tujuh belas

23.8K 4.5K 217
                                    

Mas Daru memutuskan untuk tinggal dan menunggu Mia, adiknya yang selama ini tinggal sama gue dan gue tidak tau sama sekali!

Sekarang guemengerti kenapa Mia tidak betah tinggal di rumah. Kalau kakaknya modelan begini sih nggak heran gue.

"Mau minum apa mas?" Gue mengulang tawaran. Masa tamu tidak disuguhi apa-apa?

"Apa aja," jawabnya singkat.

Gue pun membuatkan kopi susu dengan sedikit gula, kesukaannya. Saat shift malam dia sering menyuruh OB untuk membelikan kopi itu.

"Diminum Mas kopinya," ucap gue yang diangguki olehnya.

Hanya ada suara televisi yang meramaikan, kami masih sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing hingga ponsel gue berbunyi.

Incoming call from Alan Sayang...

Mata gue melotot. Sejak kapan nama Alan di kontak gue berubah? Terakhir gue lihat masih ko-ass modus. Sekarang udah ada sayang-sayangnya aja.

"Halo, Teteh?" Suara Alan langsung mengalun begitu gue mengangkat panggilan.

"Iya, kenapa Lan?"

"Nanti jaga malem kan?"

"Iya, Teteh jaga malem emang kenapa?"

"Nanti malem macan yang jaga, bantuin Alan ya Teh. Kayak biasa," ucap Alan dengan tawanya di seberang sana.

Mampus lo! macannya lagi di samping gue ini!

Gue melirik ke samping, memastikan apakah Mas Daru mendengarkan percakapan kami. Meski wajahnya fokus ke televisi, entah mengapa perasaan gue mengatakan bahwa ia menyimak semuanya. Karena alisnya sempat berkerut waktu Alan menyebut macan tadi.

"Iya," jawab gue singkat. Bingung harus menjawab apa lagi kalau macannya ada di samping gue sekarang.

"Teteh mau makan malem apa? Mau Alan beliin nggak?"

"Teteh kayaknya makan di rumah aja deh Lan,"

"Perlu Alan jemput nggak?"

Berbeda dengan kami yang mengenal sistem tiga shift, seorang ko-ass macam Alan harus berjaga 24 jam, dan keesokannya baru mendapat libur dengan jumlah jam yang sama. Jika Alan menjemput gue, maka ia akan membolos.

"Kamu berangkat sama saya, biar dia tunggu aja di rumah sakit," ucap Mas Daru tiba-tiba yang wajahnya masih memandang lurus ke arah televisi.

Mampus gue! Semoga lo selamet deh Lan nanti malem karena ketauan mau cabut buat jemput gue.

"Teh? Teteh lagi sama siapa?" tanya Alan kebingungan. Sepertinya ia mendengar suara Mas Daru barusan.

"Bukan siapa-siapa, udah dulu ya Lan. Lo jaga sana yang bener!"

"Oke Teh, Alan kangen Teteh... sampai ketemu nanti malem."

Panggilan itu pun gue putus secara sepihak.

Kelakukan Alan lama-lama membuat kepala pening. Gue sudah terlampau tua untuk dikasih kata-kata manis yang bikin blushing anak sekolah. Yang gue butuhkan dari seorang laki-laki adalah tindakan, bukan kata-kata.

Kruk~

Suara perut gue menginterupsi.

Brengsek! Malu-maluin banget. Kenapa perut gue harus bunyi sekarang sih?!

Gue melihat ke samping dan Mas Daru sedang mendengus geli meski mukanya masih lurus ke arah TV.

Ah, gue mau guling-guling di kamar aja rasanya! Bisa nggak sih gue lebih malu-maluin dari ini?!

Batin gue masih sibuk menjerit. Menertawai sekaligus menangisi kebodohan yang gue buat dalam kurun waktu setengah jam di depan Mas Daru.

Gue pun berdiri bermaksud untuk masuk kamar guna menyembunyikan rasa malu. Tapi karena terburu-buru, gue malah keserimpet karpet dan terjatuh.

Fix. Gue udah nggak punya harga diri di depan Mas Daru sekarang. Mau nangis rasanya.

"Kamu nggak papa?" tanya Daru, ia masih duduk di sofa, memandang gue yang tersungkur di lantai.

Gue hanya menggeleng dan mencoba bangun. Berjalan ke kamar langkah terseret dan tertatih. Sepertinya kaki gue keseleo. Ini kah yang namanya sudah jatuh tertimpa malu?

Gue pun memilih meluruskan kaki di dalam kamar, memilih mengabaikan Mas Daru yang sedang menunggu Mia di depan, terserah dia mau ngapain juga, ini tempat adiknya ini. Bang Tio juga kerap mampir kemari dan sering menumpang tidur di kursi ruang tengah.

Tok Tok!

Pintu kamar gue diketuk, dan setelahnya suara Mas Daru terdengar. "Boleh saya masuk?"

Gue terdiam, bingung mau mengiyakan atau tidak. Selain rasa malu yang masih menguasai, ada perasaan segan bila sosok seorang laki-laki masuk ke dalam kamar.

Tapi belum gue iyakan, Mas Daru sudah masuk ke kamar gue. Ini kedua kalinya dia masuk ke dalam kamar, tapi kali ini bahkan tanpa persetujuan dari gue.

"Kaki kamu sakit?" tanya Mas Daru yang gue jawab dengan gelengan.

Gengsi sekaligus malu, gue memilih untuk tidak mau mengaku.

Mas Daru menghampiri dengan langkah tenang, gue mengantisipasi dalam diam.

"Aaaaw!"

"Sakit kan?" tanyanya kemudian.

IYALAH!

LO PENCET YA SAKIT JADINYA!

Gue masih meringis kesakitan akibat ulah Mas Daru yang memencet kaki gue tanpa permisi.

"Kamu punya balsem atau minyak?" tanyanya.

Gue hanya menunjuk ke arah meja rias yang isinya peralatan make up dan skincare gue. Di sana ada minyak tawon yang kerap digunakan Kiran dalam mengobati kakinya yang lebam akibat kecerobohannya dalam menubrukan diri ke benda mati, seperti kursi dan meja.

Mas Daru mengambil minyak tersebut, setelahnya dia duduk di kasur dan mulai memijat kaki gue yang keseleo.

"Kalau dibiarin bisa bengkak," ucap Mas Daru.

Muka gue udah meringis-meringis nahan sakit sekarang. Tapi setelah lumayan lama dipijet sakitnya mulai berkurang.

Gue rasa dia lebih cocok jadi tukang pijet deh dibanding jadi dokter.

"Punya perban?"

Gue mengangguk, bersiap untuk berdiri. Namun Mas Daru menahannya. "Biar saya saja."

"Mas, biar saya aja," balas gue meyakinkan.

Tapi Mas Daru malah menatap gue dengan tatapan udah-nurut-aja-sih. Membuat gue mau tak mau menunjuk ke laci lemari bagian paling bawah.

Nyesel lo bukanya pasti!

Benar saja dugaan gue, Mas Daru terlihat cukup syok saat membuka laci paling bawah. Yaiyalah itu isinya daleman sama pembalut gue.

Kuping Mas Daru terlihat memerah, ia menatap gue dengan tatapan garang, namun gue hanya menatapnya dengan tatapan tanpa rasa bersalah.

Lagian batu, udah gue bilang gue aja.

"Kan saya udah bilang Mas, biar saya aja."

Mas Daru tidak merespon lebih jauh, ia hanya membebat kaki gue dengan perban dengan telaten, seperti yang ia selalu lakukan saat menangani pasiennya.

"Udah," ucapnya setelah selesai yang gue balas dengan ucapan terima kasih.

Kruk~

Perut gue kembali berbunyi.

Brengsek, ini perut gatau kondisi banget anjirrr!

"Kamu mau makan apa?"

Looking For MateNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