CHAPTER ONE

2.2K 90 26
                                    

Pintu aula terbuka lebar. Aku berjalan lurus dengan dikawal dua orang tak berwajah seram di belakangku. Seisi ruang menatap ke arahku. Kecuali oposisiku kali ini. Tajam. Sorot matanya lurus mengarah kepadaku sambil memutar badannya hampir seratus delapan puluh derajat, dengan tidak sempurna.

Meski tajam, ada satu hal yang tersisa dalam tatapan wanita yang duduk di kursi pesakitan itu. Kasih. Mama yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu kini menjadi salah satu orang yang menentangku. Aku, putrinya.

Hatiku bergetar menatap tatapan kasih yang tajam. Dalam hatiku terus berkata bahwa aku tak lagi seperti anak kecil. Ya, aku sudah dewasa. Tapi siapa tahu bahwa yang mama lakukan adalah bentuk kasih sayang? Apakah kasih sayang akan selalu kejam dan memaksa seperti itu? Hingga bernapas pun aku tak mampu ketika jeratan yang mengatasnamakan kasih itu membelenggu.

Aku mengalihkan pandanganku kepada hakim yang tampak geram dengan keterlambatanku. Who cares? Siapa peduli dengan orang yang sedang menjalankan tugasnya itu. Toh aku terlambat tidak karena mengada-ada. Pekerjaanku juga sama pentingnya dengan urusan ini.

Mengalihkan pandangan adalah salah satu trik untuk tak menatap mama. Derap langkah kakiku disambut manis dengan sorakan-sorakan dukungan oleh timku yang terlebih dahulu datang. Ku balas dukungan mereka dengan senyuman yakin tentang keputusan hukum.

"Mama memintamu kuliah hukum bukan untuk ini!"

Mama mulai berbicara saat aku mulai duduk. Hakim meminta mama tetap tenang agar suasana peradilan berjalan tenang. Hari ini aku bukan seperti putrinya. Aku mengabaikannya. Aku mengabaikan kata-kata mama yang sejak dahulu selalu aku turuti hingga bersekolah hukum seperti keinginan mama ini. Kini mama tahu. Apa yang ia tanam, hari ini ia menuai.

***

Udara dingin terus menjalar hingga seluruh tubuhku. Rasa sakit yang semula timbul di dada kini mulai meracuni kepalaku. Berat rasanya hingga berputar. Napasku tersengal-sengal hingga suaraku terdengar parau. Air mata semakin membanjiri pipi kanan dan kiriku.

Sudut tembok ruangan kecil berukuran tiga kali tiga meter ini, menjadi tempatku bersandar. Aku sadar, bahu papa tidak lagi lebar untuk aku bersandar. Saat masih kanak-kanak, papa memiliki bahu selebar lapangan bola di belakang sekolah yang ditumbuhi rumput hijau yang dipotong rapi. Saat semua orang marah kepadaku, papa adalah satu-satunya orang dewasa yang membelaku.

Aku gagal. Aku telah benar-benar gagal membahagiakan papa yang selama ini selalu ada untukku. Aku gagal menjadi sosok pemberani seperti yang ia minta. Aku selalu saja terbelenggu dalam kekejaman yang mereka bungkus dalam kasih sayang.

Dua minggu lalu semenjak vonis penyakit jantung papa semakin parah, aku tak mau lagi berkeluh kesah kepada papa. Aku tak ingin menjadi putrinya yang nakal dan membebani hidupnya. Tak ada pilihan lain bagiku kecuali  bersandar pada sudut kamar kecil yang dingin. Aku ingin menjadi putrinya yang baik.

Masalah kali ini masih sama seperti biasanya. Soal mama yang memaksakan kehendaknya kepadaku. Alasan yang basi. Demi kebaikanku. Kasih sayangnya selalu dibumbui kekejaman yang membuatku justru tak nyaman menjalani semua yang ia perintahkan. Rasanya ingin menolak dan berkata aku tidak mau. Tetapi tatapan mama yang penuh kasih walau sedang melotot selalu membuatku gagal untuk menolak. Seperti seorang oportunis. Seperti itulah mamaku. Mencari celah kelemahan putrinya sendiri. Tatapan mata.

Meskipun aku menerimanya. Semua tetap saja berakhir dengan air mata. Seperti malam ini. Mama memaksaku untuk mengikuti kelas penelitian di sekolah. Dunia terasa terbanting. Mama sama sekali tak menghargai bakat dan keinginanku.

"Tapi jadwal kelas penelitian bersamaan dengan kelas bahasa dan sastraku ma?"

Mama menatapku seperti biasanya. Aku menundukkan pandanganku tak berani menatap mama balik. Aku benar-benar ingin menangis saat di saat  situasi seperti ini. Kali ini sudah tidak ada lagi yang menghalangi mama untuk memaksaku.

"Mau kamu ikut kelas sastra lah, kelas seni lah. Mama nggak mau tahu. Kamu tetap harus ikuti permintaan mama. Kamu ini anak satu-satunya. Turuti perintah mama kali ini saja. Mama nggak bakal minta yang lain!"

Aku terdiam merenungkan apa yang mama katakan. Sebesar itukah hak mama mengatur kehidupanku hingga sedetail itu? Bagaimana dengan hakku memilih tentang masa depan yang ingin kumiliki? Dalam detik ini aku sangat ingin membantah semua yang mama katakan. Aku tak ingin mama memaksaku seperti ini.

TEAR DROPSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang