Tangan Cinta masuk ke dalam tas,hendak mengambil sesuatu yang ada di sana. “Euumm ...anu—”

“Cinta!” Teriakan seseorang mencegah aksinya, Cinta menoleh. Langit, dengan setengah berlari menghampirinya.

“Dari tadi dicariin juga,” kata Langit setelah terengah. “Untung gue inget mas Asa bilang hari ini kumpulan anak LA.”

Dahi Cinta mengernyit. “Ya?”

“Gue mau hubungin lo tapi lupa nggak punya nomernya.” Ia tertawa kecil, lalu mengangsurkan ponselya di depan Cinta. “Minta nomer!”

Cinta menerima ponsel itu dan mengetik sesuatu di sana. “Kamu ke sini cuma buat ini?”

“Ya enggak! Kan kebetulan gue ada perkumpulan dengan anak musik juga.”

Setelah selesai menyimpan nomernya di ponsel Langit, Cinta mengangsurkannya kembali.

“Oh iya!” Langit memegang pundak Cinta, menciptakan desiran aneh di tubuh gadis itu, tubuhnya memaku, jantungnya berhenti sedetik sampai akhirnya berdetak dengan tempo yang lebih cepat, dan sialnya Langit tak menyadari hal itu dan terus menepuk-nepuk pundak Cinta. “Sorry, kemarin nggak ikut rapat  kelompok, tapi lo tetep masukin nama gue di tugas makalah. Thanks banget ya, Cin.”

“Oh itu, i-ya, nggak pa-pa,” kata Cinta tergagap, tertunduk, menyembunyikan rona merah yang kembali nampak di pipinya.

“Wanita berhijab seharusnya menjaga kehormatan dengan tidak sembarang mau disentuh oleh pria yang bukan mahramnya.” Pernyataan itu tiba-tiba muncul di tengah percakapan Langit dan Cinta. Birulah sang pemilik suara, berkata santai tanpa memindahkan perhatian dari layar laptop.

Langit yang menyadari Biru sedang menyindir mereka, segera mengangkat tangannya dari pundak Cinta.

Sedangkan, Cinta, entah kenapa hatinya mencelos sakit. Sudah beberapa kali Biru menasehatinya tentang agama seperti itu, dan di depan banyak orang pula. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Niatnya semula sudah menguap. Tanpa sepatah kata pun ia beranjak dari sana.

***

 Materi kepenulisan  dan tanya jawab sudah selesai beberapa saat yang lalu, akhirnya tiba saatnya untuk pengumpulan cerpen dan review.

Saat tiba, giliran Cinta, gadis itu  berjalan malas ke arah Biru. Aura lelaki itu begitu mengintimidasi. Cinta menarik napas panjang, mencari banyak pasokan oksigen untuk otaknya kembali tenang.

Setelah menyodorkan kertas yang distaples menjadi satu ke hadapan Biru. Lelaki itu melihat sekilas, lalu tanpa beban berkata, “Tidak pantas. Buat lagi!”

Cinta mendelik kesal. Biru bahkan belum membaca cerpen yang gadis itu buat berhari-hari, dan hanya dengan meliriknya saja, ia sudah bilang itu tidak pantas? Tak bisakah ia menghargai kerja keras seseorang?

Gadis itu mengatur ritme napasnya, menenangkan diri. "Euumm... tapi Mas Biru kan belom bac—"

"Dalam satu kalimat saja kamu sudah melakukan banyak kesalahan," ucap Biru dingin, memotong kalimat yang akan keluar dari bibir Cinta.

Buku-buku jari Cinta memutih karena terlalu kuat menggenggam ujung bajunya, ia menggigit bibir bawah kencang-kencang. Rasanya menahan emosi membuat dada gadis itu sesak. Andai saja ia mudah meluapkan emosi. Sayangnya tidak. Bahkan untuk marah pun rasanya sangat sulit.

“Jika kamu tidak sanggup, kamu bisa segera keluar dari sini. Sepertinya kamu tidak berbakat dan juga tidak mau berjuang lebih.”

Mata Cinta memanas, memerah, marah, kepalanya seperti siap mengeluarkan asap.

Enak sekali laki-laki menge-judge ia begitu saja?

Next!” teriak lelaki itu kencang.

“Setidaknya kasih tahu, letak kesalahannya di mana? Bukankah seharusnya seorang ketua yang baik adalah membangun semangat anggotanya? Bukan malah menjatuhkan.” Cinta mengeluarkan apa yang ada di benaknya. “Setidaknya kayak gitu to kalau niat ngajarin,” lanjut gadis itu lagi.

“Siapa yang nyanggupin buat ngajarin kamu?” Sebelah alis Biru naik dan Cinta kembali menatapnya dengan wajah memerah.

“Ru?” Salah satu senior di sana, Fabian, menepuk pundak lelaki itu pelan.

“Ah, jadi kamu memilih untuk diberi saran?” Ujung bibir lelaki itu tertarik miring, kemudian ia mengambil cerpen buatan Cinta, mencoret beberapa kalimat di sana dengan pulpen merah. “Kata baku yang salah, penempatan kalimat yang tidak tepat, kalimat tidak efektif. Dan ah!” Kali ini lelaki itu melingkari besar sebuah paragraf. “Bagaimana mungkin POV 1 bisa membaca pikiran orang lain. Dia cenayang?” Nada bicaranya begitu meremehkan.

Gigi Cinta bergemeretak, rahangnya mengeras.

“Setidaknya kalau mau serius menulis, pelajari dulu dasarnya. Kita di sini nggak akan nyuapin kamu dengan ilmu seperti bocah bayi. Ada google, ada Wikipedia, ada kamus. Jangan bilang kamu nol pemahaman, bilang saja malas!”

Cinta bersumpah, dia akan membenci laki-laki itu setengah mati, seumur hidupnya.

***

“Kenapa kamu kejam banget sama anak itu sih, Ru?” Fabian menegur Biru saat mereka sudah selesai melaksanakan pertemuan. “Biasanya kamu nggak kayak gini, lho. Sekejam-kejamnya kamu, kamu nggak pernah matahin semangat junior yang baru saja belajar.”

Biru menghela napas. Terlihat sekali ia ingin mengeluarkan beban yang bersarang di dadanya. Lelaki itu menatap Cinta di parkiran motor, gadis itu sudah bersiap pulang, dari wajahnya terlihat sekali bahwa gadis itu berada dalam mood yang sangat buruk.

Bukannya Biru tidak sadar kalau kata-katanya sangat menyakiti Cinta, tapi tak ada pilihan lain. Dia tidak ingin Cinta berada di sekitarnya. Tidak untuk sekarang.

“Kenapa?” tanya Fabian lagi.

Biru hanya mengedikkan bahu sekilas.

“Mana tadi cerpen anak-anak?”

Fabian berdecak, lelaki itu mengangsurkan tumpukan kertas ke tangan Biru. “Lain kali jangan sangkut-pautin masalah pribadi dengan komunitas.”

Dan Biru hanya bergumam membalasnya. Ia membalik-balik kertas-kertas yang ada di tangannya, menemukan sebuah lembaran yang mendapatkan tanda merah sangat banyak di sana.

Maaf.

~bersambung

Naaahhh sudah beberapa kali ada sudut pandang Biru di sini.

Menurut kalian gimana cerita ini setelah direvisi? Makin seru? Atau?

Kalau penasaran part selanjutnya atau mau baca sampai ending secepatnya, bisa langsung meluncur ke karyakarsa ya. 😊

Birunya CintaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt