemudian memeluk gue, pelukan yang terasa berbeda dari biasanya. Kalau pelukannya biasanya terasa biasa saja, kali ini sarat akan emosi.

"Siapapun orangnya, gue harap dia orang yang terbaik buat lo Kei," ucapnya tulus. Lalu ia melenggang pergi, meninggalkan gue di keheningan tangga darurat yang kosong.

Looking For MateWhere stories live. Discover now