#14 Ari

428 47 14
                                    

"Kalau nanti Ari udah besar, Ari akan jadi jagoan buat Ara."

Rara yang sedang berputar-putar langsung menoleh pada Ari, "Bener?"

"Iya, bener," jawab Ari bersemangat.

Mata Rara berbinar, ia langsung memeluk Ari. "Kalo Ari bohong, Ara nanti marah dan gak mau maapin Ari."

"Ari janji gak akan bohong." Ari kecil mengangkat jari kelingkingnya, Rara tersenyum, lalu tanpa ragu mengaitkannya pada jari kelingkingnya.

Kemudian, mereka kembali berputar-putar di kebun teh yang terasa sejuk. Rara menari di tengah kebun, ia merasakan kebebasan dan kelegaan pada hatinya. Setelah melihat pertengkaran kedua orangtuanya. Rara sekarang berumur 9 tahun, dan ia mulai terbiasa melihat pemandangan yang tak seharusnya dilihat oleh anak di bawah umur; pertengkaran kedua orangtua.

"Ari... kenapa, sih? Orang dewasa itu harus bertengkar?" Rara langsung duduk di bawah pohon yang rindang, bersandar dengan kaki yang ia selonjorkan. Ari mengikutinya.

Ari diam, lalu mengangkat bahu. "Ari gak tahu, yang jelas, orang dewasa itu pasti sudah banyak fikiran, bukan cuma soal main melulu seperti kita. Mungkin, itu penyebabnya kenapa orang dewasa itu harus bertengkar."

"Tapi, mama sama papa Ari gak bertengkar. Mereka kan juga orang dewasa."

Ari tertegun, ditatapnya wajah Rara yang mulai bersedih. Lalu mengusap rambut Rara dengan lembut. "Ra, setahu Ari, orang dewasa itu mempunyai masalahnya masing-masing, dan mereka juga mempunyai solusinya masing-masing. Jadi, mama sama papa Ari sama seperti mama sama papa Rara, bedanya, setiap masalah yang di alami kedua orangtua kita, pasti solusinya tidak akan sama."

"Rara gak ngerti. Tapi, Rara gak mau jadi orang dewasa, kalau pun harus, Rara mau jadi orang dewasa yang seperti mama Ari."

Ari tidak menjawab, dia hanya tersenyum, menatap kepolosan Rara. Meski Ari juga masih kecil, tetapi, Ari masih dapat mengerti.

                              ***

Sudah satu jam Rara berdiam diri di kedai. Dia bahkan belum memesan cappuccino kesukaannya. Para pelayan yang telah menawarkan pesanan beberapa kali sampai sudah memaklumi. Bahwa pelanggannya yang satu ini sedang tidak ada mood.

Rara menatap setiap orang yang berlalu lalang, kebiasaannya sekarang. Samar-samar, dia melihat sosok yang dia kenal. Orang itu ... seperti Ari. Rara menghela napas, lalu memejamkan matanya sesaat. Ini pasti hanya halusinasi, akhir-akhir ini, semenjak dia merasa Ari menjauhinya, dia jadi sangat merindukan Ari, dan segala kebersamaannya.

Rara mencium aroma tubuh seseorang, dan dia membuka mata, betapa terkejutnya Rara ketika mendapati Ari benar-benar ada di depannya.

"Boleh aku duduk?" Katanya sambil membawa dua cappuccino ice cream. Tanpa menunggu jawaban Rara, Ari langsung duduk, berhadapan dengan Rara.

Hening. Suasana menjadi sangat hening di tengah keramaian. Rara terlihat tidak nyaman karena Ari terus saja memerhatikannya.

"Kalo aku ganggu, aku pergi." Ari sudah ingin beranjak, namun tangan Rara terulur mencegahnya.

"Lo udah gak marah lagi sama gue?"

Ari tertawa, membuat Rara semakin rindu. "Enggak, aku mana mungkin bisa marah sama kamu. Lagi pula aku juga gak marah kok, sama kamu."

"Tapi, lo beberapa hari ini seakan menjauh dari gue."

"Aku gak menjauh, cuma perasaan kamu aja kali. Maaf ya, kalo kamu ngerasanya gitu." Ari mengusap lagi pucuk kepala Rara, dia bahagia, karena bisa sedekat ini lagi padanya. "mau pergi ke suatu tempat? Biar bete kamu ilang, kayaknya daritadi kamu bete banget," sambungnya kemudian.

"Lo ngikutin gue, ya?!" Rara membulatkan mata. Dia sudah bersiap-siap untuk mencubit Ari.

"Iya, aku ngikutin kamu. Emang kenapa? Gak boleh? Aku juga yang nyuruh para pelayan nyamperin kamu hahaha..."

"Ih, Ari..." Rara benar-benar mencubit lengan Ari, membuat cowok itu mengaduh kesakitan. Cubitan Rara tidak pernah berubah, masih sama rasanya. Pedes!

                                  ***

Ari berlari menghindari Rara yang tengah mengejarnya dengan tatapan super jengkel. Pasalnya, Ari sudah menghabiskan puding cokelat buatan mama Rara. Dan sukses membuat gadis kecil itu merasa kesal.

"Ari!"

Rara terus berteriak, namun Ari tidak menggubris. Dia malah terus saja tertawa, menganggap kemarahan Rara adalah suatu lelucon untuknya. Karena Ari selalu suka jika Rara marah.

"Kejar hayooo, kalo bisa!" Ari kecil menjulurkan lidah.

Rara merengut, ia mengepalkan kedua tangannya. "Awas, ya! Ara cubit nanti kalau ketangkep!"

Ari terus tertawa, tanpa menyadari bahwa ada lubang kecil di depannya. Sialnya, kakinya masuk ke dalam lubang, dan Ari pun terjatuh. Rara yang melihat langsung panik dan menghampiri Ari secepat kilat.

"Tuh, kan! Ari jadi jatoh. Sakit gak? Ini lutut Ari berdarah," kata Rara cemas.

Ari meringis, karena memang rasanya sakit dan perih. Lututnya tergores, khas anak-anak kalau terjatuh. "Ari gak pa-pa, kok. Cuma perih aja sedikit."

"Ari tunggu sebentar di sini." Rara beranjak meninggalkan Ari. Ia mencari-cari dedauanan. Lalu memetiknya, setelahnya ia mengambil sebuah batu yang berukuran sedang.

"Ara mau ngapain?"

Rara tidak menjawab, ia fokus pada daun dan batu yang ia bawa. Lalu, ia menumbuk daun yang ia petik. Menumbuknya dengan halus.

"Nih, udah lumayan halus. Kata nenek, kalau jatoh, obatnya pake daun yang di tumbuk." Ari manggut-manggut, ia baru tahu fakta itu. Tapi ... memangnya apa benar seperti itu? Ari pun tidak mengerti. Ia malah memandangi Rara yang sedang fokus mengobati lukanya.

"Aduh." Ari merasakan perih ketika daun yang sudah di tumbuk itu mengenai lukanya. Rasanya perih, seperti memakai betadine.

"Nanti tunggu kering dulu. Kita duduk di saung ini dulu aja."

"Emang bisa kering ini teh?"

"Bisa!"

Lagi-lagi Ari hanya ber-oh ria. Mereka kini duduk di sebuah saung yang berada di tengah kebun.

"Aduh, sakit tau!" Ari meringis ketika Rara mencubit pinggangnya. Ari mendengus, selalu saja ada niat terselubung.

"Itu buat Ari yang udah abisin puding jatah Rara."

Rara kembali mencubit pinggang Ari, "Dan itu, buat Ari yang udah nakal dan gak hati-hati!"

"Sakit tau, Ra! Ara kalau nyubit gak pake perasaan. Kan sakit, Ra!"

Rara menoyor kepala Ari. "Mana ada nyubit pake perasaan? Mau Ara cubit lagi?"

"Eh, iya enggak!"

Melihat ekspresi Ari, Rara jadi terbahak. Suara tawanya begitu menggema di telinga Ari. Dia senang bisa memiliki sahabat seperti Rara, dan dia selalu berharap, persahabatannya tidak akan pernah terputus.

Ari juga berharap, kalau senyum Rara tidak akan pernah pudar. Karena ia sudah berjanji, ketika kedua orangtua Rara tidak bisa memberikan senyum pada Rara, maka ... ia yang akan memberikan itu semua.

                                 ***

An : Tbc... segini dulu yaa, semoga suka. Btw kalian lebih suka ke Farel yaa:'v kasihan sama Ari jadinya wkwk kayaknya gue salah bikin karakter Ari. Ari baik tauu haha
Btw, nanti atau besok aku ketik lagi yaa... dan semoga bisa langsung publish, lagi mau rajin nihh.
Makaih buat yanv udah baca.

Siders... kapan muncul?

Reftaniar.

Cintapuccino; A Cup Of LoveWhere stories live. Discover now