#22 Hari Pertama

545 31 41
                                    

"Guys, gue lagi masak nasi, nanti gue bikin nasi goreng buat kita makan, ada yang mau request?" Seru Rara dari dapur.

"Enggak," jawab mereka serentak. Rara terkekeh mendengarnya. Mereka sedang asik menonton film.

Rara menghampiri mereka, dan langsung duduk di samping Farel. "Serius amat nontonnya!"

Farel tak menjawab, ia hanya menjauhkan kepala Rara dengan tangannya yang besar ketika Rara mulai berulah, mengganggu dengan terus menghalangi pandangannya.

Rara terkekeh geli, lalu kemudian tersenyum. Setidaknya, masih ada mereka yang selalu support Rara dalam kondisi apa pun. Dan Rara bahagia memiliki mereka.

***

Angin berembus membelai wajah, menerbangkan rambut Rara yang di biarkan terurai. Gadis itu, tengah bersandar pada balkon kamar. Menikmati udara segar di malam hari. Sejenak, Rara memejam, mencoba memutar kronologi kehidupannya.

"Malem-malem gak boleh ngelamun." Farel menepuk pundak Rara.

"Lo gak lihat? Gue lagi merem?" Tanya Rara.

Farel menggeleng. "Enggak, emang hubungannya apa ngelamun sama merem?"

"Kalo ngelamun itu, matanya melek, pandangannya kosong. Nah, tadi kan gue merem, jadi, gue lagi gak ngelamun!" ujar Rara dengan gemas. Farel hanya terkekeh. Lalu, ikut bersandar pada balkon kamar Rara yang terlihat kokoh. Semilir angin malam pun ikut menggelitik tengkuknya.

"Gue iri sama lo," ucap Farel tiba-tiba, membuat pikiran Rara teralihkan padanya.

Kening Rara mengerut, tak mengerti. "Maksudnya?"

"Gue iri, karena sejak kecil lo udah terbiasa dengan kehidupan yang keras. Jadi, lo gak perlu kaget lagi menghadapi busuknya dunia ketika lo dewasa. Di dunia ini, gak ada orang yang bisa dipercaya 100%, yang bisa lo percaya hanyalah diri lo sendiri, dan juga Allah. Lo juga gak bisa percaya sepenuhnya sama gue, siapa yang tahu, kalau sebenarnya gue ini busuk? Dan satu lagi, jangan pernah merasa sendiri hanya karena satu orang mencoba merobohkan kekuatan dalam diri lo.

Ketika hal itu terjadi, ingatlah semua orang yang menyayangi lo, dan selalu support lo. Karena hidup kita lebih berharga daripada itu. Tetap semangat dan jangan lupa bersyukur, karena hidup ini harus di syukuri apa pun kondisinya. Lo orang yang kuat, dan gue percaya lo lebih bisa menghadapi semua ini di banding kita. Tugas kita cuma bantu dan support lo." Ucapan Farel di akhiri dengan genggaman erat pada jemari Rara. Tidak ada maksud terselubung, Farel hanya ingin memberi kekuatan pada Rara melalui dirinya. Memberikan rasa nyaman dan juga aman.

Rara diam seribu bahasa, ia hanya menghela napas panjangnya. Lalu memejam seperti tadi, seraya meremas jemari Farel.

"Terima kasih, karena berkat kalian, gue jadi tahu bagaimana caranya untuk bersyukur." Hanya itu. Hanya itu yang Rara ucapkan. Selebihnya Rara diam. Farel mengangkat bahu, well, setidaknya malam ini dia tidak perlu melihat Rara menangis.

Sampai pada akhirnya, keduanya hanya menatap langit yang gelap dalam diam. Menikmati indahnya bintang yang berkerlap-kerlip...

... dengan jemari yang masih saling bertautan.

 dengan jemari yang masih saling bertautan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

"Jadi, apa rencana kita hari ini?" Tanya Myta.

Ari nampak berfikir. "Hmm, apa, ya? Gak perlu di rencanain sih, biar semua berjalan apa adanya. Cuma, tugas yang cewek-cewek nyelametin sandra aja. Maksudnya, pasti nanti ada adegan berantem tuh, pas lagi berantem, kalian yang cewek cari kesempatan buat nyelametin sandra. Gimana?"

"Ari, kita cuma mau cari mama, jangan dibuat dramatis kayak di film-film," jawab Rara sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Ari terkekeh. "Hehe, iya juga."

"Gini, Ra, lo tahu apartemen om Raden?"

