Chapter 9: Is This My Fault

5.7K 477 38
                                    

Seoul Arabillah POV 

Aku pandangi Ar yang sedang membaca buku paket Matematika. Minggu depan kami akan menghadapi UAS dan dia sedang mencoba belajar tanpaku.

Memang sejak kemarin dia tak bicara lagi padaku setelah dia membentakku. Aku tahu dia membenciku. Dia tak memperbolehkanku bertemu dengan Vanilla, karena itu dia tetap ada di sini. Berdiam diri di sini tak mengangkat suara apapun layaknya memantau gerak gerikku agar tak ke kamar Vanilla.

Jika aku meminta bantuan kepadanya. Dia pasti akan memanggil Cleo agar membantuku. Seakan-akan tak mau menyentuhku sedikitpun. Dia benar-benar membenciku. Begitulah dipikiranku sekarang.

"Permisi..." Aku sedikit menegakkan kepalaku. Seorang masuk dengan sebuah makanan di nampannya. Lalu disusul seorang suster di belakangnya.

"Ini ya jangan lupa minum obatnya. Tolong untuk tidak banyak bergerak juga," kata seorang suster dan aku mengangguk pelan.

Sejenak dia melirik ke arah Ar yang duduk di atas sofa dengan mata yang berfokus pada bukunya. "Mas ini pacarnya bisa dibantu," katanya. Aku mengulum senyumku. Orang-orang berpikir kami berpacaran, itu sedikit membuatku senang.

"Oh ya makasih," ungkap Ar dengan sopan. Huh! Padahal dia mengabaikanku sejak tadi, tapi pada orang lain, dia bisa baik.

"Kalau gitu, saya tinggal dulu," kata orang itu pada Ar.

"Sebentar," Ar menghentikan langkah ahli gizi itu.

"Ya ada apa?"

"Oh itu. Aku bukan pacarnya. Kami hanya bersahabatan sejak kecil."

"O-oh begitu..."

Hah senang? Aku rasa setelah mendengar kata-kata itu bukan lagi kata senang yang patut aku simpan di hatiku. Seharusnya aku sadar selabil apa Ar. Ya dia memang sahabatku sejak kecil, tapi bukankah status kami sudah berubah?

Kuhela napas beratku. Melihat Ar yang hanya melemparkan pandangan tak peduli padaku membuatku tak nyaman jika dia berada di sini. Setelah kepergian ahli gizi itu. Ar tak menghampiriku. Dia sibuk kembali dengan bukunya membuatku merasa semakin terasingkan di ruangan ini. Padahal sedari tadi aku susah menahan untuk membuang air kecil.

"Ar," kupanggil dirinya yang sedang mencoret-coret sesuatu di atas buku putihnya.

Dia melirik ke arahku dan meletakkan pulpennya. "Kau bisa kan makan sendiri," katanya dan aku mengangguk cepat. Dia kembali fokus dengan buku-bukunya membuatku kecewa. Dia tak memberiku berbicara sedikitpun.

"Ar..." Tapi aku tak mungkin buang air kecil di atas bangkarku kan.

"Bukankah kau sudah bilang bisa makan sen—"

"Bukan itu. Aku ingin ke kamar mandi," kataku padanya, tapi dia menyandarkan bahunya ke sofa dan menghela napas panjang seakan-akan aku membebaninya dan sangat merepotkannya.

Dia mengeluarkan ponselnya dan menekan sesuatu di sana seperti mencari kontak nama seseorang. Tak lama dia mendekatkan HP-nya ke telinga.

"Halo, di mana?"

Pasti Cleo.

"Iya, dia mau ke kamar mandi." Semarah itukah Ar padaku. Dia benar- benar tak mau menyentuhku.

"Yaelah, yaudah!" Ar mematikannya dengan kasar dan menaruh HPnya di atas meja.

"Tungguin Cleo lagi masih di jalan," katanya.

"Ar aku udah enggak kuat," kataku. Dia menghela napasnya lagi seperti membuang rasa kesalnya padaku.

Dia jalan ke arahku dan mengangkat tubuhku, akhirnya. Aku pun membuat lingkaran di bagian lehernya dan menatapnya dari dekat. Aku rindu sifat lembutnya yang kemarin. Dia benar-benar berubah drastis saat Cleo bilang Vanilla koma. Mungkin dia benar-benar membenciku dan beranggapan bahwa semuanya salahku. Meski ya..., memang itu salahku.

MY HEARTBEAT COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang