"Ada kok Mbak, Kebetulan besok kami mau kesana. Cuci mata Mbak selagi suami kita habis gajian."

Dan seperti oase di tengah padang pasir. Suara cempreng Mbak Dian pun membawa napas segar baginya. Seakan spanduk bertuliskan 'freedom' di depan matanya.

"Gue ikut!" pekik Kirana yang mengagetkan ketiganya.

Mbak Aisyah tersenyum ramah, "Kalau begitu sampai jumpa besok bu. Nanti kami kesini jemput Mbak."

Kirana bertepuk tangan saking girangnya. "Ok! Tosh dulu dong Mbak."

Dan Kirana pun memberi high five ala dirinya dengan ketiga wanita yang tampak kaku dengan tingkah Kirana.

***

Jingga mulai menampakkan wujudnya di angkasa luas. Bunyi sirine berbunyi nyari. Sudah hal yang biasa. Biasanya mereka akan mengadakan upacara penurunan bendera tiap sorenya. Setelahnya,  suara adzan kemudian berkumandang.

Saat ini Chandra melepas sepatu laras miliknya di teras rumah. Bibirnya sedikit tersungging mengingat tingkah aneh kawan-kawannya saat kerja tadi.

"CHANDRA!!! "

Chandra tak menghiraukan suara itu. Ia kenal siapa pemilik suara cempreng itu.

"Ih gue malah dikacangin." Kirana menyentak kakinya di lantai.

"Hello... suamiku," sapa Kirana dengan jahil sambil melambaikan tangannya di hadapan muka Chandra yang berusaha serius melepas sepatu larasnya. Seakan pekerjaan itu seperti tugas negara yang begitu penting.

"Ok fix! gue balik ke Jakarta malam ini!"

Ucapan ngawur Kirana itu sukses membuat Chandra mendongakkan kepala sambil melotot tajam ke arah Kirana.

"Apa?" Kirana membalas pelototan mata Chandra. Kedua tangannya ia tumpukan di pinggang dengan gaya menantang.

Chandra segera melepas kontak matanya dengan Kirana setelah entah darimana datangnya fikiran aneh mengenai obrolan tentang malam pertamanya dengan sahabat-sahabatnya saat di kompi.

"Lo masak yah! gue lapar!"

Kirana mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. Rambut Kirana itu pirang dengan warna gold.  Cantik. Namun Chandra tak tertarik sedikitpun.

"Bukannya yang harus masak istri yah?" komentar Chandra. Ia bahkan belum pernah mencicipi makanan atau bahkan air putih yang di sodorkan Kirana.

"Gue gak mau. Udah ada hak asasi wanita sekarang. Gue sebagai wanita gak setuju lo memerintah gue buat masak dan kerja ini itu! sekarang istri itu bisa cari duit sendiri bukan tinggal di rumah kayak babu," Argumen Kirana.

Baru kali ini Chandra merasa bahwa Kirana memang benar-benar seorang sarjana. Ia pikir sosok seperti Kirana adalah mahasiswa yang senang titip absen dan membayar orang untuk mengerjakan tugas bahkan skripsi.  Atau mungkin yang terburuk adalah Kirana adalah pelanggan ijazah palsu.
"Ok. Tapi seorang istri yang baik itu harus bisa memenuhi kebutuhan fisik, psikologis dan engh...  kebutuhan biologis suaminya," ucap Chandra. Dalam hati ia merutuki kata-kata terakhirnya.

"Tapi suami juga, harus memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan termasuk makan, finansial dan ngajakin istrinya hang out bukannya di penjara di rumah dinas sempit kek gini! " ucap Kirana

"Wait! lo ngomong apa tadi? gue dengar lo ngomong kebutuhan biologis? gue gak polos yah Chandra! atau lo udah berpikiran mau grepe-grepe gue. Astaga!"

Kirana berjalan menjauh. Saat ini ia hanya memakai hotpants dan tanktop pinknya. Ia menutupi bagian depan tubuhnya seakan ia adalah rusa yang terpojokkan oleh harimau. Jujur saja Chandra sedikit kurang fokus melihat Kirana. Dalam hati ia menyalahkan ajakan menonton blue film kedua sahabat jahanamnya itu.

"Saya cowok Ran. Tapi saya tidak maksa kamu. Saya tidak ingin bercinta jika tak saling suka," ucap Chandra menenangkan.

"Janji?" Kirana menyodorkan jari kelingkingnya dari jauh.

Chandra tersenyum dan mengaitkan kedua jari kelingkingnya. "Janji."

"Buat permulaan, saya akan memberikan kewajiban saya" Chandra mengeluarkan amplop putih dari kantong celana lorengnya.

Kirana dengan semangat langsung mendekat dan meraih amplop putih itu. "Cuman segini gaji lo?"

Chandra memutar bola matanya, "Memang apa yang kamu harapkan? saya memang hanya pengabdi negara dengan gaji seperti itu."

"Ini gak akan cukup! ini sih buat sehari doang," dengus Kirana kesal.

Jika tahu seperti ini mending dia kabur dari pernikahan dan menikah dengan salah satu teman kuliahnya atau om-om pengusaha. Gaji Chandra itu tidak akan cukup untuk membiayai kebutuhan hidup Kirana. Bahkan uang ini tidak cukup untuk perawatan tubuh Kirana.

"Ya sudah kemarikan uangnya," ucap Chandra dingin. Harga dirinya terasa terlukai.

Setidaknya uang itu berasal dari jerih payahnya. Tidak seperti para pejabat negara yang korupsi uang rakyat atau para pengusaha nakal yang menipu orang-orang. Harusnya Kirana bersyukur.

"Gak usah!" Kirana mendekap amplop itu dan berlari masuk ke dalam kamar.

"Kalau begitu kamu harus pintar ngatur duit Ran. Jangan dihabisin buat foya-foya," Ucap Chandra keras namun tak berteriak.

Ia pikir Kirana pasti dengar karena jarak kamar dan ruang tamu yang hanya beberapa langkah atau setidaknya Kirana mulai sadar diri dan mulai hidup sederhana.

Chandra & KiranaWhere stories live. Discover now