BAB 4

54.9K 3.7K 148
                                    

Cinta masih membeku di tempatnya saat ini, duduk di depan pemilik mata coklat terang yang sedang sibuk membersihkan sisa noda pada pakaiannya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya lalu memilin ujung kaos yang ia kenakan, dia sungguh merasa tidak enak.

Mereka tidak berduaan, ada Satya di tengah mereka, membantu Biru membersihkan kemejanya.

Dan Cinta hanya bisa melihat itu dalam diam. Dia bisa apa bila tiap kali tangannya ingin membantu, Biru akan mundur selangkah dan menghadiahinya tatapan tajam yang siap mencabik-cabik dia kapan saja.

"Maaf," ucap Cinta canggung.

Lelaki itu mendongak, mengembuskan napas kasar, lalu berkata, "Aku nggak pa-pa."

“Aku bakal ganti.”

"Aku bilang nggak pa-pa." Nada suara lelaki itu naik satu oktaf dan seketika membuat Cinta bergeming. Seumur-umur jarang sekali orang membentak dia, dan sekarang dia harus mengalaminya dengan orang yang tidak ia kenal. Hati Cinta panas.

Kesal, Cinta mengalihkan pandangan pada Satya. "Moccachino yang tumpah tadi aku aja yang bayar ya, Mas. Sekalian bayar pesenan yang tadi."

Satya pun berganti menatap Cinta. "Udah ketemu dompetnya to, Mbak?"

Cinta mengangguk. "Jadi berapa total semuanya?"

"Semuanya dua puluh—"

Belum selesai Satya mengeluarkan suaranya, Biru terlihat menggebrak pelan meja yang ditempati oleh mereka, dia menaruh selembar uang di balik tangannya.

"Aku bisa bayar sendiri," kata Biru yang kemudian beranjak dari tempat duduknya. "Ada jaket nggak, Mas? Boleh aku pinjem sebentar?"

"Oh iya, ada, Mas. Sebentar saya ambilkan." Satya bangkit dari kursi dan diikuti oleh Biru.

Setelah kepergian mereka, Cinta bersungut-sungut.

Kenapa ada lelaki yang sangat dingin dan ketus seperti itu di dunia ini? gerutunya dalam hati.

Di tengah rasa kesalnya, mendadak mata Cinta menangkap sebuah buku kecil bersampul warna hitam di atas meja, dan entah dorongan dari mana Cinta mengambilnya, merasa ingin tahu. Ia tak berniat membuka buku tersebut, namun saat ia bangkit sebuah kertas jatuh di dekat kakinya.

Kertas dengan tulisan tangan bentuk latin, seperti sebuah puisi,

Aku berada di dalam sekat

Sekat yang belum  pernah kulihat

Lalu cahaya samar-samar hilang begitu cepat

Hitam dan gelap yang sekarang kudapat  

Sebuah rasa sepi datang merambat

Sepi, kosong, seakan menghimpitku rapat-rapat 

Semua tak terasa lambat

Bahkan menghindar pun aku tak sempat

~Banyu Biru

Ada sebuah rasa yang Cinta rasakan tetiba merasuk ke dalam di hatinya. Cinta memandang buku itu dalam diam.

“Banyu Biru? Biru?” gumam gadis itu pelan. Bagi Cinta itu terasa mustahil. Bagaimana mungkin lelaki dingin dan angkuh itu bisa membuat puisi se-mellow ini? Pandangan Cinta kemudian lurus ke arah di mana dua lelaki tadi berada. Namun, rupanya ia hanya mendapati Satya saja.

Langkah Cinta melebar, mendekat ke Satya. “Lho? Cowok tadi kemana, Mas?"

"Maksud Mbak Cinta? Mas Biru?"

Cinta mengangguk. “Sepertinya dia menjatuhkan ini,” ujar gadis itu seraya mengangkat bersampul hitam.

“Baru saja keluar, Mbak. Mungkin belum jauh.”

“Makasih, Mas.”

Cinta melesat keluar, mencari jejak Biru. Kepalanya berputar, menyapu sekitar. Hingga ia melihat lelaki yang dimaksud, sedang berdiri di depan sepasang muda-mudi yang sepertinya tengah berpacaran.

“Kalian kakak-adik?” tanya Biru dengan nada dingin dan muka datar khasnya.

Terlihat gelengan pelan dari kedua insan muda itu.

“Suami-istri?”

“Enggak, Mas. Kami masih pacaran, kok,” jawab sang perempuan yang mengenakan kerudung warna salem itu.

“Tapi kalian muslim, kan?” Ada nada sarkastik dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Biru.

Gadis itu mengangguk. “Tentu saja, sudah terlihat kan dari hijab yang saya kenakan saat ini? Memangnya kenapa, Mas?”

“Oh, syukur kalau sadar.” Biru memberi jeda sejenak pada ucapannya. “Pasti pernah baca Al-qur'an kan?”

Kedua orang di hadapan Biru terlihat kebingungan dengan arah pembicaraan lelaki itu.

“Dalam Al-qur'an surat Al-Isra ayat 32, Allah SWT berfirman : Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. Nah, mendekati saja dilarang, apalagi melakukannya.” Dagu Biru mengedik ke genggaman tangan mereka. “Dengan berpegangan tangan seperti itu juga merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan agama kita, apalagi kalian belum mahram.”

Cinta yang mendengar pembicaraan itu menelan salivanya sendiri. “Biru, lelaki itu sepertinya mau cari mati.”

"Maaf ya, Mas. Dosa atau enggak itu juga bukan urusan Mas. Mending Mas urus diri sendiri dulu, bisa jadi perbuatannya juga ada yang belum bener." Lelaki dengan perawakan tinggi itu membalas perkataan Biru dengan ketus.

Dan tanpa gentar sedikitpun Biru memiringkan bibirnya. “Saya hanya mengingatkan saja, bukannya tugas sesama hamba Allah adalah saling mengingatkan saat ada kemungkaran?”

Cinta membenarkan ucapan Biru, tapi hanya sebagian. Sebagian yang lain mengatakan bahwa lelaki itu gila. Mengingatkan orang secara terang-terangan itu sangat beresiko, dia bisa saja terkena bogem mentah dari sang lawan bicara.

Lelaki tadi akhirnya menarik tangan pacarnya menjauh, melewati Cinta yang hanya terdiam di tempat. Dan dari sana pula ia melihat Biru memperhatikannya dengan muka tanpa ekspresi serta kedua tangan masuk ke saku celana.

Cinta bisa merasakan tubuhnya menegang saat mengetahui Biru mendekatinya, lidahnya seakan kelu. Bahkan sampai punggung lelaki itu hilang ia masih tetap berdiri di tempatnya. Hingga dia tersadar sesuatu. “Bukunya?”

*Bersambung

Wuuueeehh... Sedikit dulu ya hari ini.

Buat yang udah penasaran. Bisa langsung meluncur ke karyakarsa ya. Akunku primamutiara_ judulnya sama Birunya Cinta. Sudah sampai end dan harganya murah perbabnya. 🤭🤭

Btw. Yang mau masuk grup pembacaku bisa DM ya. Hehehe.

Birunya CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang