"Adel. Berumah tangga bukan hal yang mudah, komunikasi kita dari dulu hanya begini-begini saja, tidak ada perkembangan, Kakak cuma tidak mau memaksa."

"Karena kakak tidak pernah terbuka. Adel siap mendengar semua cerita Kakak. Adel siap menjadi istri yang baik untuk Kakak."

"Jangan berpikir terlalu jauh. Tadi bilang udah ngantuk. Kakak juga mau tidur. Kakak matikan ya telponnya."

Terdengar helaan napas Adel dari seberang, jujur Satria tidak tega jika harus menyakiti Adel namun perasaan tidak bisa diatur seperti yang dimaui oleh logikanya. Tetapi mengenai perasaannya terhadap Indira ia belum bisa memastikannya, kata batinnya mengatakan kalau Indira mempermainkannya sedikit banyak ia bisa merasakannya. Kesalnya. Meskipun begitu ia seakan tak memperdulikannya Satria tetap melangkah mendekat.

***

Pukul enam sore Indira sudah sampai ditempat yang dituju, sebuah villa tidak bertingkat yang cukup luas dengan desain koloni, memiliki empat kamar dan furniture yang hampir rata terbuat dari bahan kayu, didalamnya juga terdapat perapian yang hanya sesekali digunakan, dikarenakan sudah ada AC yang mengatur panas suhu di dalam ruangan, dan penjaga villa yang kesulitan untuk menyediakan kayu bakar.

Terletak di halaman belakang villa milik keluarganya. Indira menghirup udara segar dari atas ketinggian villa yang menampakkan pepohonan hijau juga area persawahan disepanjang mata memandang, terasa begitu jauh di bawah dari tempat ia duduk, disebuah dipan kayu dengan atap yang terbuat dari daun rumbia, orang kota menyebutnya Gazebo, orang desa menyebutnya gubuk. Apapun namanya tempat itu terasa begitu nyaman.

Dua jam telah berlalu. Matahari telah tenggelam dan langit malam mulai menghiasi, penampakan indah sudah tertutupi dengan gelapnya malam.

"Non. Ada tamu."

Indira menoleh, "Siapa?"

"Namanya Satria non."

Senyum langsung tersungging di wajah Indira. Kemarin Satria tak mengatakan akan setuju, namun tepat seperti dugaannya ia ada disini sekarang.

"Suruh dia masuk Pak, bilang aja saya disini."

"Iya non."

Beberapa detik kemudian Satria menghampiri dengan raut wajah lelahnya.

"Aku kira kamu tidak akan datang," sapa Indira.

"..."

"Sayang hari sudah gelap kalau tidak kamu akan melihat betapa indahnya pemandangan dari atas sini," ucap Indira kembali.

"..."

"Apa kamu kesini hanya untuk diam saja?"

"Bintangnya nampak lebih terang disini." Sambung cepat Satria.

Indira tertawa pelan.

"Jangan tertawa." Seketika itu juga Indira mengatupkan bibirnya. "Jangan membuatku semakin bingung. Kamu menyuruhku datang ke atap, aku mengikutinya, dan sekarang ... aku sudah akan sampai ke pagar rumahku tapi memutar kembali mobilku apa itu masuk akal?"

Indira tetap tenang tak terkejut dengan suara Satria yang meninggi. "Aku suka kamu disini. Disebelahku seperti ini."

Garis keras menghiasi wajah Satria, sorot matanya menatap Indira begitu dalam. "Jangan membohongiku. Kamu selalu mengatakan menyukaiku tapi pancaran matamu mengatakan sebaliknya. Sialnya aku tidak bisa menebak apa itu."

"Itu karena kamu memikirkannya. Cukup rasakan dan biarkan mengalir. Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan ... denganmu." Indira merebahkan tubuhnya dengan kaki yang masih menjuntai ke atas tanan, menghadap langit yang secara kebetulan sangat indah malam itu.

Revenge Where stories live. Discover now