Epilog

4.3K 236 80
                                    



Seoul Arabilla POV

Wajahku penuh dengan peluh. Mereka bilang aku akan baik-baik saja, tapi aku tak bisa berhenti menangis dan menjerit saat kontraksi ini benar-benar membuat perutku kesakitan. Aku tidak tahu harus tenang bagaimana, tapi rasa sakit ini akan selalu mengingatkanku bahwa aku adalah seorang ibu yang tengah berjuang.

"Seoul." Suara yang aku tunggu sejak tadi. Sejenak mataku beralih padanya. Ar akhirnya kau datang juga.

Aku pikir ini akan membuatku kehilangan duniaku. Aku takut setelah ini tak ada lagi kesempatan untukku hidup. Aku takut kalau ini akan segera berakhir dan kebahagiaanku seolah-olah sudah berhenti di tempat ini.

Kupandangi Ar yang menciumi punggung tanganku. Tatapannya seperti menyesal, tapi aku tahu. Aku tahu dia terlalu sibuk. Perjuangan Ar yang menjadi suami muda sama beratnya dengan melahirkan seorang bayi. Meski orang bilang di luar sana, bisa saja tak sepadan karena seorang ibu harus melerakan nyawanya jika perlu. Akan tetapi, Ar yang selalu banting tulang dan membagi waktunya untuk belajar, membuatku bahagia karena dia ayah yang bertanggung jawab.

"Maaf aku telat. Maaf..." Dia menciumi keningku. Kemudian beralih pada mataku dan menggenggam tanganku dengan erat sekali.

Aku menggelengkan kepalaku sejenak dan berusaha kembali dengan sekuat tenagaku saat instruksi dari dokter menyuruhku menarik napas.

"Kepalanya sudah terlihat," ungkap mereka.

Ar menatapku sendu. Dia menyapu keningku dengan telapak tangannya.

"Kau pasti kuat. Kau sangat kuat. Kau wanitaku yang sangat kuat. Ayo Sayang..., ada aku di sini." Dia menyemangatiku membuatku menitihkan air mataku yang sedari tadi sudah kutahan.

"Tinggal setengah lagi. Ayo tolong diberi semangat kembali. Ibu juga harus tarik napas yang kuat. Jangan panik. Badannya sudah terlihat," ungkap mereka membuatku semakin semangat. Kira-kira anakku perempuan atau laki- laki.

Aku memang tak pernah memeriksanya. Aku bukannya tak tertarik, tapi aku ingin memberi surprise pada Ar. Aku ingin membuat Ar bahagia saat pertam kali dia melihat bayinya.

"Iya Bu sebentar lagi. Kelaminnya belum terlihat."

"Jangan terburu-buru. Kau bisa menarik napas perlahan," ungkap Ar padaku. Dia seperti tak mau mengubah apapun yang ku punya. Aku pun mencengkram lengan Ar dengan sangat keras sekali. Mungkin kukuku menggores kulitnya, tapi Ar terlihat tak keberatan saat aku melukainya.

Untuk beberapa menit aku terus berusaha sekuat tenagaku. Hingga saat sesuatu yang mengganjal itu lepas begitu saja dibarengi dengan tangisan anak bayi yang khas sekali.

"Wahh selamat ya anak kalian perempuan." Napasku masih tak beraturan, tapi aku bisa melihat jelas bahwa Ar tengah berjalan ke arah suster yang menggendong anak kami dengan berbalur banyak darah.

Ya Allah, terima kasih karena kau memberi sebuah kebahagiaan yang tiada henti untuk hidupku. Sekarang hidupku semakin terasa sempurna saja dan...,

"Aaaaaa..." Entah kenapa perutku mulas kembali. Semua orang yang ada di ruanganku pun teralihkan matanya ke arahku.

Apa mungkin...

***

Mataku terasa berat sekali. Saat aku mendengar suara yang sedikit asing di telingaku. Aku pun segera membuka mataku.

"Sutttt..., jangan nangis ya. Nenek lagi buat susunya." Pemandangan yang indah. Sangat indah hingga aku rasa ini seperti mimpi.

"Ar...," suaraku parau, tapi masih dapat stabil.

MY HEARTBEAT COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang