BAB 6

47.4K 3.6K 221
                                    

Menulis ternyata bukanlah perkara mudah. Cinta bahkan harus menghabiskan beberapa kertas hanya untuk membuat premis dan kerangkanya saja. Bayangkan, hanya sebuah premis dan kerangka. Oke, memang bukan "hanya", dua hal itu adalah inti dari sebuah cerita, konsep cerita, yang menentukan bagus atau berkesannya cerita kamu nantinya.

Itu baru rancangan kasar, belum lagi saat Cinta harus menuangkan segala ide dan imajinasi yang bersarang di kepala dalam sebuah rangkaian kata. Sekali mood turun, otak tak akan bisa berpikir, hasilnya amburadul.

Setelah berhari-hari berkutat dengan tulisan itu, akhirnya enam lembar kertas polio sudah berada di tangan gadis itu sekarang. Cinta mengembuskan napas lega, untungnya ia tepat waktu menyelesaikannya. Sebentar lagi pertemuan LA yang kedua, dan anggota baru di sana harus menyetorkan cerpen itu.

Cinta merapikan mejanya, membuang sampah kertas yang berserakan ke tempat sampah yang ada di kamar. Saat mejanya sudah sedikit rapi, matanya bertabrakan sebuah buku bersampul hitam.

“Ah, buku Biru,” ujarnya yang kemudian mengambil buku itu dari sana, dan entah karena terlalu licin atau apa, Cinta tak sengaja menjatuhkan bukunya. Buku itu terbuka tepat di sebuah puisi lain.

Gelap dan sekarat

Hukum dunia yang pantas.

Hitam dan kelam

Hidup bagai di neraka

Kecam, tuding, sayat

Pantas mati, kesempatan kedua

Hidup kembali

Seperti mimpi

Mimpi buruk

Bersalah! Vonis mati.

~ Banyu Biru

Gadis itu mengerutkan dahi, entah apa itu namanya, puisi, prosa atau hanya kata-kata iseng saja, Cinta tak tahu. Tapi kenapa dari kemarin kata-kata yang ditulis lelaki itu seperti penuh keputusasaan. Melihat dari sifatnya, sepertinya Biru adalah sosok yang penuh percaya diri, sombong, angkuh dan pastinya menyebalkan.

Cinta mengibaskan tangan, Kenapa aku jadi memikirkan cowok tidak penting itu? Selanjutnya, Cinta segera memasukkan buku itu ke dalam tas, dia harus mengembalikannya segera.

***

Saat tiba di tempat perkumpulan—gazebo FBS—suasana masih sepi. Di ujung barat sana, sekumpulan senior LA sedang berbincang serius, sedangkan Biru terlihat memisahkan diri dari teman-temannya, lelaki itu mengetik laptop, sesekali menyeruput coffe cup di sebelahnya.

Cinta rasa, sekarang saatnya ia harus mengembalikan buku milik Biru. Dengan hati-hati gadis itu berjalan mendekat.

“Permisi, Mas,” ujarnya pelan.

Biru sama sekali tak menoleh ke arahnya.

“Permisi.” Gadis itu berujar lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras dan ternyata cukup berhasil mengalihkan perhatian Biru, lelaki itu memandangnya dengan sebelah alis naik ke atas, seolah bertanya ‘ada apa?’

Birunya CintaWhere stories live. Discover now