Isolate (K) : Kejujuran Rian

Start from the beginning
                                    

"Terus foto kedua, 'Can I go?'Dan gue rasa, itu perasaan terdalamnya sama lo. Yah, walaupun Alvin baru beberapa minggu ini deketin lo, tapi gue yakin lo melakukan sesuatu ke dia sampe-sampe itu cowok galau tingkat dewa.”

“Hm,” desis Riana sebal. Kenapa topik obrolannya dengan Ayni membahas Revan melulu? Tidak adakah orang lain di dunia ini?

“Jangan nyianyian orang deh. Apa yang lo perbuat ke seseorang sekarang, bakalan diperbuat seseorang ke lo besok. Emang lo mau, nanti kalo lo berjuang ngedapetin seseorang, perjuangan lo nggak digubris?”

“Udah pernah gue,” ceplos Riana. Sadar bahwa keceplosannya menyebabkan kerutan di kening Ayni membanyak, Riana langsung pura-pura melihat ke luar jendela.

“Kapan? Waktu di SMA lama lo, ya? Ha! Siapa, Ri?” Ayni menggunakan tangan kirinya yang tidak dituntut memegang stir untuk menarik-narik baju Riana. “Cerita, dong.”

“Nggak ada.”

“Iiih, siapa?”

“Bukan siapa-siapa.”

“Ri, salah lo ya. Bikin gue kepo, gue nggak bakalan diem sebelum lo jawab siapa orang yang tega-teganya mengabaikan perjuangan lo. Jawab dulu.” Ayni masih berusaha memaksa Riana agar memberitahunya tentang cowok yang tidak menggubris Riana.

“Nggak ada.” Riana menghela napas lelah. “Kenapa lo sangat ingin tau?”

“Karena gue ini temen lo. Gue merasa bakal kurang ajar banget kalo nggak tahu sesuatu yang menyakut lo. Oke, gue tau lo punya privasi. Tapi, berbagi lebih indah, kan?” Ayni mengulum senyum. “Okedeh, nggak usah bahas masa lalu lo yang malang karena pernah berjuang tapi nggak digubris. Sekarang, kita bahas soal Alvin yang kayaknya lagi galau berat sama lo. Lo seriusan nggak ngapa-ngapain dia?”

Riana memutar bola mata. “Lo udah nanya ini.”

“Dan, lo belum menjawabnya secara wajar,” tambah Ayni, senyum miringnya tampak. “Alvin itu mempesona menurut gue—Oke, cukup membicarakan semua yang menurut gue. Lo naksir Rian ya sampe-sampe nggak mau ngelirik Alvin?”

Riana ingin menubrukkan kepalanya ke dasboar mobil. “Gila lo.”

“Jawaban lo begitu sangat tidak wajar, Ade Cahya.” Ayni menggunakan tatapan dinginnya saat tidak suka sesuatu. “Gue nanya, lo suka Rian atau enggak?”

Menghela napas lelah untuk keberkian kalinya, Riana berucap, “Enggak.”

“Terus kenapa lo nggak mau ngehargain Alvin?”

Riana ingin dia cepat sampai rumah. Dia sudah cukup tertekan dengan segala pertanyaan dari Ayni. Dia juga tertekan karena setiap kali seseorang mengucapkan nama Revan, ingatannya selalu jatuh pada janji yang dibuatnya dengan Revan.

Atau, bisa ditambahkan, janji yang dibuatnya dan dilupakannya begitu saja.

“Kenapa nggak ngehargain?” alis Riana naik sebelah sebelum tersenyum dan menjawab pertanyaan Ayni. “Revan bukan barang.”

Ayni langsung melotot mendengar jawaban Riana. Mendengus napas keras-keras, cewek itu bergumam, “Untung gue lagi kenyang. Kalo lagi laper, udah gue makan lo.”

Isolatonist GirlWhere stories live. Discover now