Bab 32 (End)

58.8K 3.8K 142
                                    

Ketika satu persatu bayangan itu hadir. Indira mulai menyadari dimana dirinya berada. Tepatnya ketika ia terbangun dalam pelukan Satria semalam, dan yang bisa dilakukannya saat itu hanyalah menangis.

Hubungannya dengan Satria. Hubungannya dengan Abdi. Juga dengan Adelia. Yang diterima ingatannya adalah kenyataan. Hari itu ketika mereka hendak menghadiri acara pernikahan adik Satria, ada hal yang sangat ingin ia sampaikan kepada Satria sebelum bencana itu terjadi. Indira mengingat semuanya. Ya... Ingatannya telah kembali.

Namun, ia belum mengatakan apapun dengan Satria. Kegiatan mereka masih sama sarapan pagi lalu mengantar Satria dan Alan ke teras depan. Ada sesuatu yang masih mengganjal dihatinya dan harus diselesaikannya.

Untuk itulah ia duduk disana. Di sebuah kafe tengah menunggu seseorang. Indira kembali melirik jam tangannya, baru sepuluh menit tetapi rasanya sudah terlalu lama.

Tetapi sepertinya ia tak akan menunggu lebih lama lagi, karena yang ditunggu akhirnya datang. Indira menarik napas panjang, mempersiapkan batinnya.

Tanpa dipersilakan wanita itu sudah duduk kursi di hadapan Indira. Indira mengangkat wajahnya memandang lurus ke arah Adelia.

"Ada apa tiba-tiba meminta bertemu?" tanya Adelia.

"Tetang permintaanmu waktu itu..."

Mata Adelia menyipit tajam. "Kau sudah mengingatnya?"

"Iya. Dan jawabanku untuk permintaanmu waktu itu adalah.. Tidak. Aku tidak akan pernah melepaskan Satria. Suamiku..."

Adelia menggertakkan giginya, tangannya terkepal dari balik meja.

"Kesalahanku padamu memang tak termaafkan, aku juga tidak berharap kamu akan memaafkanku. Di kehidupan lain nanti aku pasti akan menerima hukumanku. Tapi untuk kehidupan sekarang, aku ingin berbahagia dengan keluargaku..."

Setetes air mata meluncur dari mata Adelia dan langsung ditepisnya. "Seharusnya aku sadar kau orang yang sangat egois."

"Aku akan lebih egois jika mengabaikan cinta yang diberikan Satria untukku, mengabaikan kebahagiaan anakku. Terutama kebahagiaanku sendiri. Aku memutuskan untuk tidak memperdulikan lagi. Apapun yang orang katakan, apapun yang kamu dan mertuaku katakan. Hanya dengan cinta Satria dan Alan bagiku sudah lebih dari cukup."

Indira bangkit dari kursinya. "Untuk terakhir kalinya aku memohon, jangan mengganggu keluargaku lagi. Meskipun aku tidak berhak mengatakannya, dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku benar-benar berharap kamu bisa berbahagia. Tanpa harus mengemis cinta Satria."

Air mata Adelia mengalir deras tanpa bisa ditahan lagi. Ia menggeram penuh emosi, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Indira sepertinya telah kembali menjadi Indira yang dulu dikenalnya, bisa dilihat dari matanya yang menyala penuh ancaman. Kenyataa pahit harus ditelannya, ia benar-benar sudah kalah.

***

Indira langsung menyetop taksi kosong yang lewat. Naik ke dalamnya dan menyebutkan alamat tujuan. Ia menghempaskan tubuhnya ke sandaran. Berulang kali menarik napas lalu membuangnya. Semua yang dilakukannya adalah benar, gumamnya dalam hati.

Seulas senyuman tertarik di wajahnya. Hanya dirinya, Satria dan Alan. Keluarga yang saling mencintai. Sepanjang perjalanan Indira terus melamun. Tanggapan orang lain, memang seharusnya tak diperdulikannya lagi. Apapun yang dikatakan mereka dialah yang menjalani kehidupannya.

"Sudah sampai Non," ucap sang supir taksi.

Indira tersentak dan mengeluarkan dompet dari dalam tas tangannya. Setelah membayar, Indira keluar dari taksi. Bukan bangunan rumahnya, melainkan bangunan bertingkat yang dulu menjadi tempat tinggalnya. Sudah lama sekali rasanya ia tidak ke sini, batin Indira.

Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang