4. (Not) a Free Card

1.4K 115 4
                                    

Eann merasa, nyawanya berkurang sedikit demi sedikit sejak menginjakkan kaki di kampus. Semua mata menatapnya dengan tatapan aneh. Iri, penasaran, benci. Entahlah, yang jelas aura di sekeliling Eann terasa mencekam.

"Mereka kenapa, sih?" gumamnya.

Dia belum punya teman sama sekali. Pertama, karena memang dia bukan cewek yang pandai mencari teman saat sekolah dulu. Karena baginya asal ada Fanisha dan Navin sudah cukup. Tapi sekarang mereka beda tingkat. Dan juga Eann baru saja kembali dari Solo. Jadi...

"Dug!" Eann menabrak punggung seseorang karena sibuk melamun.

"Sorry, aku..."

"Arveann?" ucap orang yang ia tabrak.

Mata Eann membulat lucu melihatnya. "Astaga! Ini buruk...," keluhnya. Tanpa menjawab sapaan orang itu, Eann berlalu meninggalkannya.

"Sombong sekali. Mentang mentang dia dapat kartu bebas dari kak Voy."

"Eh? Dari kakak senior yang keren itu?"

"Kalian bilang apa tadi?" tanya cowok yang Eann tabrak tadi.

"Kamu nggak tahu ya, Ren? Dia dapat kartu bebas hukuman hari ini. Tapi kemarin dia dikerjai habis-habisan."

"Besok pasti juga banyak senior yang ngerjain dia."

"Kasihan, ya! Kartu bebas apanya, itu cuman tipuan."

"Kak Voy cakep-cakep kejam!"

Ren berlari kecil mengejar Eann. Mengabaikan panggilan cewek-cewek yang bersamanya tadi. Dia sudah mendengar dari Carissa tentang kartu bebas itu. Sebenarnya kartu itu memang benar-benar untuk membebaskan seseorang dari hukuman. Tapi ada beberapa senior yang justru memanfaatkannya untuk hal lain. Mengerjai penerima kartu itu sebelum atau sesudah hari bebasnya, tiap kali ada sedikit saja kesalahan yang dia perbuat.

Mengingat betapa pedasnya ucapan Eann selama ini, Ren yakin, dia akan punya banyak musuh. Apalagi yang memberinya kartu bebas itu adalah Voy. Ren bukan tidak tahu, seberapa banyak penggemar pemuda itu. Belum termasuk Rissa dan Mayang.

Eann akan habis.

"Hei, Vean! Kenapa kamu ada di sini?"

Eann menoleh saat tiba-tiba Ren telah berada di sampingnya.

"Kamu nggak liat baju aku?" jawab Eann ketus.

Ren mendengus. "Maksudku, kamu nggak bilang akan masuk kampus ini. Apa kamu tahu aku mencarimu ke Solo?"

"Mencariku? Untuk apa? Bukannya kamu harusnya ke sana untuk nengokin kakak iparku?"

Ren nyengir mendengarnya. "Maksudku..., kamu kan biasanya ada di sana. Tapi..."

"Rumahku kan di sini, Ren. Nggak mungkin kan selamanya aku di Solo. Apalagi kak Dika udah ketemu. Dan udah mulai pulih juga."

Ren tak menyahut. Hanya tersenyum kecil, yang akhirnya mulai merekah dan menjadi tawa riang.

"Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, Ren?" Eann menyentuh dahi pemuda yang setahun lebih muda darinya itu.

Ren menarik tangan Eann di dahinya. "Untuk pertama kalinya kamu menyebut namaku. Biasanya kan kamu manggil aku 'bocah'. Padahal kita cuma terpaut 1 tahun."

Eann menarik tangannya yang Ren genggam dan menggunakannya untuk menjitak kepala cowok itu. Lalu meninggalkannya begitu saja.

"Aow! Hei, Arveann! Jadi intinya kamu udah nerima aku kan?!" Teriak Ren yang membuat semua mata memperhatikan mereka.

Langkah Eann terhenti. Lagi-lagi merasakan aura tak bersahabat di sekelilingnya. Sejak kemarin sebenarnya dia sudah berusaha menyembunyikan diri dari Ren. Sejak melihatnya naik ke podium sebagai mahasiswa baru dengan nilai tes masuk terbaik. Dan Eann baru tau kalau anak itu ternyata punya banyak penggemar.

MY EX-BOY'S FRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang