tiga enam

29.8K 4.9K 262
                                    

Sesampainya di rumah, gue segera menghubungi Bang Azril. Gue butuh waktu untuk menenangkan diri. Setelah dua nada panggilan, telepon gue pun diangkat.

"Bang, anterin gue ke kelab langganan lo sama temen-temen lo nongkrong dong," ucap gue tanpa basa-basi. Meski tidak pernah main perempuan, pergaulan Bang Azril memang tidak lepas dari kelab malam dan sebangsanya. Di keluarga, hanya gue yang mengetahui hal ini karena Sera pernah bercerita mengenai abang gue yang kerap kali mampir ke kelab malam saat Jumat malam sepulang kerja.

"Lo mau ngapain anjir?!" Azril berteriak heboh.

"Mau nenangin diri, segelas dua gelas bolehlah."

"Lo kena asep rokok aja udah batuk-batuk ya. Gausah gegayaan. Sana gosok gigi, cuci kaki, pakai piyama lo, terus tidur!" cerocosnya panjang lebar.

"Kalau lo gamau nemenin gue berangkat sendiri nih," ancam gue.

Azril berdecak. "Tunggu di sana, gue jemput."

Dalam hati gue tersenyum penuh kemenangan, sudah gue duga, dia pasti tidak akan membiarkan gue masuk kelab sendirian.

Begitu sampai ke kelab langganannya Azril, bau alkohol, parfum, dan asap rokok menyeruak mengusik hidung. Membuat gue sedikit menyesal. Mending gue mencium bau klorin di rumah sakit, baru segini saja kepala gue udah pusing. Hingar bingar musik yang begitu kecang, lampu warna-warni yang mewarnai lantai dansa semakin menambah rasa tak nyaman.

Azril menggandeng gue melewati lautan manusia itu ke arah kursi panjang yang lumayan sepi. "Diem di sini," ujarnya yang gue angguki. Meski menyebalkan, gue yakin ia pasti akan melindungi gue di sini.

"Siapa nih? Cewek lo? Ketutup banget? Tumben," ujar seorang cowok dengan rambut pirang dan penuh dengan tindikan pada telinga.

Nampaknya outfit celana ceans dan kemeja abu-abu milik gue sedikit salah tempat, sedangkan yang ada di sini rata-rata pada memakai hot pants atau rok mini dengan baju berbelahan dada rendah. Namun bukan itu yang terpenting bukan? Yang penting adalah gue punya uang untuk membeli menu yang dijajakan di sini.

"Bukan urusan lo," balas Azril tajam. Tatapan tak ramah langsung dilayangkannya hingga orang itu memilih untuk menyingkir.

"Selow dong, Bro."

Tatapan gue mengedar kesana-kemari, mencoba membiasakan diri dengan keadaan meski nampaknya usaha gue sia-sia, ekspresi terganggu yang gue tampilkan saat beberapa orang melewati kami membuat Azril dengan mudahnya menebak. "Nyesel kan lo?" sindirnya kemudian

Gue menggelengkan kepala dengan cepat, mencoba menyangkal apa yang tercetak dengan jelas di wajah. Gengsi yang menggunung membuat gue harus terlihat terbiasa. Gue yang minta untuk diantar ke sini tadi, masa gue yang menunjukkan bahwa gue menyesal?

"Mau minum?" tawar Azril yang sepertinya mulai ingat akan tujuan awal gue minta diantar ke sini.

"Ya kan tujuan gue ke sini buat itu, pakai nanya segala lagi."

"Mau apa?" tanyanya tanpa melanjutkan perdebatan.

"Gue gatau apaan, yang pasti lo ngerti lah dosis buat pemula kayak gue," ucap gue yang membuat Azril mendengus. Ia memandang gue dengan tatapan prihatin, seolah ingin protes, namun menelannya kembali.

Ini pertamakalinya gue mencoba minuman beralkohol. Minum soda kebanyakan saja gue cegukan, entah apa yang akan terjadi hari ini. Oleh karenanya gue meminta Azril untuk menemani, selain karena ia mengetahui dosis yang mungkin pas untuk gue, ia juga pasti akan menjaga gue.

"Kalau gue lapor Tante gimana?" tanyanya kemudian yang sontak membuat gue melotot.

"Jangan anjir!" tolak gue secara spontan. "Kalau lo mau pesen, pesen aja, gue traktir deh, tapi jangan bilang siapa-siapa." Gue menawarkan kesepakatan.

Looking For MateWhere stories live. Discover now