Bab 32

376K 16.1K 170
                                    

Celin berada diambang kesenangan. Suami yang sempurna, anak yang tampan dan suasana indah kota Berlin yang sudah memasuki musim semi membuat euforianya menanjak dengan pesat. Tumbuhan mulai bermekaran, daun daun kembali hijau, titik titik putih yang mencair mulai tak terlihat dan mentari kembali hadir dengan sinar yang menghangat.

Celin menggenggam tangan Vano, berjalan beriringan menelesuri tempat yang menjadi salah satu tujuan semua orang saat musim semi tiba, Britzer Garten, taman bunga di selatan kota Berlin.

Terdapat banyak bunga tulip sejauh mata memandang, banyak orang yang juga sekedar berjalan jalan dan menikmati keindahan bunga yang menjadi ciri khas negri kincir angin tersebut.

Sebenarnya awalnya mereka ingin ke Grünewald Forest, tapi Celin takut nantinya Rupert akan mengingat kembali kenangan buruk yang membuatnya kedinginan sampai berjam jam.

Anak lelaki itu kini sedang asyik mengayuh sepedanya yang memang sengaja dibawa dari rumah. Dan Celin bersyukur karena Rupert sedari tadi menampilkan ekspresi senang dengan senyum lebar yang selalu diukir di wajahnya.

Ini memang keluarga yang dari dulu dia inginkan. Celin menginginkan keluarga lengkap, dimana tidak pernah dia miliki selama ini. Dan sekarang, tuhan begitu baik dengan mempertemukan dia dengan Vano dan Rupert.

Tahukah jika Celin sangat menyayangi dua lelaki itu? Masih ingat dibenaknya sekitar 3 bulan yang lalu setelah dia resmi menikah dengan Vano. Lelaki itu langsung membawanya bulan madu ke Bali. Siapa yang tidak mengenal Bali? Tempat yang menjadi pesohor indonesia di mata dunia yang dipenuhi para turis mancanegara. Awalnya lelaki itu ingin mengajak ke Perancis, tapi keadaan cuaca pada bulan januari yang tidak tertentu dan biasanya di bagian selatan negara itu sudah sangat dingin membuat Vano membatalkan rencana tersebut.

Bali tidak terlalu buruk. Memang sangat dekat, hanya membutuhkan waktu satu jam jika memakai pesawat terbang. Tapi bukan tempatnya yang Celin lihat, tapi justru kebersamaan dan kenangan yang mereka ciptakan di sana. Tentu saja Celin merasa kurang lengkap karena Rupert harus dititipkan ke Martha, tapi keberadaan Vano di sampingnya yang selalu mempunyai cara untuk memancing lelucon membuat dia sejenak lupa dengan anak itu.

Masalah bayi, tuhan tahu bagaiamana kerasnya usaha mereka saat malam hari. Bahkan Vano hampir tidak membiarkannya tidur, dan itu sukses membuatnya terkadang tertidur lagi saat jam 10 pagi setelah Vano berangkat ke kantor dan Rupert juga berangkat sekolah. Untung saja dia tidak lagi terikat oleh pekerjaan, tapi itu sedikit membuatnya rindu dengan suasana kantor.

Vano memang langsung membawa pergi Celin ke Jerman dan tinggal di mansionnya. Meninggalkan negara kelahirannya dengan segala kenangan yang dia dapatkan disana selama 23 tahun. Sedih sudah pasti, tapi itu juga sebanding dengan apa yang dia dapatkan.

Oh, jika ada yang penasaran dengan Diane dan Vino, mereka telah mengadakan pernikahan yang sangat mewah, sebulan yang lalu. Perut Diane yang membesar ternyata tidak menjadi halangan bagi Vino untuk menunda pernikahannya. Akhirnya Diane harus sabar mendapat banyak sorotan mata tak percaya saat para tamu undangan menyalaminya sambil melihat perutnya di balik gaun pernikahan berpayet putih.

Mereka -Diane dan Celin- selalu rutin bertukar kabar, menceritakan apa saja yang baru dialami seperti buku diary berjalan. Celin juga menceritakan kondisi tubuhnya yang akhir akhir ini kurang fit, membuatnya kadang tertidur pulas bahkan saat matahari sudah meninggi. Asupan makan yang berkurang dan seperti ada tali yang membuatnya tidak bisa lama lama berjauhan dari aroma Vano.

Diane dengan girang menyahuti bahwa kemungkinan Celin memang hamil. Wanita itu juga dulu menceritakan gejala awal yang ditimbulkan saat mengandung bayinya dan itu sama persis dengan apa yang dialami Celin, tapi mungkin tidak pada bagian ingin berdekatan dengan Vano. Mungkin iya karena dia dulu ingin terus bersama Vano, tapi itu juga tidak berlaku saat ada Vino disisinya, entahlah memikirkan itu hanya membuat kepala Diane pusing.

