dua sembilan

24.5K 4.4K 214
                                    

Pagi ini mood gue kacau balau. Barusan ibu kembali menelepon, dan beliau bilang dalam dua minggu ini gue harus memberi kepastian, kalau tidak ada gue harus bertemu dengan calon suami yang dipilihkan olehnya.

Dalam waktu dua minggu entah gue harus mencari jodoh di mana, ingin membenturkan kepala ke tembok saja rasanya, dan menyerah akan kehidupan.

Satu-satunya orang yang gue pikirkan saat ini adalah Adit. Setidaknya komunikasi kami masih berjalan dengan lancar meski datar. Menurut Mia, Adit yang konstan membalas pesan saja sudah termasuk ke dalam keajaiban. Jika ia chat, Adit pasti hanya akan membacanya saja. Begitu pun di group tentor mereka, Adit hanya akan menjadi silent reader.

KeiAzkadania :

Dit, bisa ketemu?

Adityalardo :

Kapan?

KeiAzkadania :

Nanti, jam tujuh malem

Adityalardo:

Oke. Mau dijemput?

Kemajuan pesat, seorang Adit sudah berinisiatif untuk menjemput gue duluan.

KeiAzkadania:

Ku tunggu di rumah

Jam tujuh tepat Adit menjemput gue di rumah, akhirnya gue memutuskan untuk pergi ke kafe tempat kami pertama bertemu, kafe milik Azra. Ezi yang kebetulan sedang berada di sana antusias begitu melihat gue datang bersama Adit.

"Kei, lancar nih kayaknya sama yang ini," godanya sambil menaikturunkan alis.

Gue berdecak pelan. Ezi tidak tahu saja bagaimana keadaaan sesungguhnya. "Dit, duluan aja, aku ambil menu dulu ya?" ucap gue yang membuat Adit segera mengedarkan pandangan untuk mencari meja kosong dan menempatinya.

Gue menarik Ezi yang bekerja paruh waktu di sini dan mendekati meja kasir, di mana buku menu berada. "Zi, untuk kali ini aja gue mohon sama lo jangan ganggu dulu, ada hal serius yang harus gue omongin sama Adit."

"Wew, hal serius apa tuh?" tanya Ezi dengan nada meledek.

"Ada lah, yang jelas lo nggak perlu tau juga," balas gue yang membuat Ezi mencebik.

"Serius banget sih, iya iya gue nggak akan ke sana."

"Ke sana kalau gue mau pesen menu aja, ya?"

Kini Ezi yang berdecak. "Ini orang maunya apa sih, rempong amat," komentarnya.

"Ikutin aja apa kata gue, please. Pulang nanti kita ke starbucks."

"Mau nraktir nih? Asik!" Ezi bergumam riang.

"Kalau lo ikutin omongan gue, gue traktir."

"Siap bos!"

Setelah menghabikan makan malam dan terlibat percakapan ringan tentang keadaan masing-masing akhirnya gue membuka topik utama yang membuat gue mengajak Adit bertemu malam ini.

"Adit, aku mau nanya. Sebenernya kita apa?" tanya gue tanpa basa-basi. Mengeluarkan kode sepertinya tidak akan berjalan lancar pada Adit, jadi gue memutuskan untuk blak-blakan saja.

Adit sempat terdiam, agaknya terkejut dengan pertanyaan yang gue lontarkan. "Lagi tahap penjajakan bukan?" jawabnya kemudian.

Iya, penjajakan sudah hampir tiga bulan, dan nggak ada kemajuan sama sekali. Dekat, jalan bareng, saling bertukar kabar, tidak terikat hubungan apa pun, rasanya ada yang salah di sini. Mau tak mau gue harus menegaskan.

"Dit, sejak awal kita kenal, Adit udah tau kan hubungan macam apa yang aku harapkan?"

Adit mengangguk dengan mantap, dengan jelas mengetahui bahwa pernikahan lah tujuan akhir yang gue harapkan.

"Ibuku bilang, aku harus kasih kepastian dalam waktu dua minggu. Kalau nggak, dia mau nemuin aku sama orang yang dia pilih. Kalau Adit memang nggak ada niat serius, aku mau mundur dari sekarang," ucap gue mencoba jujur sama Adit.

Adit masih diam, buat gue harap-harap cemas. Tangan gue bahkan berkeringat dingin saat ini. Sedikit terkejut akan nyali gue yang cukup besar, cewek minim pengalaman yang bahkan nggak pernah pacaran bisa sefrontal ini untuk menanyakan perihal hubungan kepada laki-laki.

"Aku ada niat serius," ucap Adit menggantung, tak membuat hati gue merasa lega. "Nggak mungkin lah kalau nggak ada niat serius aku sampai kayak gini, mau jalan sampai habisin waktu berdua," lanjutnya.

Please... inikah jodoh gue?

"Cuma untuk menikah di tahun ini aku nggak bisa."

Kalimat Adit membuat harapan gue pupus seketika. Rasanya lega sekaligus mengganjal di saat yang bersamaan.

"Aku mau ngelanjutin S2 tahun ini."

Gue terdiam, bingung bagaimana harus menanggapinya.

"Sekarang balik lagi ke kamu, kalau kamu mau nunggu sampai aku selesai S2, aku akan nikahin kamu begitu lulus."

Aduh, nunggu dia kelar S2. Tenggang waktunya aja dua minggu lagi. Mana bisa?

"Kalau sekarang aku ditanya siapa yang mau aku nikahin, aku pasti akan jawab kamu. Kamu emang udah memenuhi kriteria untuk jadi calon istri buat aku. Tapi semuanya kembali lagi ke kamu. Kamu mau nggak untuk nunggu aku."

"Aku laki-laki jadi nggak diburu-buru banget nikah, beda sama kamu yang perempuan, anak tunggal lagi. Aku ngerti karena aku punya kakak perempuan juga."

"Kalau emang kita jodoh aku yakin kita bakal bersanding di pelaminan gimanapun caranya, tapi kalau emang nggak jodoh, berarti ada orang yang lebih pantas buat kamu di luar sana."

Gue cuma bisa diam, Adit yang selama ini ngomong harus dipancing dulu, sekarang ngomong panjang lebar, dengan kalimat-kalimat yang membuat hati gue terenyuh. Ngobrol sama laki-laki yang udah berpikiran dewasa emang beda ya, coba gue ngomong kayak gini ke Alan. Dia mungkin akan langsung ngajak gue ke KUA hari ini juga.

"Kenapa nggak dicoba dulu sama calon yang ibumu pilih Kei?" Adit bertanya dengan tulus, meski terselip kegetiran yang tak dapat ditutupi.

"Feeling aku kalau aku coba sama orang yang dipilih sama ibu, aku nggak akan bisa mencoba untuk dekat dengan siapapun lagi Dit."

"Pada dasarnya semua orangtua mau yang terbaik untuk anaknya, ibumu pasti berpikiran yang sama. Apalagi kamu anak tunggal, nggak mungkin dipilihin calon yang sembarangan."

"Makasih banyak ya, Dit."

Percakapan kami kali ini benar-benar mencerahkan pikiran gue. Laki-laki yang seperti ini yang gue cari sebetulnya. Berorientasi masa depan dan juga dewasa. Tapi sayang dia lebih mementingkan studinya dibandingkan untuk menikah.

Mas Daru, udah mau nikah. Adit lebih memilih untuk melanjutkan studinya. Jadi siapa berikutnya?

Looking For MateWhere stories live. Discover now