Bab 9

34.6K 3.1K 44
                                    

Bagian itu kosong. Satria merabanya lagi dengan mata yang masih terpejam. Saat pikirannya secara impulsif tersadar, matanya terbeliak. Bangkit tiba-tiba hingga kepalanya menjadi sedikit pusing. Ruangan kosong tanpa adanya wanita yang sejak tadi malam seingatnya masih berada dalam dekapannya.

Tidak. Ia tidak sedang bermimpi, kejadian tadi malam nyata, dan ia merekam jelas di memorinya, lalu kemana sekarang Indira? Apa dia pergi begitu saja setelah merayunya semalam, hingga ia terjerumus dalam kubangan yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup itu. Bentuk penyesalan yang manis yang pastinya akan mulai mengganggu tidur malamnya.

Dengan tergesa Satria memunguti pakaian yang berserak dilantai dan memakainya asal. Ia bahkan tak menyempatkan diri untuk ke kamar mandi.

Dan ... Jantungnya hampir saja copot saat menatap Indira yang dengan tenang memasak sesuatu dari balik meja bar.

"Kamu membuatku ketakutan!" ucap Satria dengan wajah yang miris dan acak-acakan.

Indira yang sedang memegang pan nya sedikit tersentak kaget lalu memutar tubuhnya. "Kamu kira aku akan kemana?" ucap Indira dengan nada geli.

"Kamu menertawaiku?" ucap Satria dengan jengkel.

Indira semakin terkekeh pelan. "Baru kali ini aku melihat Pimpinan Umum berpenampilan seperti itu." Tunjuk Indira."sepertinya dia telah salah mengancingkan kemejanya."

Satria melirik bagian tubuhnya. Sungguh konyol, hanya karena ia takut Indira meninggalkannya ia jadi tak perduli lagi dengan apa yang dikenakannya.

"Mandilah! Sebentar lagi sarapan siap."

Indira sudah memunggunginya kembali, yang ada dalam khayalan Satria adalah memeluknya dari belakang dan memberi kecupan-kecupan kecil di seputaran leher mulusnya. Satria menggeleng kepalanya kuat lalu kembali ke kamar, mengikuti instruksi Indira untuk segera membersihkan diri lalu bergabung kembali untuk mencicipi seenak apa masakan Indira.

***

Satria keluar dari kamar dengan keadaan jauh lebih segar ia berjalan mendekat dan menempati kursi meja makan dengan makanan yang tersedia di atas meja.

"Hanya ada telur dan sedikit sayuran. Jadi aku membuatkan omelet. Tidak apa kan?"

Satria mengangguk pelan, entah kenapa saat kesadaran menghantamnya ketika berlama di kamar mandi, ia menjadi gugup. Ia jauh terlihat seperti perawan yang malu-malu, padahal seharusnya Indira lah yang merasa seperti itu, tetapi Indira malah terlihat sangat tenang.

"Kenapa?" tanya Indira yang melihat Satria hanya menatap makanan di depannya, tak berniat untuk memakannya.

"Kamu tidak apa? Setelah kejadian semalam?" tanyanya serius memberanikan diri menatap wajah Indira lekat.

Indira membuat senyumnya terkesan dipaksakan, ia tak akan mempersalahkan percintaannya semalam dengan Satria, yang menjadi ganjalan dihatinya adalah ini mungkin akan menjadi saat-saat terakhir ia berpura-pura, sebelum akhirnya Satria mungkin akan membencinya seumur hidup.

"Aku tahu itu yang pertama. Kamu yakin tidak apa?" tanya Satria lagi, berusaha lebih meyakinkan dirinya kalau kegundahan itu benar ada. Dan Indira mengangguk entah kenapa ada rasa kesal dalam dirinya, mengapa yang diinginkannya adalah Indira yang menangis memohon agar ia mempertanggung jawabkan perbuatannya. Haruskah ia yang maju duluan.

"Indi ..."

"Nggak apa. Itu akan menjadi memori yang indah buatku. Aku tidak mungkin memaksamu hanya karena kita melakukan itu semalam. Aku sudah tahu konsekuensinya, kamu secara jelas mengatakan tidak sendiri lagi dan aku memaksa. Aku akan membuatnya mudah untukmu, tenang saja." Indira memegang tangan Satria yang terasa dingin.

Revenge Where stories live. Discover now