Celin tentu saja senang, bahkan dia sudah membeli testpack yang akan dicoba nantinya di rumah. Dia tidak bisa membayangkan bagaiamana bahagianya Vano nanti jika dia ternyata memang mengandung anaknya. Celin menahan mulutnya, berusaha sebisa mungkin untuk tidak memberi tahu Vano sebelum waktunya, karena dia tidak ingin lelaki itu sedih jika ternyata gejala yang dialaminya hanya sekedar sakit flu dan demam biasa. Setelah dia membuktikannya baru dia akan memberi tahu lelaki itu.

"Rupert ...." Anak yang baru saja dipanggil Vano menghentikan laju sepedanya, lalu berputar dan menuju ke orang tuanya.

"Ya Daddy?"

"Tidak lapar? Ayo kita makan." Rupert mengangguk dengan antusias, dengan cekatan Vano melipat sepeda Rupert dan meletakannya di bagasi mobil.

Merek menuju cafe yang tidak terlalu jauh dari sana dan dengan semangat Rupert langsung memilih makanan 3 porsi sekaligus, membuat Celin menatap anaknya terbelak sambil menggeleng gelengkan kepalanya.

Setelah makanan sudah tersaji di depan mata, Celin tidak mempunyai minat lagi untuk memakan bahkan sekedar mencium baunya saja. Rasanya seperti sangat mual ketika melihat banyak makanan yang aromanya bercampur menjadi satu. Dia tadinya telah memesan Gulaschsuppe, sup kental dengan cincangan daging sapi yang agak besar dan disantap bersama roti. Tapi setelah makanan itu sudah di depannya membuat Celin malah tidak berselera. Tidak tahu kenapa, yang pasti aroma sapi dan bayangan memakan roti bersama sup membuat perutnya bergejolak.

"Aku ke kamar mandi dulu." Celin menuju toilet tanpa menunggu respon dari Vano terlebih dahulu, dia sudah tidak tahan. Di depan wastafel dia mencoba memuntahkan apa yang menjadi ganjalan di dadanya, dan aksinya mendapat perhatian dari para wanita yang terkadang memasuki toilet dan melihatnya. Tapi mereka hanya sekedar memandang seklias lalu berlalu pergi, mungkin memang itu bukan urusannya.

Celin menyeka mulutnya dengan air, sepertinya dia tidak bisa lagi melihat makanan untuk sementara atau dia akan mual seperti tadi. Saat kembali menuju mejanya dia melihat suatu pemandangan yang membuatnya membeku, seperti ada paku di kakinya yang memperintahkan tubuhnya untuk diam dan tak bergerak. Bisakah dia tidak mendapat masalah lagi kali ini?

***

Vano menatap heran punggung Celin saat wanita itu tergesa gesa menuju toilet. Akhir akhir ini istrinya memang memiliki nafsu makan yang menurun, ingatkan dia untuk membawa Celin ke dokter nantinya.

Vano melihat Ruppert yang sedang dengan lahapnya memakan Bratwurstnya. Tiba tiba anak itu memundurkan kursinya dengan mendadak, membuat pelayan yang kebetulan lewat di belakangnya terhuyung dan menumpahkan semua makanan yang ada di nampan. Vano terkejut dan langsung berdiri menuju anaknya.

"Ada apa Ruppert?"

"Sosisnya jatuh Daddy, tapi Ruppert tidak tahu jika ada kakak cantik di belakang." Vano kembali mengalihkan pandangan ke pelayan wanita yang masih terduduk di tempatnya setelah terjatuh, untunglah nampan yang dibawanya hanya berisi Kartoffelsalat dan orange jus. Setidaknya pelayan lain tidak akan disibukkan hanya dengan membersihkan menu makanan itu yang sudah tercecer di lantai.

"Kau tidak apa? Aku minta maaf karena anakku tidak senga ...." Perkataannya terhenti saat melihat pelayang yang masih membenahi roknya dari tumpahan orange jus tiba tiba mendongak ke arahnya, membuat Vano bertemu pandang dengan wanita yang memiliki manik sehijau emerald.

"Nana?" ucapnya tidak sadar saat melihat wanita di depannya yang sangat mirip dengan Nana, bahkan itu memang wajah Nana. Vano tidak pernah melupakan wajah itu, tidak saat mereka dulu pernah menjalin kasih dan tidak saat Nana dulu memutuskan untuk meninggalkan Vano.

"Oh hai Vano."

***

My Perfect CEOWhere stories live. Discover now