Part 4

14.1K 1.3K 162
                                    

Bel istirahat berbunyi. Aku bergegas keluar dari kelas 10-7 untuk segera sampai ke kelasku. Sudah dua jam tadi kami bermain dengan para murid baru aku sih have fun karena mereka asyik dan unyu-unyu. Cewek-cewek di kelas tersebut sering kupergoki menatap dengan tatapan tersihir pada Gibran dan Alva, partner kerjaku. Khususnya sih Gibran.

Saat aku keliling memeriksa barang bawaan mereka aku ditanyain terus.

"Kak, emang Kak Gibran kembaran Kak Lalisa ya? Kok bisa beda Kak Lalisa udah kelas 12?"

Itu cowok kagak sepintar kembarannya, dik.

"Kak Alva kok diem banget sih? Padahal manis banget kalo senyum."

Berani bayar berapa nyuruh dia senyum?

"Kak minta username Instagram Kak Gibran sama Kak Alva dong?"

Adik-adik kurang ajar!! Nggak ada basa-basinya, harusnya minta usernameku dulu kek.

Aku ngos-ngosan baru memapaki setengah bagian tangga, aku masih tidak rela sekarang harus olahraga tiap pagi untuk bisa sampai ke kelas. Belum lagi kalau istirahat nanti aku tidak bisa langsung lari ke kantin. Di setiap lantai tersedia warung makanan ringan agar mempermudah siswa jika ada keperluan tidak perlu susah payah turun, tetapi tidak selengkap di kantin lantai bawah.

Tahun besok tangganya harus naik lagi semakin tinggi dan ini merepotkan. Kenapa sih kakak kelas yang kebagian di lantai atas?

Setiba di lantai dua aku mengedarkan pandangan, kelasku jauh dari hiruk pikuk murid karena letaknya di pojokan dekat toilet dan gudang penyimpanan kursi. Hidupku kok semakin berat saja. 

Sumpah ini miris sekali.

Kelasku rada redup karena bagian depannya terhalang oleh bangunan deretan ruangan semacam lab dan perpustakaan. Sekolahku memang bentuknya letter U, kerennya setiap lantai ada lab, perpustakaan dan toilet sendiri.

Aku masuk ke dalam kelas mengedarkan pandangan ke seluruh pelosok kelas. beneran absurd. Di bagian belakang anak cowok asyik main kuda reot. Udah tau reot kenapa masih dimainin? 

Hey, nggak inget umur apa, sudah tua begitu!

Oke permainan tidak ada batasnya. Lo sendiri masih suka mainan cacing tanah, Sas!

Aku menghela napas sambil berkacak pinggang. Pandanganku bersibobok dengan seorang cowok yang duduk di pojokan membaca novel berjudul Pacarku Psikopat. Ih, ngeri. Namanya Brian, dia sok sibuk kembali membaca novelnya.

Dua meja dekat koridor diisi oleh tas-tas hitam yang aku yakini milik cowok, sementara enam sisanya yang di bagian depan berisi 5 tas cewek. Oke, jadi yang tas hanya berisi satu sebelahnya akan menjadi kursiku. 

Sial, aku duduk di depan.

"Pada ke mana ini?" tanyaku entah kepada siapa.

Tidak ada jawaban. Dasar berandalan. Mereka masih asyik bermain, dan aku melihat Brian melirik ke sisi bawah kanannya. Aku mengekori pandangan itu, aku mendapati beberapa anak cowok asyik bermain kartu di lantai dengan muka penuh corengan bedak.

"WOI!" Teriakan nyaringku diiringi suara gebrakan keras karena aku baru saja menggebrak meja. 

Hening.

Cowok-cowok itu menatapku bingung seperti baru menyadari ada aku di depan kelas. 

"Ketua kelas siapa?" tanyaku pada Okto –kami satu kelas di 10-9.

Dia langsung menyenggol cowok lainnya dengan lengan, "eh ketua kelas tadi siapa dah?"

Aku mendesis sambil memijat keningku. Mereka saling menyenggol dan main pelototan sambil berbisik.

SashiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang