Suara telepon dari Fidel menyelamatkan gue dari wawancara mendadak dari Shakeel dan Alan. Fidel mengatakan bahwa ia sudah sampai dan menunggu di parkiran. "Gue duluan balik ya Bang, Alan. Dadah!" pamit gue.

Baru berapa langkah gue berjalan, Alan menyusul dan menahan lengan gue untuk beranjak lebih jauh.

"Teteh kalau malem minggu depan jalan sama Alan mau?" ucapnya dengan mimik begitu serius.

Ini anak ngegas beneran apa ya?

Gue mencoba mencari jawaban yang sekiranya tidak membuat situasi saat ini semakin rumit. "Lihat jadwal dulu ya, Teteh belum tau jadwal minggu depan apa."

Alan menganggukkan kepalanya. "Alan tunggu ya Teh, Alan harap Teteh bisa." Kemudian ia kembali berjalan ke arah Shakeel yang langsung memukul kepalanya memakai gulungan kertas yang sejak tadi ia pegang.

"Belajar yang bener lo bayi! Masih koas juga, Cewek mulu di otak lo ya!" sungut Shakeel.

Gue pun pergi meninggalkan Shakeel yang masih sibuk menceramahi Alan dengan nasihatnya mengenai perjalanan menjadi seorang dokter yang sangatlah panjang dan berujung pada curhatnya ia tentang dirinya yang masih menjomlo akibat menghabiskan sebagian besar waktunya untuk pasien.

Gue sampai di parkiran, dan Kak Fidel menyambut dengan senyuman cerahnya.

"Hai Bang,"

"Hai Kei, udah beres?"

Gue mengangguk mengiyakan. "Kebetulan tadi on time operannya," jelas gue. "Kakak udah lama nunggu? Maaf ya."

"Belom kok, baru aja nyampe. Gue udah nanya Arel dulu soalnya lo balik jam berapa."

Mobil sebelah milik Kak Fidel tiba-tiba menyala, khas saat remote kunci dinyalaka yang membuat kami serempak menoleh. Gue mendapati Mas Daru sedang berjalan ke arah kami dengan langkah tegapnya.

Fidel yang mendapati kehadiran Daru pun kembali tersenyum lebar. Mereka berdua bersalaman lalu berpelukan ala laki-laki. "Mau jalan juga?" tanya Fidel yang kemudian diangguki Daru.

"Wah, kemajuan dong!" ujar Fidel dengan senang sambil menepuk bahu Daru. Sementara Daru hanya mengulum senyum

Iya, kemajuan banget akhirnya dia nggak jaga di malam minggu begini. Sialnya pas gue lagi nggak jaga juga...

"Duluan ya," pamit Daru ke Fidel, lalu masuk ke mobilnya begitu saja. Mengabaikan gue yang masih mematung di tempat, terperangah dengan sikapnya yang berlaku selayaknya orang tidak dikenal.

Iya gue dianggap udara doang sama dia mah, nggak kelihatan.

Selama perjalanan gue pun memberitahu teman-teman gue untuk bisa bertahan hidup dengan makanan sendiri malam ini karena chef mereka tidak akan pulang tepat waktu.

#OTWNIKAH2K19 (4)

KeiAzkadania :

Guys, gue makan di luar malem ini.
Kalian masak sendiri ya.

SeraMalvina:

Gue juga lagi di luar ada urusan,
Pulang telat mungkin.

LamiaLujayn

Gue ada acara keluarga nih,
jadi balik telat juga nih kayaknya

KiranaZun :

#Kiranstrong #Kirantidakapaapa

KiranaZun :

Besok-besok kalo mau pada pergi bilang Nyet,

biar gue ikutan pergi juga.

SeraMalvina:

Gue suruh om gue ke rumah ya buat nemenin lo?

KiranaZun :

Gausah makasih. Mending gue ke tempat Bang Tio.

Gue mengulum senyum begitu melihat nama group yang tertera. Semenjak gue mendapat ultimatum untuk menikah di tahun ini, Kiran langsung mengubah nama group yang membuat Mia dan Sera terbahak dan serempak membully, di saat gue ingin menggantinya ketiganya kompak melarang dengan alasan itu juga merupakan bagian dari doa.

"Senyam-senyum aja, chat dari siapa?" tanya Fidel.

"Temen yang tinggal serumah Kak. Kelakuannya suka pada gila kadang."

Mengingat bagaimana usaha keras Sera untuk mempromosikan Bramantyo Jovin kepada Kiran membuat gue terkikik geli. Bagaimana seorang master skincare yang memiliki kulit begitu indah tertarik pada Kiran yang terlampau cuek pada penampilannya dan cenderung bersikap seperti laki-laki. Mereka benar-benar bertolak belakang.

Tak terasa kami sudah sampai, di perjalanan Fidel banyak mengajak gue mengobrol sehingga waktu terasa bergulir begitu cepat. Ternyata Fidel mengajak gue ke kafe milik Azra di mana Bang Tio dan band-nya manggung.

Yah, tau gitu mah gue nggak usah dandan tadi. Nanti pada curiga lagi.

"Makanan di sini katanya enak, Tio sering manggung di sini juga."

Dalam hati gue merutuki mengapa tidak bertanya lebih jauh mengenai kafe yang Fidel maksud. Gue mengangguk singkat, menyetujui karena gue tahu banget bagaimana rasa makanan di sini. Tapi gue tidak mau bilang ke Fidel kalo gue udah sering ke sini.

Gue hanya berdoa semoga Ezi, Azra, Levi atau pun Bang Tio tidak melihat gue sekarang.

Fidel memilih tempat duduk dekat jendela, dekat dengan pintu masuk, di mana kami bisa melihat ke arah jalan raya yang masih padat meski jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat. Alunan musik masih terdengar, namun bukan Exact yang sedang manggung. Dalam hati gue mengembuskan napas lega.

Namun kelegaan gue tidak berlangsung lama saat gue mendengar suara Bang Tio mengalun, "Lah, Kei, Fidel, kalian ngapain di sini?"

Anjir, kenapa Bang Tio cepet banget nemu gue sih!

Looking For MateWhere stories live. Discover now