#10 Luka Lama

502 53 40
                                    

"Ssstt... Ara?" Ari memergoki Rara yang tengah memeluk lutut dipojok pintu kamarnya. Kebiasaan Ari adalah memanjat pohon mangga dekat kamar Rara, lalu menyelinap masuk ke dalam. Padahal, tanpa ia lakukan itu juga dengan mudahnya ia memasuki kamar Rara.

Rara masih menunduk, memeluk kedua lututnya dengan erat. Ada yang berbeda darinya, yaitu bahu yang terus naik turun. Ari tahu, gadis kecil itu sedang terisak.

Dengan pelan, Ari menyentuh bahu milik Rara. Membuat gadis itu terkejut. Untuk pertama kalinya, Ari melihat sosok Rara yang berbeda. Mata yang sembab dan juga bengkak. "Ara? Ara kenapa?" Ari terlihat sangat panik. Pasalnya, gadis yang baru berusia 6 tahun itu tak pernah Ari lihat menangis.

Rara yang masih terisak hanya mampu menggeleng pelan, apa yang bisa dijelaskan oleh gadis kecil berusia 6 tahun? Ketika mendengar kedua orangtaunya saling mengadu urat, apa yang bisa dia jelaskan? Mengerti saja tidak. Ari yang selalu melihat keharmonisan dalam keluarga Rara langsung tersentak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Teriakan serta pecahan-pecahan benda yang begitu keras, sangat terdengar jelas dari kamar Rara.

"Mama sama Ayah Ara lagi berantem? Berantem yang kayak di film?" Dengan hati-hati Ari bertanya, dia juga sama tidak mengertinya. Yang dia tahu, ketika mendengar suara seperti orang berdebat, dan suara benda yang seperti di lempar, itu tandanya mereka sedang bertengkar. Itulah yang Ari ketahui, dari sebuah film yang selalu neneknya tonton.

Rara masih terisak, kali ini ia menutup kedua telinganya. "Ara... A-ra gak tahu, dari semalem mama sama ayah teriak-teriak. Emangnya .. kalo teriak gitu mama sama ayah lagi berantem? Ara takut, Ri..."

Ari yang jauh lebih tua 11 bulan dari Rara langsung mengerti, jadi inikah rasanya mendengar kedua orangtua bertengkar? Takut, sedih, sesak. Rara kecil belum pantas mendengar dan merasakan semua ini.

Rara masih terlalu kecil untuk mengerti tentang hal ini. Rara kecil masih pantas bahagia dengan kasih sayang kedua orangtuanya. Keharmonisan yang nyata dalam keluarga yang dibutuhkan, bukan keharmonisan yang hanya terlihat dari luar sana. Ini kehidupan nyata. Bukan kehidupan palsu.

Ari memeluk Rara dengan sayang, "Mulai sekarang, Ari janji akan jagain Ara. Ara gak usah takut lagi, ya?" Itulah janji pertama Ari kecil. Terucap dengan begitu saja. Janji seorang anak kelas 1 SD yang mungkin bisa Rara pegang.

Rara masih terisak, suara keributan yang dibuat kedua orangtuanya masih saja terdengar. Hingga pada akhirnya, terdengar suara mamanya berteriak keras, membuat gadis kecil itu beranjak dan membuka pintu kamar dengan panik. Ari mengekor dari belakang. Rara terus berlari hingga mereka sampai di dapur.

Napas Ari tercekat. Ini pertama kalinya dia melihat darah sebanyak ini secara langsung. Lututnya jadi terasa lemas.

"Mama!" Terlihat Manda yang tergeletak, lemas tak berdaya. Dengan darah yang mengalir di kepalanya. Serta serpihan kaca dari gelas yang penuh darah. Membuat Rara kecil berteriak dan menangis histeris.

Rara memandang ayahnya yang terlihat frustasi dengan takut, sambil terus menangis histeris. Rara kecil tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, ia hanya tahu bahwa kedua orangtuanya saling berteriak, terdengar suara benda terlempar, dan setelahnya sang mama tergeletak penuh darah. Ia hanya tahu itu.

*

Rara diam mematung. Secara tidak sadar, air matanya telah menetes membasahi kedua pipi. Ia terus menatap ponselnya, lebih tepatnya menatap pesan singkat dari Ari. Sudah 3 jam semenjak Ari mengirimkan pesan bahwa dia sudah sampai di kedai, dan sekarang dia masih setia menunggu kedatangan Rara.

Cintapuccino; A Cup Of LoveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora