17

18.3K 1.3K 81
                                    

Adlan dan Ramon telah sampai di tempat yang sama. Mereka memilih duduk di pojok agar tidak terlihat oleh Adlina dan Alex.

Mereka berdua tampak senang, terlihat dari ekspresi Adlina yang sering tertawa puas.

Adlan menoleh kearah Ramon dan menepuk pundaknya, "kalo jodoh lo dia nggak kemana selo aja."

Ramon tersenyum tipis. Sangat tipis yang bahkan tidak terlihat oleh Adlan.

Tiba-tiba Adlan menutup mukanya dan Ramon menggunakan buku menu. "Eh, gila lo ngapaiin kaya gini. Bisa-bisa kita disangka homo," ucap Ramo kesal.

"Lo bawel banget sih, Adlina tiba-tiba nengok bego. Lo mau kalo ketauan." Ramon hanya mengangguk mengerti.

"Sumpah yah, gue mending tiduran di rumah dari pada harus ngikutin orang itu." Sewot Ramon pada Adlan.

Adlan hanya tersenyum jumawa, "yaudeh, ayok balik lo ah, kek nenek-nenek metal lo bawel."

Ramon hanya memutar bola matanya, sambil mengeluarkan sejumlah uang dan dia letakkan di meja.

Adlan dan Ramon sedang berada di dalam lift. Tiba-tiba Ramon memegang kepalanya, "Ram, lo kenapa?"

Ramon hanya menggelengkan kepala. "Ram, serius, lo jangan bikin takut kek elah."

Ting

Mereka keluar dari lift. Adlan dengan hati-hati membantu Ramon masuk ke dalam mobilnya. Ramon menahan ringisannya. "Lo asli bikin panik, lo kenapa Ram?"

Ramon menggeleng. "Gue gakpapa. Gue kecapean aja, udah mendingan ko. gue nginep rumah lo yah?"

Adlan hanya mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya.

***

"Kamu kenapa, Lin?" tanya Alex mengikuti arah pandang Adlina.

"Ngerasa dari tadi kaya ada yang ngeliatin." Adlina masih celingak-celingukkan.

"Udah cuekkin aja, oh iya abis ini masih mau jalan atau pulang?"

"Pulang aja deh ka." Alex mengangguk.

Selesai mereka makan, mereka langsung menuju mobil. Ada perasaan yang tidak dimengerti oleh mereka berdua.

Alex berdeham dan melirik Adlina sebentar, "Lin, makasih yah."

Adlina menggernyit, "makasih buat?"

"Yah, karena mau jalan sama aku."

"Harusnya Kakak bilang makasih sama Kak Adlan sama Papi Arga. Karena, mereka kan yang ngizinin." Jelas Adlina.

Alex menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "iya juga sih."

Tidak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di rumah Adlina. Alex dengan gesit membuka pintu untuk Adlina.

"Kak, aku tuh bisa sendiri tau." Omel Adlina.

Alex hanya terkekeh, "harusnya kamu tuh merasa beruntung. Banyak banget lho, yang pengen diginiin sama aku."

Adlina memutar bola matanya malas. Tiba-tiba Alex menggenggam tangan Adlina, "bisa nggak manggil aku tanpa embel-embel kak. Risih di dengernya."

"Tapi, kalo di sekolah manggil tanpa Kak. Aku bisa dikasih tatapan maut sama senior lain."

"Yah, cuekin aja." Jawab Alex dengan santai.

Adlina mendengus kesal. "Tapi males ah entar kalo di labrak sama Mak lampir repot."

Alex mencubit hidung Adlina. "Aku bakal jagaiin kamu. Pokonya mulai sekarang manggil aku tanpa embel-embel 'Kak'."

"Dasar ditaktor."

"Yaudah, masuk sana." Perintah Alex. Adlina hanya mengangguk dan mulai berjalan.

Saat dia sampai di depan pintu, "Adlina?"

Adlina berbalik badan dan mendapati Alex sudah berdiri didepan wajahnya. "Kenapa?"

"Ini ketinggalan," Alex mengecup kening Adlina dan berlari kearah mobilnya.

Adlina memegang kening-nya dan dia menutup wajahnya. Astaga di cium cogan, mimpi apa gue.

Adlina masuk ke rumahnya. Mendapati Adlan yang sedang duduk di sofa.

Adlina langsung memeluk Adlan. Adlan terkejut dan langsung menoyor kepala Adlina. "Heh, kambing untung gue nggak punya penyakit jantung."

Adlina hanya tersenyum kearah Adlan. Adlan mengecek kening Adlina, "ah, gak panas ko."

"Ih, lo mah emang gue sakit." Adlina menghempaskan tangan Adlan. Dan menoleh ke sofa sebelah.

"Loh, kok Ramon disini Bang?"

"Nungguiin lo noh, tadi mau ngajak jalan lo tapi, udah kecolongan sama Alex."

Mendengar perkataan Adlan, Adlina merasa tidak enak dengan Ramon.

"Lo tungguiin tuh, tadi sih kepalanya sakit. Katanya kecapean. Gue mau ke kamar dulu." Adlan beranjak ke kamarnya meninggalkan Adlina.

Adlina menghampiri Ramon, dia menggusap kepala Ramon.

Ramon yang merasakan kepalanya diusap langsung terbangun, "Adlina,"

"E-eh ma-maaf. Maaf yah jadi ganggu tidur Ramon deh." Adlina hanya menunduk.

"Sini duduk, ngapaiin di bawah gitu." Adlina mengikuti perintah Ramon dan mulai duduk di sampingnya.

"Gimana jalannya? Seru?"

"Maaf." Adlina hanya menunduk.

Ramon mengangkat dagu Adlina dengan lembut, "hey, kenapa minta maaf? Lina nggak salah ko."

"Maaf buat Ramon nunggu." Tanpa sadar air mata Adlina sudah turun.

Ramon mengusap air mata Adlina dengan jempolnya, "Ramon gakpapa ko beneran deh."

"Terus kata abang sakit yah? Sakit apa?" tanya Adlina.

"Kecapean doang ko," ucap Ramon menenangkan.

"Beneran?"

"Beneran Adlina. Udah ah, aku tau kamu cape, cepet tidur." Perintah Ramon.

Bukannya naik ke kamarnya Adlina malah tidur disofa. Dengan hitungan detik Adlina telah terlelap.

Ramon ikut tertidur di samping Adlina. Sambil memeluknya dari belakang. Ramon menyibak rambut Adlina dan mengecup kepala Adlina, "I love you, Adlina."

Setelah itu mereka sama-sama terlelap.

TS [1] Adlina (END-LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang