Bab 10

42.6K 3.2K 185
                                    

Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi langit mendung membuatnya terlihat lebih gelap dari biasanya. Di gazebo, Cinta terduduk lemas di lantai, dengan tangan yang menjadi penopang dagu, dan kakinya mengetuk-ngetuk pelan pada tanah yang ia pijak. Gadis itu resah, dan wajahnya menunjukkan hal itu.

“Lho, Cinta. Belum pulang? Kumpul-kumpulnya dah selesai dari tadi, lho,” tanya Asa sembari berdiri di sisi Cinta.

Cinta mendongak, dan segera menegapkan badan. “Iya, Mas. Motor mendadak mogok, sekarang aku bingung pulangnya gimana.”

Asa mengangguk-angguk. “Mogok kenapa? Udah dibawa ke bengkel?”

"Udah, di bengkel deket situ." Cinta menunjuk dengan dagu, ke arah bengkel yang memang masih bisa terlihat dalam pandangan matanya. “Katanya besok baru bisa selesai, soalnya sekarang montirnya dah pada pulang.”

“Euumm …” Asa berpikir sebentar, lalu kepalanya berputar sembilan puluh derajat ke kiri dan kanan, mencari sesuatu. “Woy, Ru!”

Kenapa Mas Asa manggil orang itu?

Sang empunya nama menoleh dan menghampiri orang yang memanggilnya. Ia sempat melirik Cinta sekilas kemudian memilih acuh tak acuh dengan gadis itu. “Ada apa, Mas?”

“Kamu bawa mobil, kan? Anterin Cinta pulang gih! Kasihan motornya mogok.”

Embusan napas terdengar kasar dari hidungnya. “Berduaan sama yang bukan mahram haram, Mas,” ucap Biru yang responnya sudah bisa ditebak oleh Cinta. Justru keajaiban dunia jika lelaki itu mengiyakan.

“Inget kata kamu waktu itu? Ada beberapa pengecualian berinteraksi dalam dengan lawan jenis, salah satunya adalah dalam hal tolong menolong. Ayolah ... kamu mau nih anak kenapa-kenapa di jalan? Atau parahnya nggak bisa pulang ke rumah, gimana?” Asa mencoba meyakinkan.

Tapi bukan Biru namanya jika mau mengalah begitu saja. “Itu sih, urusan dia,” jawabnya tanpa ekspresi sama sekali.

Asa berdecak. “Ah elah, tega banget sih kamu jadi cowok, Ru. Jangan fanatik-fanatik lah jadi orang.”

“Kata sok fanatik bisa jadi penghambat orang untuk menjadi lebih baik lho, Mas. Ati-ati “

“Ya terus gimana? Kasihan Cinta, Ru.”

Sudah tak sabar mendengar perdebatan kedua lelaki itu, akhirnya Cinta memberanikan diri untuk menyahut, “Udah, nggak pa-pa kok, Mas. Nanti aku cari jalan keluar sendiri aja.”

Asa mendecih ke arah Biru, lalu tatapan matanya kembali ke arah Cinta. “Beneran, Ta? Ada yang bisa kamu mintai tolong nggak?”

Cinta mengangguk, meski sebenarnya dia masih ragu akan hal itu.

“Oh, syukur deh.” Asa mengkus dada. “Aku sebenernya pengen nganterin kamu pulang, Ya. Tapi aku ada urusan genting.” Mata Asa mengarah ke jam tangannya. “Aduh! Mana udah telat lagi.”

“Iya, Mas. Nggak papa,” jawab Cinta setenang mungkin.

“Ya udah kalau gitu. Aku udah telat nih, keburu si nyonya ngambek. Cabut dulu ya, Ta, Ru,” ujar Asa sembari menyalami Biru, lalu Cinta sebagai salam perpisahan, tapi Cinta lebih memilih untuk menangkupkan tangan di depan dada. Dia tidak mau mendapatkan kesinisan dari Biru lagi.

Sekilas dari sudut mata, Cinta menangkap bibir Biru tertarik tipis, entah untuk alasan apa. Tapi ia segera mengenyahkan pemikiran itu, sepertinya ia cuma berkhayal saja. Otot wajah Biru terlalu kaku untuk bisa tersenyum, mungkin ada yang salah dengan matanya.

Setelah kepergian Asa, Cinta mendesah lemah. Dia harus bagaimana sekarang? Langit sudah semakin gelap, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, dan dia benci hujan.

Birunya CintaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora