sepuluh

27.9K 4.7K 225
                                    

Gue terbangun dengan kepala yang masih pusing. Saat menoleh, cairan infus yang tergantung di dinding kamar sudah habis. Gue pun mengambil swap yang Daru beri dan mencabut jarum infus, setelahnya gue menggunakan plester guna menutupi bekas luka tersebut.

"Jadi begini rasanya dicabut infus? perih juga ya ternyata."

Percayalah, tidak semua tenaga medis pernah merasakan bagaimana nikmatnya saat pembuluh darah dicium oleh jarum infus. Hanya sebagian yang mengerti dan melakukan pencopotan infus dengan selembut mungkin.

Gue melihat ponsel untuk memastikan jam berapa sekarang. Rasanya sudah cukup lama mata ini terpejam. Namun bukan jam yang membuat gue kaget, tapi misscalled dari Bang Azriel yang sampai berjumlah puluhan. Tidak biasanya sepupu gue yang satu itu seperti ini. Gue pun mencoba menghubungi kembali Azril, ingin menanyakan ada apa gerangan.

"Halo Bang?"

"KE MANA AJA SIH LO BARU TELEPON GUE? GUE PIKIR LO MATI TAU NGGAK!"

Suara Azril terdengar menggelegar di telinga. Meski terselip kekhawatiran, kesalahan dalam pemilihan kalimat yang terdengar kasar membuat gue mendengus malas. 

"Gue nggak akan mati sebelum nikah, ntar jadi arwah penasaran gue," jawab gue asal.

"Nggak usah bercanda dodol, gue serius!" Azril menegur dengan keras. Gue tahu dia sedang tidak main-main. 

Memori menyakitkan di masa lampau yang menyergap secara tiba-tiba membuat gue tergugu. Azril sangat sensitif dengan kata kematian semenjak adiknya meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya delapan tahun yang lalu. Azril yang dua bersaudara berubah status menjadi anak satu-satunya setelah kejadian itu.

Adreena, sepupu perempuan yang umurnya hanya berjarak dua bulan lebih muda dari gue harus meregang nyawa akibat dari pergaulan bebas yang dijalaninya. Memang pergaulan bebas bukanlah penyebab kematiannya secara langsung, namun hal itu titik mula jungkir balik kehidupannya.

Memiliki Ayah dan Ibu yang terlampau sibuk bekerja dan Kakak laki-laki yang begitu cuek membuat Adreena melarikan diri ke hal-hal negatif. Kekasihnya yang brengsek menjerumuskannya untuk mengenal dunia malam tanpa sepengetahuan kami sebagai keluarga. Sampai suatu saat kami mendapat kabar yang amat mengejutkan, bahwa Adreena mengalami pendarahan hebat akibat melakukan aborsi illegal.

Keluarga kami bagai tersambar petir. Ayah dan Ibunya yang tinggal satu rumah dengannya pun tidak mengetahui mengenai kehamilan Adreena. Azril yang mendapat kabar itu langsung kembali ke kota kami dengan keadaan yang luar biasa kacau. Terlebih malam itu juga kami mendapatkan kabar duka, bahwa Adreena tidak terselamatkan.

Ibu Adreena pingsan, ayahnya tak dapat mengeluarkan sepatah kata selain air mata, sementara Azril menangis dalam diam dengan penyesalan yang begitu hebatnya. Ia meracau bahwa ia telah gagal menjadi seorang kakak, tentang bagaimana sikapnya yang selama ini terlampau cuek terhadap sang adik yang selalu mengajaknya berpergian di kala liburan kampus karena lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Dan masih banyak penyesalan-penyesalan lain yang terucap dari lisannya.

Kematian Adreena seolah titik balik bagi Azril. Sosoknya yang cuek dan dingin berubah menjadi hangat kepada keluarga, terutama kepada gue, sang adik sepupu yang seumuran dengan mendiang adiknya. Peristiwa itu tidak hanya berefek pada Azril, tapi juga berefek pada gue. Keluarga gue tak mau lagi kecolongan hingga mencatat semua nomor telepon di kontak gue, memperketat jadwal gue dengan les-les tambahan, dan selalu mengatar jemput gue ke mana pun gue pergi. 

Jadi jika sebagian orang menganggap SMA adalah masa yang indah karena di sana mulai mengenal cinta, itu tidak berlaku bagi gue. Jangankan untuk memikirkan lawan jenis, memikirkan cara bolos les saja rasanya susah setengah mati akibat keketatan yang keluarga gue terapkan pasca kejadian tersebut. Kerap kali gue menangis karena hal itu, namun Azril datang menghibur bahwa itu semua demi kebaikan gue. 

Looking For MateWhere stories live. Discover now