Bab 20

42.9K 3.2K 283
                                    

Tatapan mereka saling terkunci untuk beberapa saat, mungkin hanya hitungan detik saja, tetapi terasa sangat lama karena waktu seolah berhenti berputar, menyisakan ruang kosong antara aku dan dia, hanya kita.

"Eh, Cin." Mbak Naura menyela pikiran Cinta yang sudah melayang entah kemana. "Kamu mau buat cerita tentang apa?" tanyanya sembari menoleh ke arah gadis itu.

Mata Cinta mengerjap kaget, seolah sedang tertangkap basah melakukan sesuatu yang memalukan, begitu pun Biru yang langsung menunduk dan memutus kontak mata mereka, bahkan dia sempat terbatuk kecil dan mengacak rambut belakangnya secara kasar, bibir Cinta ikut berkedut saat melihat itu, melihat Biru salting sungguh pengalaman langka.

"Hayo ... " Naura menyenggol siku Cinta, mencoba menggoda. "Abis ngapain tadi sama Biru?"

"Enggak kok, Mbak." Telapak tangan Cinta bergerak cepat. "Eummm ... soal cerita ya, Mbak. Cuma romance biasa sih. Aku belum terlalu berani nyari topik yang berat-berat. Cerita kayak gini masih perlu riset nggak sih, Mbak?"

"Perlu, dong. Riset itu bukan hanya sekedar googling dan baca buku. Berinteraksi dengan sesama manusia itu juga termasuk riset. Saat kita berkomunikasi, kita lihat gerak-gerik lawan bicara kita, bagaimana cara mereka ketawa, bercanda, bete, itu bisa banget lho dijadiin karakter cerita kita, jadi tokoh itu berasa real."

Kepala Cinta manggut-manggut. "Oh, gitu, ya."

"Iya, contohnya nih, kamu lirik-lirikan sama Biru, terus ketahuan. Nah ... lihat gerak-gerik Biru, gimana cara dia gugup dan tersipu malu dengan caranya sendiri, menarik, kan?" Naura mengerling ke arah Biru yang langsung mendelik.

Cinta tersedak oleh salivanya sendiri saat mendengar contoh dari Naura, dan membuat gadis itu terkekeh geli.

"Cieh, yang lirik-lirikan." Gantian Lala yang bersuara.

"Hati-hati, lho. Kalian jangan berkhalwat, bisa bahaya," ujar Bian yang sedari tadi diam dengan senyum simpul yang menawan. "Sini aja deh, Ru. Deket-deket akhwat bisa khilaf kamu." Ia berbicara dengan kekehan ringan membuat Biru bersungut-sungut, tapi mau tak mau juga melakukan apa yang lelaki itu katakan.

Sepengetahuan Cinta, Bian adalah orang yang paling dekat dengan Biru, mereka juga satu majelis ta'lim, tetapi Bian lebih tenang dan ramah saat menasehati, tidak seperti lelaki bermuka datar itu.

Cinta masih mencoba menetralisir rasa gugupnya. "Eum ... aku mau cari referensi bacaan dulu, ya, Mbak, Mas."

"Silahkan, Manis," ujar Mas Nayaka yang kemudian mendapatkan cubitan keras di pinggangnya oleh Lala. Cinta hanya tersenyum simpul menanggapinya.

Perpustakaan yang luas ini cukup melelahkan untuk diputari, mungkin kurang lebih sudah ada sepuluh rak yang gadis itu datangi, awalnya ia hanya ingin mengambil novel, tapi matanya terlalu rakus saat melihat buku-buku yang lain, setidaknya sudah ada lima buku yang  ia bawa. Kalau perempuan seumurannya suka khilaf melihat baju-baju lucu, beda dengan Cinta yang tidak dapat menahan godaan lambaian buku-buku manis itu, tempat ini seperti surga bagiku.

Drrttt ... Drtttt ...

Cinta merasakan getaran di ponselnya, ada nama Nadia terpampang di sana.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Cinta. Kamu masih di perpus?"

"Iya, kenapa, Di?"

"Mau pinjem motor lagi, dong."

"Buat apa?"

"Buat jalan, tapi cukup lama nih, nanti kamu nebeng temen bisa? Mas Biru misalnya?"

Birunya CintaWhere stories live. Discover now