#8 Rahasia Yang Belum Terungkap Sepenuhnya

673 60 33
                                    

Hari ini Farel lebih banyak diam, dia kesal karena festival remaja yang sudah ditunggunya malah diundur. Padahal, dia sudah mati-matian latihan, dia ingin menyanyikan sebuah lagu untuk Rara ketika cewek itu melihatnya nanti. Rara yang gemas melihat kebisuan Farel, jadi ingin menjahilinya. Namun, tidak jadi.

"Farel tayang, udah dong betenya. Kan lo jadi bisa latihan lebih maksimal lagi! Semangat dong!"

Farel menoleh, lalu tersenyum. "Iya deh, gue semangat. Kalo Rara yang semangatin jadi suka gimana gitu," balas Farel yang kemudian mengusap poni Rara seperti biasanya.

"Nah, gitu dong!"

"Kalo gue senyum kan jadi ganteng ya, Ra?"

Rara tak menjawab, dia malah langsung meloyor pergi ke kelasnya, meninggalkan Farel dengan sebal. Dari jauh, Farel sudah terkekeh geli seraya terus berlari kecil, menyamai langkahnya dengan Rara.

***

Bel istirahat berbunyi, Rara menolak ajakan Myta ke kantin. Dia merasa malas keluar hari ini, padahal sebentar lagi juga Farel akan datang menganggunya. Dan segera menyeret dirinya untuk segera bergegas ke kantin.

"Ra, gak ngantin?" Rara menoleh pada Ari. Dia baru tersadar, kalo Ari juga tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya.

Bukannya menjawab, Rara malah langsung menopang dagu dengan bosan. Lalu menatap lurus ke depan, tanpa menggubris pertanyaan Ari.

"Mau aku beliin sesuatu?" tanya Ari yang lagi-lagi Rara hiraukan.

Ari menghela napas, "Yaudah, kalo gak mau, aku juga enggak."

Ucapan Ari langsung membuat Rara menoleh seketika, "Apa urusannya sama gue? Lo kalo mau ke kantin pergi aja sana!" ketus Rara.

"Gak mau, aku maunya ke kantin sama kamu." Ari tetap bersikukuh.

Rara memutar bola mata sebal. Bodo, cuekin aja, Rara membatin. Mau Ari gak makan sampe mati pun, dia tidak akan peduli.

Selama beberapa menit, mereka terdiam. Tetapi Ari terlihat gelisah, membuat Rara jadi terganggu. "Lo gak bisa diem apa daritadi? Grasak-grusuk aja! Kalo laper, sana ke kantin!"

"Gak laper."

Sedetik kemudian, terdengar suara perut yang berbunyi. Mereka saling melirik satu sama lain, Rara jadi ingin tertawa. Benar saja, Ari kelaparan. Rara sangat tahu, kalau Ari mulai gelisah disertai bunyi perut, dan keringat dingin. Pasti Ari kelaparan.

"Aduh..., bunyi, kan. Jadi malu."

Rara benar-benar menahan tawanya yang sudah ingin meledak. Dia hanya melihat sekilas pada Ari, tanpa berniat mengajak cowok itu ke kantin.

Di ambang pintu, terlihat Farel yang sedang terengah-engah. Peluh yang membanjiri pelipisnya membuat Farel terlihat sangat maskulin, dan Rara jadi terpesona melihatnya. Tanpa banyak kata, Rara berlari ke arah Farel.

"Abis ngapain?" tanya Rara sambil mengelap wajah Farel dengan tissue yang selalu ia bawa.

"Abis nyangkul! Abis main futsal, lah!" Rara tertawa geli.

"Haus ya pasti? Mau beli minum?" tawar Rara dengan suara kencang, ia sengaja agar terdengar oleh Ari. Entah apa tujuannya, Rara sendiri pun tidak tahu.

Penasaran, Rara melirik ke arah Ari, ingin tahu apa reaksi cowok itu. Namun, wajah Ari terlihat datar, seperti mayat hidup. Farel yang senang dengan ajakan Rara langsung menoleh pada orang yang tengah Rara lirik. Pikirannya hanya satu saat itu, Rara cuma mau manas-manasin Ari.

***

Dengan kesepakatan bersama, setelah hampir 15 menit berargumen, akhirnya Rara mengalah, dan membiarkan Ari ikut dengannya ke kantin. Meski dia masih kesal padanya, namun dia tidak setega itu membiarkan Ari mati kelaparan. Dan sekarang, mereka bertiga sudah duduk di warung bakso Mang Udin.

Cintapuccino; A Cup Of LoveWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu