Setelah pesawat stabil Indira mulai melonggarkan cengkramannya. Satria masih menatapnya intens. "Sorry, dari pada naik pesawat aku lebih milih kendaraan lain."

"Aku tidak tanya." Sahut Satria lalu menghempaskan tangan Indira dari lengannya.

"Kamu terlihat sangat suka membaca. Apa itu dari kecil?" Indira malah menanyakan hal lainnya.

"..."

"Waktu kecil aku lebih suka bermain dari pada membaca."

Satria menutup bukunya kesal, "bisakah kamu menutup rapat bibirmu dan duduk dengan tenang."

"Aku menyukaimu." Indira menatapnya serius membuat Satria membungkam. "Aku menyukaimu itu sebabnya aku menganggumu. Untuk menarik perhatianmu."

"Aku tidak suka wanita yang lebih tua dariku. Dan aku sudah punya kekasih."

Tepat seperti dugaan Indira, Satria adalah pria yang lugas dan tidak bertele-tele. Ia berkata singkat namun tepat sasaran.

Indira tersenyum tipis. "Kalau begitu kamu sudah mematahkan hatiku. Tapi bagaimana jika aku tidak mau menyerah."

"Dan kamu akan mendekatiku seperti wanita penggoda memuakkan." Sambung Satria sinis.

Indira menyandarkan punggungnya nyaman. "Aku tidak akan menggodamu, aku akan memulainya dari pertemanan, bagaimana?"

"Aku tetap menganggapmu sebagai bawahanku."

Indira terkekeh geli, sementara muka Satria sudah memerah, "Indira Febriana." Indira mengulurkan tangannya seolah mereka baru pertama kali bertemu dan Satria lebih memilih mengabaikannya.

"Kamu tidak mau menerima perkenalanku? Aku hanya meminta berteman tidak lebih." Satria meliriknya tajam.

"Baiklah. Mungkin aku harus berusaha lagi di lain waktu." Indira memejam matanya dan menyila tangannya. Menakhlukkan seorang Satria bukan hal mudah, ia paham sekali tentang hal itu, apalagi ia telah berterus terang memiliki kekasih. Tapi jangan kira ia akan menyerah.

Satria tak mengalihkan pandangannya dari wajah Indira, baru kali ini ia bertemu dengan wanita seterus terang itu. Dan dengan peralihan keadaan yang secepat seperti ini.

***

Malam tiba, semua tetamu berkumpul di ballroom hotel menikmati jamuan setelah sempat melihat acara ceremony peresmian hotel dan beberapa kata sambutan.

Indira memakai gaun hitam elegan tanpa lengan dengan panjang yang menjuntai hingga mata kaki. Matanya tak lepas dari pria paruh baya, Ayah dari orang yang diincarnya, sedang bercengkrama dengan Satria dan Ayahnya. Ia sesekali melihatnya dalam perayaan resmi seperti ini tetapi kenapa ia tidak pernah menyadari kedekatan lain yang mungkin mereka miliki.

Indira mengambil mocktail dari nampan pelayan dan meminumnya dengan sekali teguk, ia merasakan tubuhnya membara karena dendam dan kebencian yang menyelimuti, orang-orang itu hidup nyaman sementara ia tersiksa setiap harinya karena terus mencari jawaban dari kematian Kakaknya.

Tak tahan Indira keluar dari ruangan menuju kamar hotel.

Ia tidak sendiri, ada petinggi wanita lain yang juga sekamar dengannya, namun pastinya sekarang sedang menikmati pesta, Indira melepas semua atribut yang menempel di tubuhnya dan masuk ke dalam kamar mandi, berendam di air hangat akan mengembalikan suasana kemelut dihatinya.

Satu jam lebih berlalu. Indira membuka kembali matanya yang terpejam dan bangkit dari bath up.

***

Suasana larut yang indah, karena banyak bintang yang sulit di jumpai di kota. Satria menggenggem kaleng minuman soda dan menyesapnya sedikit. Pikirannya kembali melayang pada wanita itu, wanita yang dengan gampang menyatakan perasaannya. Dan tadi ketika acara ia sesekali melirik dan tetap mendapati wanita itu yang memandang ke arahnya.

"Wanita gila!" gumamnya pelan.

"Apa?"

Satria tersedak minumannya sendiri saat Indira berjalan ke arahnya. Keningnya berkerut dalam bahkan wanita itu mengikutinya.

"Aku tidak mengikutimu. Aku sedang berjalan-jalan mencari udara segar dan kebetulan menemukanmu di tepi pantai seperti ini."

Indira seperti sudah bisa membaca pikirannya, "dan kamu kira aku percaya?"

Indira menggeleng. "Kamu pasti tidak percaya. Kalau begitu aku ganti aku memang mengikutimu, bagaimana? Kamu senang?"

Satria mendengus, wanita ini sangat pandai berbicara sepertinya. "Kenapa kamu bilang menyukaiku? Karena harta orang tuaku?"

Indira tersenyum simpul, "semua wanita single bahkan yang tak single lagi di kantor menyukaimu. Semuanya tertarik dengan wajah tampanmu dan kekayaan orang tuamu adalah bonusnya."

"Kamu tidak menyukaiku. Aku bisa lihat dari matamu saat beberapa kali kita berbicara, dan sekarang kamu melakukan kebalikan, apa sebenarnya motifmu?"

Senyum Indira berubah menjadi kegugupan namun ia berusaha untuk setenang mungkin, ia tak menyangka jika Satria menaruh perhatian seperti itu. "Aku tidak menyangka itu akan berhasil. Awalnya aku berpikir untuk menjadi antimainstream dan mengusikmu dengan ketidaksukaanku. Dan aku mulai lelah jadi aku putuskan untuk memberitahumu langsung isi hatiku."

Giliran Satria yang termangu ditempatnya. Benarkah Indira telah mampu mengusiknya dari awal pertemuan?

"Aku sudah punya kekasih. Dan aku tidak akan menyukaimu." Satria menyuarakan pertahanannya.

"Benarkah?" Indira berjalan mendekat, sangat dekat hingga Satria memilih untuk membanting kalengnya ke pasir mengusir sesuatu yang tak beres didirinya.

"Kamu tidak boleh membuang sampah sembarangan." Indira membungkuk memungut kaleng minuman Satria.

"Aku dan mereka sama-sama menyukaimu. Tapi bedanya aku memiliki motivasi lebih untuk memilikimu." Indira berbisik bergerak menjinjit untuk menggapai pipi Satria, "selamat malam." Ucapnya sebelum bibirnya bergerak untuk mengecup pipi Satria.

Satria menoleh tiba-tiba dan mendapati bibirnya mendarat mulus di bibir Indira. Terkejut, namun Indira tak mengubah posisinya, ia gugup namun dengan lebih berani Indira memejam matanya memperdalam kecupan bibirnya. Tak bergerak dan hanya saling menautkan. Lama. Hingga Indira rasa percuma karena ia pun tak berani memulainya kembali. Indira melepas pangutannya. Tumitnya hampir menyentuh tanah, namun sepersekian detik Satria menahan pinggangnya, memeluknya posesif dengan kepala memiring dan kembali meraih bibir Indira.

Kaleng yang semula masih dipegang Indira jatuh ke pasir, tangannya mengalung pada leher Satria. Bibir Satria menuntut melumatnya dengan hasrat menggebu, yang bisa dilakukan Indira adalah menerimanya dan ikut menyesuaikan tempo permainan Satria.

Tanpa berdua sadari bahwa itu adalah pengalaman pertama bagi mereka. Indira menghabiskan waktu dengan dendam yang menyesakkan hingga lupa caranya untuk berkencan dengan lawan jenis, hanya Panji seorang sahabat lawan jenis yang dipunyainya. Sedang Satria, terlahir dari keluarga terpandang, menjunjung tinggi etika dan prilaku berbudi, ia hanya pernah mengecup kening Adelia dan itupun dilakukan ketika Adelia berulang tahun.

Seolah radar di benak Satria berdering keras. Satria menarik diri, dan melepaskan tubuh Indira dari pelukannya. Ia sungguh tak mengerti dengan dirinya sendiri, mengusap wajahnya kasar dan berlari meninggalkan Indira.

Indira berdecak sinis memandang kepergian Satria dan mengusap bibirnya dengan punggung tangannya. "Ini terlalu cepat untuk jatuh ke pelukanku Satria," gumamnya mengejek.

-TBC-

14/09/2016 Liarasati

Sorry for typo.

Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang