satu

68.4K 6.6K 184
                                    

Apa yang istimewa dari umur dua puluh lima tahun? Sepertinya tidak ada selain usia itu dicap sebagian orang sebagai usia yang ideal untuk menikah bagi seorang perempuan seperti gue. Yap, ideal bagi sebagian orang bukan berarti harus menyamaratakan target itu kepada setiap orang bukan? 

Dengan 'target ideal' itu agaknya orangtua gue cukup dipusingkan dengan ucapan para tetangga yang lebih suka mengulik kehidupan orang lain, oleh karenanya gue mendapatkan ultimatum untuk menikah di tahun ini. Hell! memang mencari jodoh semudah membeli toge di pasar apa?

Gue pulang ke rumah sewa dengan tampang kusut, sedikit menyesal mengiyakan permintaan orang tua gue untuk pulang. Jika tahu akan mendapat ultimatum untuk menikah tahun ini, tentunya gue lebih memilih untuk menghabiskan drama seharian ini. Hari libur yang seharusnya indah kini berakhir sia-sia. Pacar aja nggak punya, masa disuruh nikah sih?

Gue masuk ke dalam rumah sewa dan melihat tiga orang sahabat gue yang sedang sibuk nonton drama dan sama sekali tidak mempedulikan kehadiran gue. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing, mengunyah, mengetik, dan bermain game

Di rumah ini gue memang tidak tinggal sendiri, Kiran, Sera dan Mia adalah sahabat gue sejak di bangku kuliah, dan kami memutuskan untuk menyewa sebuah rumah karena tempat kerja yang cukup jauh dari kediaman masing-masing.

"Kenapa Kei?" Kiran bertanya saat mendengar embusan napas kasar yang gue keluarkan.

Memilih tidak menjawab, gue hanya merebut keripik kentang di tangan Mia dan mulai memakannya. "Error nih anak," sungut Mia kesal karena camilannya direbut begitu saja oleh gue.

"Kenapa lo? Tumben amat tuh muka kayak belom disetrika." Sera ikut menimpali.

Gue masih sibuk mengunyah keripik, malas menjawab. Jika gue bercerita, entah solusi atau malah olokan yang akan keluar dari mulut ketiganya.

"Kalau ditanya tuh jawab, Nyet!" Mia menarik keripiknya yang gue rebut tadi, dan Kiran mematikan televisi. Mereka bertiga lalu beranjak mendekati gue dengan pandangan penuh rasa penasaran. Jika tidak dijawab, ini tidak akan berakhir dalam waktu singkat.

"Gue disuruh nikah tahun ini," jawab gue dengan jujur. 

"Mampus!" ledekan dari ketiganya menguar dengan kompak. Cengiran dari ketiganya membuat gue merasa jauh lebih mengenaskan saat ini.

"Nggak ngebantu banget sih lo semua! Cariin gue jodoh kek," keluh gue

"Kita aja gapunya pacar, ngapain nyariin lo? Cari buat sendiri dulu lah!" timpal Mia.

Tipikal teman ampas sekali. Tidak memberi solusi, yang ada hanya menambah beban mental gue saat ini.

"Bener sih, gue setuju sama Mia, kalau pun nemu, pasti gue nyari buat gue dulu." Kiran ikut menyuarakan pendapatnya yang membuat bibir gue mencebik. 

"Jahat banget sih lo pada! Huee..." Gue pura-pura menangis.

"Noh kan, noh kan, gimana mau laku coba kalau lo begitu?" Sera ikut meledek.

"Kalian bener-bener nggak ada ngebantunya jadi temen, sahabat macem apa lo pada?!" Gue bersungut kesal.

"Eh, tunggu-tunggu! Gue dapet broadcast nih di group kantor." Sera kemudian men-scroll layar ponselnya dengan semangat dan memasang ekspresi dengan serius.

"Terus apa hubungannya ama jodoh gue sih?!" ucap gue tidak terima, Sera mengalihkan topik di saat yang tidak tepat.

"Ini berguna kok buat lo Kei, broadcast-nya tentang gedung pernikahan. Katanya acaranya dibatalin gara-gara memepelai wanitanya meninggal. Harga bisa nego daripada hangus."

Looking For MateWhere stories live. Discover now