Tidak ada yang tahu jika diam-diam Satria terus mencari keberadaan Indira. Kenyataan yang didengarnya dari mulut Adelia seakan belum membukakan matanya. Indira telah menghancurkan tembok besar dalam dirinya, dan memastikan dirinya untuk terus ada di dalam hatinya. Satria ingin bertemu untuk mendengar apapun yang keluar dari mulut Indira sekalipun itu adalah sebuah kebohongan.

Ia tahu ia sudah terlalu bodoh, untuk mengharap sesuatu yang sudah retak, tapi bukan dirinya yang mau melainkan hatinya yang belum juga bisa sembuh.

Namun kini melihat bocah kecil itu disamping wanita itu seolah telah menarik pemantik dalam dirinya. Ia marah semarah-marahnya.

"Siapa namamu?" tanya Satria sesaat setelah berhasil berdiri di sebelah anak itu, ia hanya melihat sekilas dari foto dan menatap langsung seperti itu membuatnya yakin seribu persen kalau dia adalah anaknya.

Alan menutup mulutnya dengan jemarinya, orang didepannya ini sangat mirip dengan foto yang ada di ponsel Ibunya, ia sempat meyakini jika foto yang dilihatnya diam-diam itu adalah Daddy-nya namun ia tak pernag berani menanyakannya takut Ibunya bersedih.

Tapi kemungkinan orang mirip banyak, jadi Alan berkata,"Alan. Alan Shain. Kata Mommy Tante Jessi yang kasih nama," papar Alan panjang lebar lalu menyengir khas anak-anak.

Tangan Satria bergerak mengelus rambut hitam lebat milik Alan. Ia seperti berkaca pada dirinya versi kecil. Dan Alan begitu fasih dengan bahasa Ibunya, "Berapa umurmu?" tanya Satria lagi yang kemudian berjongkok.

"enam, Om." Jawabnya sambil mengacungkan tangannya ke arah Satria.

Satria tersenyum getir, dengan sudut mata mengeluarkan cairan bening.

"Om nangis?" ucap Alan lalu mengusap sudut pipi Satria. Alan agak tertarik menatapnya, ia melirik ke arah yang lain namun Ibunya tak lagi berada ditempatnya, Alan sangat ingin menanyakan benarkah jika orang di depannya ini ..

"Nggak, Om cuma kelilipan debu." Satria tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari Alan. Dan terpaksa terhenti saat temannya yang lain menarik tangan Alan karena acara telah dimulai.

Saat anak kecil itu mulai ikut dalam keriuhan pesta tatapan Satria beralih ke Indira, rahangnya mengeras dengan tangan terkepal. Indira tidak hanya mengkhianatinya, tapi juga memisahkannya dengan darah dagingnya, apa jadinya jika pertemuan ini tidak pernah ada? Jika dia tidak pernah mencari keberadaan Indira, maka selamanya ia tidak akan tahu jika anaknya sudah tumbuh besar diluar sana.

Indira telah merobohkan segalanya. Membuat hatinya jatuh berkeping-keping. Tak ada lagi yang tersisa selain kemarahan. Tidak juga pemikirannya tentang kesempatan kedua, semuanya telah kandas, mungkin juga rasa cintanya.

***

Tubuh Indira bergetar, ia bergerak mundur hingga menyentuh pinggiran meja panjang. Beberapa meter dari hadapannya Ayah dan Anak saling berinteraksi layaknya orang tak saling mengenal. Dada Indira mulai sesak, pria itu, bagaimana bisa disini? Pikirnya. Wajah itu meliriknya sekilas dengan tatapan membunuh. Ia tidak bisa membayangkan lagi kemarahan apa yang akan diterimanya setelah ini.

Indira menjauh dari kerumunan. Ia berjalan tergesa dengan air mata mengalir menuju ruang belakang, dan disana bertopang pada meja pantry dengan kepala menunduk. Setelah sekian tahun ia bisa menatap lagi wajah itu, namun bukan binar kebahagiaan yang tertampil melainkan rasa kebencian. Satria pasti sangat membencinya, ia pergi begitu saja tanpa kabar, dan kini tepat seperti ucapannya beberapa tahun silam setelah menyakiti Satria begitu dalamnya ia tak akan mampu mengangkat wajahnya lagi di depan pria itu.

"Apa kabar Indira sudah lama sekali rasanya kita tidak berjumpa." Sapaan dari orang yang sangat dikenalinya itu terdengar sangat dingin. Perlahan Indira membalik badannya dan menghapus sisa air mata di wajahnya. Wajah itu menatapnya penuh amarah namun tersimpan sorot mata terluka disana.

Satria bergerak mendekat, kedua tangannya yang terkepal tersembunyi dari balik saku celananya, wajahnya juga ikut memerah karena amarah. Tubuhnya semakin dekat untuk bisa menjangkau Indira, dan ...

Plak...

Sebuah tamparan bersarang tepat di pipi kiri Indira. Panas yang menjalar bukan hanya berasal dari pipinya tapi juga seluruh tubuhnya yang mampu merasakan kemarahan Satria yang begitu kental disana.

"Ternyata kau memang benar-benar wanita yang kejam. Kau membuatku melewatkan banyak hal. Dia sudah tumbuh tinggi dan aku baru bertemu dengannya sekarang," desis Satria.

Indira merasakan kupingnya berdengung, Satria pasti sangat menyadari jika Alan adalah anaknya.

"Aku akan mengambilnya," tukas Satria dengan nada tajam yang sontak membuat Indira membelalakkan matanya.

"Tidak! Dia bukan .."

"Anakku?" sambung Satria. "Dulu kau dengan gampangnya membodohiku. Sekarang tidak akan lagi! Kau mau aku membuktikannya! Dan jika benar ia anak kandungku, aku tidak akan mengijinkanmu menyentuhnya. Sedikitpun!" geram Satria dengan nada meninggi.

Indira menggeleng kuat. "Jangan! Jangan ambil dia dariku. Hanya Alan satu-satunya yang kupunya."

Satria tersenyum mengejek. "Aku bahkan sudah tidak memiliki apapun dihidupku semenjak kau tinggalkan!! Kau sengaja datang ke hidupku hanya untuk memanfaatkanku, lalu mengkhianatiku dan pergi begitu saja. Aku yakin kau masih mengingat kata terakhirku, aku bilang aku mencintaimu dan memintamu menunggu ...

"Saat itu aku mempunyai perasaan yang sangat tulus padamu, aku bahkan berani melawan Mamaku sendiri demi dirimu.Tatapi kenyataannya sejak awal niatmu mendekatiku hanya demi membalas dendammu. Tololnya aku!! menganggap semua kata-kata manismu adalah benar. Setiap saat, sejak saat itu aku selalu bertanya, apa salahku hingga harus kau perlakukan seperti ini... Indira...!!" Bentak Satria.

Rasa bersalah semakin menusuknya. Kata-kata Satria terdengar begitu getir dan memilukan. Ia tak salah apa-apa, Indira yang membuatnya mengalami hal menyakitkan itu.

"Aku akan menyewa pengacara terbaik untuk mendapatkan hak asuh Alan," ucap tegas Satria.

Indira meraih lengan kemeja Satria, "Kamu boleh melakukan apapun padaku. Asal jangan pisahkan aku dengan Alan. Kumohon," pinta Indira dengan suara isakan.

Satria segera menepis tangan Indira seolah Indira adalah bakteri yang tak boleh hinggap ditubuhnya. "Katakan padaku apa yang membuat dirimu paling menderita?" tantang Satria. "Ah, aku tahu! Dengan melihatku kan? Melihat wajahku pasti membuatmu merasa sangat bersalah."

"..."

Satria mendekatkan wajahnya ke telinga Indira. "Kembali pulang denganku. Dan aku akan membuat hidupmu seperti dipenjara. Kau hanya akan mengikuti perintahku dan tidak boleh melanggarnya. Atau aku akan membuat Alan terpisah jauh darimu," desis Satria dengan nada ancaman, lalu menjauhkan tubuhnya dan pergi meninggalkan Indira yang masih termangu ditempatnya.

Satria benar, berdekatan lagi dengannya adalah hal yang sangat ingin dihindari oleh Indira. Perasaan bersalah akan semakin menggerogotinya. Ia sangat yakin jika sikap Satria tak akan sama lagi. Dan perang emosional sudah didepan mata, antara dirinya yang akan menyerah, atau Satria yang melemah.



-TBC-

15/10/2016 Liarasati

Sorry for typo.

Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang