#7 Persaingan

603 66 44
                                    

Bagaimanapun juga, Rara tidak dapat menghindar dari Ari. Semenjak kedatangannya secara mendadak ke rumah, mamanya jadi selalu menanyai Ari. Dan membuat cowok itu rajin datang ke rumah Rara dengan alasan kangen tante. Farel yang sibuk latihan tidak tahu menahu soal ini. Bahkan beberapa kali saja, Rara pulang sendirian. Beberapa kali juga pada akhirnya Ari mengantarnya. Seperti saat ini.

"Gue bisa pulang sendiri, gue udah gede," ketus Rara ketika mendapati Ari tengah membuntuti.

"Belom, kamu masih kecil. Orang kamu aja tiap hari dianter jemput sama Farel," sahut Ari membuat langkah Rara terhenti, hingga nyaris saja Ari menabraknya.

Rara mendengus, semakin sinis menatap Ari. "Bukan urusan lo!"

Ari justru hanya tertawa mendengar jawaban Rara, bisa pulang berdua dengannya saja Ari sudah senang. Apalagi mengobrol (Re; bertengkar) bersama Rara, sangat cukup membuatnya senang.

Ari sedang berusaha membuat perang dingin antara dirinya dengan Rara berhenti. Meski dia tau, akan butuh waktu yang lama. Apalagi Rara sudah mengibarkan bendera peperangan padanya. Pasti akan sangat lama.

"Lo gak ke rumah gue, kan?" tanya Rara tiba-tiba.

Ari tersenyum senang. "Sayangnya, aku mau ke rumah kamu. Ada janji sama tante, katanya mau ngobrol sama mama. Lewat video call." Rara tidak menjawab. Dia hanya berdecak sebal, sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Lalu mengumpat dalam hati. Lagi-lagi Ari tersenyum. Dia menang lagi!

***

"Aduh, jeng. Makin cantik aja ya Rara? Hallo ... Rara? Apa kabar, nak? Tante denger kamu sekelas ya sama Ari? Sebangku juga, ya? Aduuhhh, kalian emang jodoh kayaknya. Hihii ... Ari nakal, ga? Kalo nakal jitak aja, kayak waktu kecil kamu sering jitak Ari kan kalo udah nakal sama jail!"

Rara hanya tersenyum melihat tante Sonya--mama Ari, begitu senang dapat melihat dirinya lagi. Beliau masih terlihat cantik dan awet muda, sama seperti mamanya. Wajahnya terlihat lebih fresh dan ceria. Meski Rara dapat melihat segurat kelelahan di wajah beliau.

"Kabar Rara baik tante, tante gimana? Kapan mau main ke sini?"

"Nanti lah, kalau acara lamaran," celetuk Ari yang mengundang tawa mamanya dan juga mama Ari. Rara yang berada tepat di belakang Ari langsung menyikut perut Ari dengan gemas, membuat cowok itu mengaduh.

"Wah ... bener tuh kata Ari! Ari sekolah yang bener, jagain Rara kayak dulu, ya? Jeng, titip Ari ya, dia ngekost gak begitu jauh dari rumahmu kayaknya, jeng. Udah dulu ya, Ra. Tante mau keluar nih, ada arisan keluarga. Aa tong baong siah awas, jagain Rara! Jeng, nanti disambung lagi, ya? Dadaahh.... Assalamu'alaikum warrahmatullah,"

Mereka semua menjawab dengan kompak, lalu melambaikan tangan salam perpisahan. Hingga layar ponsel Ari tidak menampakkan lagi wajah mamanya. Rara jadi merasa jengah, semua hal yang berhubungan dengan Ari selalu saja menariknya secara paksa untuk mengingat memori-memori saat mereka kecil. Bahkan, kedua orangtua mereka pun selalu mengaitkan semuanya dengan kebiasaan mereka saat kecil.

"Rara capek, mau masuk kamar." Rara meloyor memasuki kamar, lalu membanting tubuhnya ke ranjang. Dia benar-benar lelah, lahir dan batin. Dipikir-pikir, apa salahnya menerima lagi kehadiran Ari? Rara segera menepis pikiran bodohnya itu.

"Rara! Ada Farel, nih!" mamanya berteriak membuat matanya yang hampir terpejam, terbuka kembali. Yang membuatnya melek adalah Farel! Dia segera berlari ke arah lemari, mengambil baju ganti dan langsung memasuki kamar mandi.

Setelah 15 menit menunggu, Rara akhirnya turun. Dia menatap ke ruang tamu. Ada sosok Farel yang tengah duduk sambil terus menunduk, memainkan ponselnya dengan bosan. Sedangkan Ari tidak terlihat, biasanya, Ari akan menghabiskan waktu dengan mamanya untuk membuat kue bersama. Walau Ari selalu kebagian mencicipi.

Cintapuccino; A Cup Of LoveWhere stories live. Discover now