Nadia memang benar, Cinta adalah tipe perempuan yang mempunyai keyakinan untuk menjaga hati sampai halal mengakhiri. Baginya, perkara cinta itu bukan soal main-main, asal dapat yang pas lalu asal main pacar-pacaran. Perempuan yang baik itu bisa menjaga dirinya, menghargai apa yang diberikan Allah padanya.

"Alim apaan, sih? Yang namanya cowok alim itu seharusnya selalu menjaga hati orang lain, bukan suka ngomong kasar kayak gitu."

"Tapi yang diomongin bener, kan?" Nadia berucap lagi. "Cewek sama cowok kan katanya nggak boleh berduaan, nanti menimbulkan fitnah," katanya diselingi kerlingan nakal.

Hembusan napas jengah keluar dari hidung Cinta. "Iya, tapi kan ngomongnya bisa baik-baik, aku nggak suka aja caranya yang kayak gitu. Menasehati orang itu ada adabnya sendiri."

Nadia mengangguk paham, tapi sedetik kemudian wajahnya berubah serius. "Eh, tapi aku mau nanya deh sama kamu."

Sebelah alis Cinta menanjak naik. "Apa?"

"Emang kalau udah berkerudung gitu beban moralnya besar ya, Cin?"

Cinta tak langsung menjawab, ia menggeser bantal yang ada di sofa dan menaruhnya di pangkuan. "Nggak juga, sih. Tergantung kita menyikapinya aja. Beban moral yang kamu maksud itu mungkin adalah sebuah batasan-batasan untuk kita agar bersikap yang tidak melenceng dari ajaran agama," ucap Cinta membuat Nadia manggut-manggut. "Oh iya, kamu kapan nutup auratnya?"

Dan pertanyaan itu sukses membuat Nadia memutar bola mata. "Kan udah aku bilang, nanti. Mau nata ati jadi baik dulu baru pake kerudung."

"Alquran surat apa? Ayat berapa?"

Mata Nadia mengerjap. "Hah? Maksudnya?"

"Di Alquran surat apa dan ayat berapa yang menuliskan bahwa menutup aurat harus nunggu jadi orang baik dulu? Yang bener berkerudung itu wajib. Aku juga bukan orang yang baik, tapi mencoba menjadi lebih baik. Setidaknya dengan memakai penutup aurat ini, kita bisa lebih membatasi sikap kita, kalau mau berbuat dosa kan mikir-mikir dulu, malu sama kerudung."

Nadia mengibaskan tangannya. "Ya kamu kan tahu sendiri apa cita-citaku. Jadi seorang entertrainer. Penyanyi. Meski sekarang jamannya udah global, orang berhijab ada di mana-mana, tetap aja mengawali karir di dunia showbiz dengan penampilan kayak gitu cuma menghambat mimpi aku."

"Memangnya kalau kamu mengorbankan diri dengan tidak menutup aurat akan melancarkan usaha kamu meraih mimpi? Semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, Di. Jangan suudzon dulu dengan apa yang Dia takdikan."

Nadia mengibaskan tangan. "Males ah, kalau malah dapet ceramah kayak gini."

"Bukannya ceramah tapi---"

"Nanti malem ikut nongkrong di Pahlawan, yuk," sela Nadia sebelum Cinta meneruskan ucapannya.

"Nggak ah, males."

"Ngapain sih betah banget di rumah? Mau bertelor? Udahlah ... nurut aja. Sekali-kali kita cari cogan. Oke?"

***

Bagi Cinta, tenggelam dalam lautan kata yang tercetak manis di sebuah benda kotak bernama buku lebih mengasyikkan daripada nongkrong tidak jelas di luar sana. Dengan membaca buku, imajinasinya seakan bebas tak berbatas, dan ia bisa menjadi apa pun yang ia mau, bahkan yang tidak berani ia pikirkan sekali pun.

Sayangnya, keinginan dia untuk menamatkan sebuah novel kali ini terganggu karena Nadia-yang memang tidak pernah mau dibantah-memaksanya ikut pergi.

Sekarang mereka berada di Jalan Pahlawan, tempat biasa anak-anak muda nongkrong saat malam hari.

Birunya CintaWhere stories live. Discover now