"Makanlah, sebelum jam istirahatmu habis."

Violeta menatap Pak William yang sudah mulai memakan makanannya. Ada keraguan di dalam diri Violeta. Ia merasa tidak layak. Dirinya hanyalah seorang sekretaris, tapi Pak William begitu baik memperlakukannya. Bahkan hanya dengan sekali lihat, ia bisa menduga kalau makanan itu pastilah mahal.

Namun rasa ragu dalam diri Violeta lenyap saat rasa lapar di dalam perutnya lebih mendominasi. Baru kali ini ia merasakan kembali nafsu makannya yang hilang dan digantikan oleh rasa mual.

Violeta mengambil pisau dan garpu. Steak itu terlihat sangat lezat, apalagi sausnya yang kental. Violeta memasukkan potongan daging yang dibaluri saus ke dalam mulutnya. Sungguh ia terkejut dengan aroma coklat yang terasa memenuhi mulutnya. Kelembutan daging sapi itu terasa melebur dengan aroma coklat dan rasa saus yang menyisakan rasa manis yang samar dengan sedikit pahit di akhir.

"Bagaimana?" tanya Pak William.

Violeta membuka matanya saat mendengar pertanyaan yang telah mengganggu penjiwaannya.

"E-enak, Pak," ucap Violeta yang merasa malu saat menyadari ia terlalu berlebihan sampai menutup matanya tadi. Suara tawa Pak William terdengar. Bukan tawa yang mengejek, tetapi tawa kepuasan.

"Baguslah kalau kamu suka. Makanan ini adalah makanan kesukaan istri saya—ah, maksud saya, Mommy Dillian," ralat Pak William sebelum Violeta salah tanggap.

"Sausnya dari coklat, Pak?" tanya Violeta.

"Ya, Mommy Dillian pertama kali makan ini saat kami bulan madu di Amerika. Tidak ada yang istimewa saat itu. Bagi kami makanan itu sama saja dengan makanan lainnya, kecuali untuk keunikan dari saus dan bumbunya. Tapi saat Mommy Dillian hamil, ia tidak memiliki nafsu makan dan selalu mual. Hingga tiba-tiba ia ingin makan tenderloin steak with savory chocolate sauce itu. Karena saat itu dokter tidak mengizinkan ia untuk berpergian dengan pesawat, akhirnya kami mencari chef di Jakarta yang bisa membuatnya. Syukurlah, kami bertemu dengan Chef Fritzi yang merupakan pemilik dari Restoran Promdela. Karena kondisinya yang sedang hamil dan dilarang mengkonsumsi alkohol, Chef Fritzi juga mengganti red wine yang seharusnya ditambahkan pada saus dengan kaldu sapi. Sejak saat itu Mommy Dillian rutin datang ke sana untuk sekedar mengembalikan selera makannya."

Red wine? Apa jangan-jangan di makanan ini ada—

"Kamu tenang saja, saya tidak mungkin memberikan alkohol pada karyawan saya di jam kerja seperti ini, walaupun hanya sekedar bahan pelengkap di makanan," ucap Pak Willian yang seolah-olah mengetahui kekhawatiran Violeta.

Violeta menatap Pak William yang sudah kembali mengunyah potongan ikannya. Ada sesuatu yang mengganjal setelah mendengar cerita dari Pak William. Namun Violeta merasa tidak enak jika ia menanyakan hal tersebut. Bagaimana pun, Violeta yakin Pak William tidak mungkin memiliki maksud yang tidak benar.

"Kenapa tidak dimakan?" tanya Pak William.

"Ah, tidak, Pak."

Violeta kembali menyantap makanannya. Kenikmatan dari potongan daging dan saus itu membuat ia mengesampingkan segala pertanyaan dan keraguan di dalam pikirannya. Baru kali ini, ia benar-benar menikmati masakan orang lain kecuali masakan Bunda.

Pak William merasa lega di dalam hatinya, melihat perempuan di hadapannya makan dengan lahap. Ia tahu, jika dirinya tidak punya hak untuk masuk lebih dalam pada kehidupan perempuan itu. Namun, entah kenapa ia tidak bisa lepas tangan begitu saja. Mengetahui jika perempuan di hadapannya tumbuh di panti asuhan, mengetahui perjuangan perempuan itu untuk hidup dan membiayai perkuliahannya, mengetahui perempuan itu harus menerima ketidakadilan dan ejekan dari orang lain, membuat ia tidak mampu melakukannya.

VioletaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