"Kalo tahu, udah gue paranin dari kapan tahu, Rel."

"Yaudah, pertama-tama kita cari tahu dimana apartemen om Raden, Ri, lo inget dimana tempat terakhir kalian ketemu?"

Ari mengetuk-ngetuk meja, mencoba mengingat dimana tempat itu. "Ah, iya, gue inget!"

"Dimana???"

*

"Disini? Gedung kosong?" Ari mengangguk sebagai jawaban.

Rara mendekat, lalu berbisik kepada Ari, "Jadi, luka ini ayah yang buat?" lagi-lagi, Ari hanya mengangguk. Rara langsung memukul bahu Ari dengan kencang, lalu melotot seolah berkata kenapa gak bilang dari awal? Ari terkekeh sambil meringis, karena memar di tubuhnya belum sepenuhnya hilang.

"Sebelum lo pingsan, lo liat gak tante Manda di bawa kemana? Mobil kah, atau apa?"

Rara terkejut. "Ari pingsan?!"

Ari menepuk dahinya, dasar Farel seharusnya dia tidak mengatakan hal itu di depan Rara. Karena Ari tidak mau Rara mengetahui soal pemukulan tempo hari. Namun, ada pepatah berkata Nasi sudah menjadi bubur dan tidak bisa lagi dijadikan lontong. (Re; kalimat yang terakhir, Farel yang buat.)

"Maaf, tapi, gue gak tahu. Gue cuma lihat kalau tante Manda kayaknya berdiri di belakang om Raden, terus, dia cuma natap gue dari jauh," jawab Ari apa adanya.

Farel berdehem. "Oke, gak pa-pa, segitu lumayan infonya. Nanti, kita coba cari lagi, Rara beneran gak tahu dimana apartemen om Raden?"

"Gak tahu gue, Rel. Eh... tapi, nanti coba gue cari ke kamar ayah sama mama. Barangkali ayah nyimpen sesuatu."

"Oke, sip. Kalo gitu, hari ini kita coba mikirin cara lain, gimana kalo kita ke Taman Kota? Lumayan kan adem, jadi, sambil mikir bisa sambil ngadem," saran Farel. Mereka meng-iyakan, lalu berangkat selama 30 menit menuju Taman Kota. Dari tempat pemukulan Ari sampai ke sana memang cukup jauh.

Selama perjalanan, Farel yang paling berisik, Ari fokus pada jalanan, sedangkan Myta dan Rara sibuk dengan dunianya masing-masing. Bahkan ketika mereka sudah tiba di Taman Kota, tidak ada yang bergerak kecuali Ari dan Farel.

"Hey, cewek-cewek pada kenapa?" Farel bertepuk tangan tepat di depan wajah mereka.

Myta terkesiap. "Eh, udah sampe?"

"Udah neng, ayo turun," ajak Farel. Ia membukakan pintu untuk Myta, lalu dengan gaya seorang pangeran, Farel mengulurkan tangannya pada Myta.

Wajah Myta memanas, semenjak ada api bergejolak di dalam hatinya, Myta sudah tidak bisa bersikap biasa lagi pada Farel. Bisa, namun sulit mengendalikan. Rasanya ingin muntah, karena kupu-kupu dalam perutnya memaksa untuk keluar. "A-apaan sih, lo!"

"Hehe..." Farel hanya menampilkan sederet gigi putih bersihnya.

Satu hal yang baru Rara sadari, Myta menyukai Farel. Hanya menebak. Rara tidak bilang bahwa dia mengetahuinya, sekali lagi, hanya menebak.

Lalu... Kenapa, hati ini terasa sakit? Padahal ini cuma perkiraan.

"Ra, ayo!" Seru Farel yang kemudian menyadarkan Rara dalam lamunan.

***

A/n : HAIIIIII... Rinduuuuuu, mengapa rindu hatikuu... Tiada tertahaaaan, kau tinggalkan aku seorang wkwkwk *malahnyanyi*

Gatau kenapa tiba-tiba pingin lanjutin. Minta saran bgt untuk chapter ini khususnya, kasih tahu kalau ada yang aneh, ya? Tapi, jangan dadakan. Emanya tahu bulat? Wkwk

Gataulah, pokoknya baca aja. Ini nulisnya ga maksain kok, serius, ini dari hati. Emang lagi pingin lanjutin. Semoga gak kecewa. Jangan lupa vote and comment. Di follow dan juga di shaareee. Thx before, gaess.

Refta Niar

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 28, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Cintapuccino; A Cup Of LoveWhere stories live. Discover now